Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMIRA, yang baru berusia 40 hari, tergolek di tempat tidur dalam bangsal kelas tiga Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Bayi perempuan asal Timika, Papua, itu terinfeksi malaria. Dia diterbangkan ke Makassar karena di Timika tak ada fasilitas pengobatan yang memadai. Sedangkan di Rumah Sakit Wahidin, selain sebagai rujukan untuk kawasan Indonesia timur, terdapat laboratorium penelitian penyakit tropis. Pekan lalu sejumlah ahli penyakit tropis mancanegara berkunjung ke beberapa fasilitas pelayanan kesehatan di Makassar dan laboratorium modern NEHCRI yang terletak di Rumah Sakit Wahidin itu.
Laboratorium ini dibangun atas kerja sama antara Novartis Institute for Tropical Diseases (NITD, lembaga riset kesehatan yang berpusat di Singapura), Eijkman Institute Jakarta, dan Universitas Hasanuddin, Makassar. ”Ini sebagai bagian dari komitmen kami dalam melakukan riset terhadap penyakit tropis, agar para ilmuwan mendapat akses langsung ke pasien dan dokternya,” kata Kepala Riset Novartis, Profesor Paul Herrling.
Laboratorium yang menghabiskan biaya US$ 3,8 miliar atau hampir Rp 35,8 triliun selama lima tahun ini, menurut Herrling, fokus meneliti tiga penyakit tropis: malaria, tuberkulosis, dan demam berdarah (dengue). ”NEHCRI ini akan memberikan banyak manfaat kepada komunitas riset klinis Indonesia, baik sebagai center of excellence maupun kesempatan kepada para peneliti Indonesia untuk melakukan riset,” kata Rektor Universitas Hasanuddin Profesor Idrus Paturusi saat membuka simposium mengenai tuberkulosis dan dengue, di Makassar, pekan lalu.
Penyakit tropis memang tetap dihitung sebagai ancaman serius bagi manusia. Malaria sampai sekarang masih menjadi salah satu penyakit tropis yang paling berbahaya. Penyakit ini membunuh sekitar tiga juta orang dari sekitar 650 juta orang per tahun di dunia yang terkena malaria. Sedangkan menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), terdapat 9,2 juta orang yang terjangkit tuberkulosis, dan 1,7 juta meninggal setiap tahun. Demam berdarah setiap tahun menjangkiti 50 juta orang, 500 ribu orang pasien diopname, dan 2,5 miliar orang di dunia berisiko terjangkit penyakit akibat nyamuk Aedes aegypti itu.
Keberadaan NEHCRI di Makassar, menurut Herrling, bukan hanya menemukan obat terhadap penyakit tropis, tetapi juga mencari terapi baru untuk memotong langsung penyebab penyakit. Hal ini dimungkinkan karena penelitiannya dilakukan langsung di wilayah endemik dan melibatkan tenaga kesehatan setempat.
Dalam kasus tuberkulosis, misalnya, laboratorium di Makassar ini menemukan jenis bakteri berbahaya yang resisten terhadap obat yang selama ini digunakan pasien, yaitu isoniazid dan rifampisin. Sekitar lima persen dari sembilan juta kasus didiagnosis setiap tahunnya resisten terhadap obat tersebut. Bila bakteri sudah resisten terhadap obat yang digunakan, dampak kelanjutannya juga tidak teraba, seperti ikut masuknya human immunodeficiency virus (HIV), penyebab acquired immune deficiency syndrome (AIDS).
Menurut Kepala Laboratorium Mikrobiologi Fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin yang juga peneliti di NEHCRI, Muhammad Nasrum Massi, timnya meneliti 2.000 sampel dahak tiap hari untuk menemukan terapi yang tepat pada jenis bakteri tuberkulosis yang resisten. ”Kami terbantu dengan adanya laboratorium penunjang NEHCRI ini,” kata doktor bidang molekul dari Universitas Kobe, Jepang itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo