Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Permak Jantung Jalur Cepat

Angioplasti, operasi jantung koroner dengan kateter, makin diminati. Lebih praktis, cepat, dan mengurangi risiko trauma pembedahan.

20 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Minggu dua pekan lalu mestinya hari yang cerah bagi Kusmayanto Kadiman, Menteri Negara Riset dan Teknologi. Ia dijadwalkan ikut mengawasi uji coba pendaratan helikopter Super Puma di Kebun Raya Bogor. Beberapa hari sebelumnya, Pak Menteri juga berada di lokasi yang sedang heboh ini, memeriksa kondisi tetumbuhan serta persiapan ini-itu. Semuanya demi menyambut kedatangan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush.

Alih-alih menyaksikan capung besi mendarat di helipad, Minggu pagi itu Pak Menteri Kusmayanto malah bergegas menuju Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Gatot Subroto, Jakarta. Rupanya, Pak Menteri yang berusia 52 tahun ini harus segera melakukan permak jantung. ”Ada penyumbatan aliran pembuluh darah arteri koroner di jantung saya,” kata Kusmayanto. Tanpa penanganan segera, kondisi ini bisa membuat si penderita kehilangan nyawa mendadak.

Mantan Rektor Institut Teknologi Bandung ini pun dibawa ke ruang operasi. Dokter Munawar, ahli jantung RS Harapan Kita, bersiap. Operasi dimulai.

Jangan membayangkan ini operasi besar dan pasien terbaring delapan jam di meja bedah dengan dada terbuka disayat selusin pisau. Hanya satu setengah jam Kusmayanto berbaring, itu pun sambil mengobrol dengan dokternya. Ia memang tidak dibius total, cukup lokal di pergelangan lengan kanan. ”Saya mengikuti seluruh proses operasi,” kata Kusmayanto. Satu malam Pak Menteri menginap di RS Harapan Kita. Esok harinya ia pulang dan menceritakan pengalamannya menjalani permak jantung ini melalui surat elektronik.

Prosedur yang dijalani Kusmayanto memang bukan operasi pintas koroner atau coronary artery bypass. Operasi bypass dilakukan bila penyumbatan pembuluh darah terjadi pada lokasi yang sangat krusial atau penyumbatan terjadi pada banyak tempat di pembuluh arteri koroner. Tindakan medis ini selain butuh waktu berjam-jam juga membutuhkan perawatan pasca-operasi minimal dua pekan di rumah sakit.

Lalu, apa yang dilakukan dokter terhadap Kusmayanto? ”Yang saya jalani itu operasi kateter jantung,” ujar Kusmayanto. Tak ada pembedahan jantung, tak ada sayatan apa pun pada dada. Dokter hanya memasukkan pipa panjang lentur melalui pergelangan lengan. Istilah medisnya adalah coronary angioplasty, khususnya jenis PCI (percuan coronary intervention) . Menurut Dr Teguh Santoso, ahli jantung di RS Medistra, Jakarta Selatan, ”Langkah ini praktis, hemat waktu, dan mengurangi risiko trauma pembedahan,” kata Teguh.

Benar, kateter jantung bukan teknologi yang sama sekali baru. Teknik angioplasti pertama kali dilakukan oleh Dr Andreas Gruentzig di Swiss, tahun 1977. Sebelum prosedur ini ditemukan, segala jenis penyempitan arteri harus diatasi dengan bedah jantung pintas. Kini, angioplasti pun menjadi tindakan medis yang jamak. Popularitasnya terus mencuat. Di Amerika Serikat saja, berdasar situs www.ehealthmd.com, saban tahun dilakukan setengah juta prosedur angioplasti. Situs ini juga mencatat sedikitnya satu juta tindakan angioplasti digelar di seluruh dunia saban tahun.

Di Indonesia, angioplasti bisa dilakukan di beberapa rumah sakit di kota besar. Antara lain di RS Cipto Mangunkusumo, RS Harapan Kita, RS Hasan Sadikin, dan RS Medistra. Keterbatasan fasilitas di daerah kecil membuat pasien dari luar kota dan luar Pulau Jawa datang ke Jakarta untuk menjalani operasi kateter jantung.

Betty Tjahjasari, 66 tahun, umpamanya, memilih terbang dari Kediri, Jawa Timur, ke Jakarta untuk menjalani angioplasti. Telah setahun lebih nenek lima cucu ini mengalami gangguan jantung lantaran pembuluh di kiri dan kanan jantungnya tersumbat. Dokter yang menangani Betty di Kediri menyarankan dia menjalani operasi kateter jantung. ”Saya pilih prosedur ini karena tak perlu berlama-lama di rumah sakit,” katanya kepada Dwijo Maksum, reporter Tempo di Kediri.

Tentu, Betty tak sendiri. Daftar antrean pasien angioplasti di Jakarta cukup panjang. Pihak RS Medistra, misalnya, mengaku kewalahan menangani pasien yang ingin menjalani angioplasti. Manajemen rumah sakit kemudian membatasi tiga dokter ahli kateter jantung masing-masing hanya boleh menangani lima pasien angioplasti dalam satu hari praktek. ”Kalau dituruti, bisa lebih banyak lagi,” kata seorang asisten dokter, ”Tapi, sering kali kita sulit menolak pasien yang sudah lama menunggu.”

Pekan lalu, Tempo sempat mengikuti langsung proses operasi pada seorang pasien. Operasi yang dilakukan Dr Teguh Santoso ini hanya butuh waktu setengah jam.

Anton—bukan nama sesungguhnya—adalah pasien yang sedang dioperasi. Dia tenang-tenang saja saat kateter memasuki lengan dan dadanya. Penyempitan pembuluh darah jantung pria 62 tahun ini sudah mencapai 70 persen.

+ ”Repot juga nih kalau Bush datang ke sini,” Dokter Teguh membuka obrolan.

- ”Ya, betul. Semua orang ikut repot,” Anton menjawab. Obrolan berlanjut ke berbagai topik. Sementara itu, pipa kateter terus menjelajah jantung Anton.

Setengah jam berlalu. Dua buah stent, sejenis spiral, sudah dipasang di pembuluh arteri Anton. Operasi usai. Pipa kateter sudah ditarik dari tubuh Anton. ”Bapak sudah boleh pulang sekarang, nyetir sendiri juga boleh,” kata Teguh, ”Bapak juga bisa menginap di rumah sakit semalam biar stamina pulih betul.”

Angioplasti tergolong tindakan medis sederhana. Dokter hanya menyayat satu dari tiga nadi, boleh di pergelangan tangan, siku, atau paha. Sayatan ini untuk memasukkan kateter, pipa fleksibel yang berbahan lateks, silikon, atau teflon, ke dalam nadi hingga mencapai pembuluh darah koroner jantung.

Kemudian, dengan kelihaian teknis yang tinggi, dokter akan mengendalikan pipa kateter berdiameter dua milimeter berjalan menyusuri pembuluh darah. Komputer dengan tiga layar monitor digunakan untuk memantau pergerakan pipa kateter tadi.

Begitu mencapai lokasi pembuluh yang menyempit, balon pada ujung kateter dipompa untuk melebarkan pembuluh yang tersumbat. Apabila dianggap cukup, kateter ditarik dan operasi selesai. Tapi, jika potensi penyempitan masih cukup besar, dipasang satu atau lebih stent, pipa spiral kecil, pada arteri. Langkah ini untuk menjaga agar arteri tetap terjaga dalam kondisi terbuka.

Dr Teguh Santoso menjelaskan, stent biasanya dilapisi obat penghambat peradangan, yaitu Sirolimus dan Paclitaxel. ”Supaya penyempitan pembuluh darah tidak terulang,” kata Teguh. Obat ini mampu menekan penyempitan hingga lima persen.

Selain butuh waktu singkat, operasi kateter juga aman dilakukan berulang-ulang. Tapi Dr Teguh, yang juga guru besar bidang ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menyarankan sebaiknya pasien jangan terlena dan hanya mengandalkan angioplasti. Gaya hidup sehat, menghindari merokok, olahraga teratur, tak boleh diabaikan. Bila tidak, pembuluh darah jantung bisa tertimbun lemak lagi dan mungkin saja nyawa jadi taruhan.

Dengan segala kemudahannya, ongkos prosedur angioplasti tidaklah murah. Betty Tjahjasari, umpamanya, harus membayar Rp 58 juta untuk pemasangan dua stent berlapis obat di jantungnya. Angka ini belum termasuk biaya dokter yang cukup mahal, Rp 60 juta. ”Maklumlah,” kata Dr Teguh, ”prosedur ini mesti dilakukan dokter ahli dengan keahlian khusus.”

Secara teoretis, tingkat keberhasilan angioplasti cukup tinggi, sampai 95 persen. Risiko memang selalu ada. Umpamanya terjadi gangguan irama detak jantung (aritmia) dan perdarahan. Tapi, ”Risiko ini hanya 0,2 persen jika operasi dilakukan dengan baik,” kata Teguh.

Tapi, biarpun angioplasti begitu cemerlang, bukan berarti era operasi bypass berakhir. Tetap ada kondisi yang membuat operasi pintas jantung lebih tepat, atau bahkan dilakukan sekaligus angioplasti dan operasi pintas.

Lepas dari prosedur apa pun yang cocok, sekali lagi Dr Teguh mengingatkan supaya jangan lupa menjalankan gaya hidup sehat. Sayangi jantung Anda.

Adek Media Roza, Dwijo Maksum (Kediri)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus