Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Ketika Tulang Berpatahan

Tiga anak Medan mengalami kerapuhan tulang ekstrem sehingga gampang sekali patah. Kasus pertama yang dilaporkan di Indonesia.

20 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Radio transistor itu menjerit nyaris tanpa henti. Kali ini lirik lagu dangdut Si Jablay yang sedang mengalun. Iqbal, 6 tahun, menikmatinya dengan tersenyum lebar. Tubuhnya tetap berbaring di ranjang Rumah Sakit Methodist Susanna Wesley, Medan. Tak ada goyang, hal yang biasa dilakukan anak seusianya. Bukan ia tak mau, tapi tak mampu. Kalau ia memaksa, badannya segera lunglai karena tulang pinggul, kaki, lutut akan bengkok, lalu patah berantakan.

Kondisi Iqbal, seperti disaksikan Tempo pekan lalu, cukup membikin risau. Tangan dan kakinya patah pada lebih dari sepuluh titik. Mencang-mencong bengkok bak seutas tali. Seolah tak ada tulang kukuh yang mendukung tubuh ringkih itu. Dan memang begitulah yang terjadi. Iqbal menderita penyakit yang membuat tulangnya mengecil dan rapuh. ”Gampang patah,” kata Azwardi, ayah Iqbal, seorang penjahit yang tinggal di Kampung Nelayan, Belawan, Medan.

Iqbal tak sendirian. Bersama dia, dua adiknya, Ridwan (3 tahun) dan Fadilah (21 bulan), juga menjalani rawat inap di ruang yang sama. Kaki Fadilah patah di dua titik sejak ia berumur delapan bulan. Tangisnya tak kunjung berhenti. ”Nyeri kali rupanya,” kata Zuraidah, sang ibu.

Apa gerangan yang terjadi? ”Mereka mengidap osteogenesis imperfecta,” kata Dokter Umar Zein, spesialis penyakit dalam yang menangani Iqbal bersaudara. Secara harfiah, osteogenesis imperfecta bermakna pembentukan tulang yang tidak sempurna. Sebuah penyakit langka yang sampai kini belum tuntas dimengerti. Di Amerika Serikat, penyakit ini diperkirakan terjadi pada satu dari 20 ribu kelahiran. Sedangkan di Indonesia, prevalensi kasus belum diketahui persis. ”Kasus Iqbal mungkin yang pertama kali dilaporkan,” kata Umar Zein.

Menurut Yayasan Osteogenesis Imperfecta, Amerika Serikat, penyakit ini tidak memandang ras dan jenis kelamin. Gangguan genetik diduga kuat ada di balik kelainan ini, yakni berupa mutasi gen kolagen tipe I. Mutasi inilah yang menyebabkan produksi kolagen tipe I terganggu. Padahal, tercukupinya kolagen tipe I (ada pada tulang, gigi, ligamen, dan tulang mata, sedangkan kolagen tipe II terdapat pada jaringan tulang rawan) sangat penting. Jika tubuh tidak memiliki kolagen jenis ini secara memadai, tulang jadi mudah patah. Krak-krek mungkin terjadi ratusan kali sepanjang hidup.

Patah tulang pada penderita kelainan ini, menurut Umar, bisa terjadi di sekujur tubuh. Tulang tengkorak mereka pun bukan mustahil patah. Hanya, karena tangan dan kaki lebih dominan menahan beban tubuh, tulang di kedua organ tubuh inilah yang biasanya lebih dulu patah. Kejadiannya pun berkali-kali. Dan ini patah yang sesungguhnya, bukan hanya goyang patah-patah ala penyanyi dangdut

Duduk perkara asal-muasal mutasi genetik ini memang belum jelas betul. Para ahli menduga osteogenesis imperfecta berkaitan dengan faktor keturunan dan perkawinan kerabat dekat. Namun, nyatanya ada juga penderita yang orang tuanya sama sekali tak punya hubungan kerabat. Penelusuran silsilah keturunan juga belum tentu menunjukkan adanya nenek-moyang yang mengalami kelainan serupa. Kasus Iqbal, umpamanya. ”Keluarga saya sudah diperiksa tujuh turunan, tak ada gejala patah tulang sejak kecil,” kata Zuraidah.

Pada kondisi ini, menurut dr Hadyanto Lim, Direktur Rumah Sakit Metodhist, yang terjadi pada Iqbal bersaudara diduga kuat adalah mutasi spontan. Soalnya, ”Orang tua dan tiga kakaknya normal-normal saja,” kata dr Hadyanto Lim. Memang betul, Rudi, Ayu, dan Ibnu, tiga kakak Iqbal, tidak menjadi langganan patah tulang seperti Iqbal, Ridwan, dan Fadilah.

Umar Zein menjelaskan, saat ini sedang diupayakan langkah mencari tahu apa sesungguhnya gangguan genetik yang menimpa Iqbal. Sebuah tim khusus yang terdiri dari sepuluh ilmuwan dengan beragam latar belakang, antara lain dokter anak, farmakologi klinik, penyakit dalam, dan ahli biologi molekuler, dibentuk oleh RS Methodist.

Pengelola Methodist juga menggandeng kerja sama dengan Universitas Montreal, Kanada. Kebetulan, di kampus Montreal ini ada seorang ahli genetik bernama Francis Glorieux yang bergiat di Yayasan Osteogenesis Imperfecta. ”Sampel darah semua anggota keluarga Iqbal sudah dikirim ke Kanada,” kata Umar Zein.

Tentu saja, tim dokter tak cuma berpangku tangan menunggu kabar dari Kanada. Iqbal bersaudara mesti segera ditolong agar kondisinya tidak makin parah. Susahnya, sebagaimana lazimnya penyakit yang bersumber dari faktor genetik, tak ada obat jitu untuk penyakit yang juga dikenal dengan nama brittle bone disease ini. Tim dokter hanya bisa memberikan kalsium dan vitamin D dosis tinggi untuk mencegah agar tulang tidak makin rapuh dan gampang patah. Iqbal bersaudara juga diberi bisfosfonat, cairan hormonal yang lazim digunakan untuk menangani osteoporosis alias keropos tulang, sekali sebulan lewat infus.

Menurut dr Umar Zein, kombinasi kalsium, vitamin D, dan bisfosfonat akan menggantikan posisi kolagen tipe I dalam proses pembentukan tulang. Walhasil, diharapkan tulang terbentuk dengan baik. Terapi kombinasi ini akan terus diberikan sampai pasien masuk masa pubertas. Saat itu, pertumbuhan tulang sudah berhenti.

Umar Zein mengakui, situasi sedikit lebih rumit pada Iqbal. Tulangnya sudah telanjur mencong kiri-kanan. Cacat semacam ini tak lagi bisa dipulihkan. Karena itu, target yang diharapkan pada Iqbal tidak muluk-muluk. Terapi kombinasi paling-paling hanya sedikit membantu pembentukan tulang yang tersisa. ”Dia bisa duduk sendiri saja sudah bagus,” kata Umar.

Kondisi relatif lebih baik pada Ridwan dan Fadilah. Karena belum terlalu parah, tim dokter masih bisa menegakkan ikhtiar mencegah kecacatan permanen pada mereka.

Caranya? Menurut dr Hadyanto Lim, dengan memasang pipa logam (rodding surgery) pada ruas tulang panjang pasien, seperti lengan dan kaki. Bisa dengan menggunakan pipa yang ukuran panjangnya tetap dan butuh penggantian sejalan dengan usia pasien. Ada juga pilihan lain, yakni menggunakan pipa yang dirancang khusus sehingga bisa memanjang secara otomatis berbarengan dengan pertumbuhan panjang tulang. Cuma, proses pemasangan pipa ini tak bisa serta-merta diterapkan. ”Kita masih harus melakukan peng-amatan dulu,” ujar Hadyanto.

Tampaknya jalan panjang berbilang tahun masih harus dilalui Iqbal bersaudara. Menginap terus-menerus di RS Methodist adalah sebuah pilihan yang mustahil. Selain mahal, jalan ini bakal menyulitkan kedua orang tua Iqbal mencari nafkah keluarga.

Alternatif lain pun dipilih. Iqbal, Ridwan, dan Fadilah hanya sesekali menjalani rawat inap di RS Methodist. Lalu, selama berada di rumah, pemantauan akan dilakukan intensif oleh dokter dari pusat kesehatan masyarakat kecamatan. Para dokter puskesmas diminta segera melapor ke Methodist jika ada keluhan dari Iqbal dan kedua adiknya. ”Kita akan aktif menangani masalah ini secara serius,” begitu janji Umar Zein, yang juga Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan.

Secara keseluruhan, tentulah ikhtiar panjang Iqbal dan kedua adiknya membutuhkan biaya tidak sedikit. Syukurlah, berbagai lembaga swasta dan perusahaan turut serta memberikan donasi kepada RS Methodist. Ini kepedulian yang pasti merupakan hiburan tersendiri bagi Iqbal dan keluarganya. Hiburan lainnya, ya, radio transistor itu tadi. Lay..lay..lay..lay..., panggil aku si Jablay.

Dwi Wiyana, Hambali Batubara (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus