LOMPATAN harga beras, membuat banyak orang gentar. Romlah, 43
tahun -- berdagang beras di pasar Cikampek-Karawang selama 25
tahun menganggap ini peristiwa paling getir dalam kariernya.
"Kalau dihitung-hitung, bagus saya berhenti berdagang," ujar
wanita itu dengan murung.
Biasanya Romlah menjual beras sampai setengah ton sehari.
Untungnya cukup bikin hidup senang dan aman. Sekarang sering
rugi, karena harga tidak bisa dipegang. Kalau ia beli beras
jenis IR di Ciasem dengan harga Rp 125 per liter -- lalu dijual
di Cikampek Rp 128, itu belum untung. Karena esoknya di Ciasem
beras sudah Rp 130." Sudahlah, siapa tahu bulan depan untung
besar lagi," kata Romlah menghibur diri.
Lima belas tahun yang lalu, untung pedagang beras memang tidak
banyak juga. Tapi waktu itu ada kepastian. Karena itu Romlah
tetap memegang profesi itu, menopang penghasilan suaminya untuk
menghidupi 12 anak. Sejak pukul 7 pagi ia sudah meninggalkan
rumah mencari beras, kemudian mengecerkannya di emperan toko.
Menjelang magrib baru kumpul keluarga lagi. Tidak disertai rasa
gentar, seperti sekarang. "Kalau terus dipikirkan, dalam
kenaikan ini wah, kita bisa mati tegak," ujarnya.
Yatni, 24 tahun, yang baru 6 bulan jualan beras di Cikampek ikut
ketakutan. "Dengan pengumuman pemerintah tentang kenaikan harga
beras itu, lutut saya terasa lemah," katanya mengadu. Soalnya
stok berasnya di gudang mengkeret. Uang di tangan ada tapi tak
akan mampu membeli kembali sebanyak yang terjual dengan modal
yang sama. Malam pengumuman yang disiarkan radio dan tv itu, ia
gelisah ingin nguber beras. Esoknya ia seradak-seruduk mencari.
"Tapi tak ada petani yang mau menjual. Sekarang mereka sudah
makin cerdik dan mengikuti perkembangan keadaan," kata Yatni.
Sejak kenaikan harga, pembeli beras di tempat Yatni surut. Bukan
lantaran mereka berhenti makan. "Cuma mereka lebih senang beli
ketengan", kata Yatni menjelaskan. Iban, 40 tahun, pedagang
beras di pasar Johar-Karawang, membenarkan susutnya arus
pembelian. Kalau biasanya ia mampu menjual antara 2 sampai
dengan 3 ton sehari, setelah kenaikan harga baru-baru ini hanya
satu ton. Bukan hanya menjual, ia sendiri kalau hendak beli
beras jadi sulit. Kadang-kadang ia memburu beras sampai ke
Jakarta. "Mau beli, tapi tak ada yang jual," kata Iban dengan
kesal. Ia merenung mengingat kemungkinan harga selalu bisa
berubah esok.
Koperasi Unit Desa (KUD) yang didirikan untuk membantu petani
bila harga dasar jatuh, sekarang ini jadi kurang kerjaan --
setidak-tidaknya dalam soal beras. KUD Model di Desa Jatisari,
Karawang, dulu sibuk melayani petani, tatkala harga gabah masih
Rp 6.500 perkwintal. Setelah pemerintah menetapkan harga dasar
Rp 9.500, petani lebih suka mencari pembeli non KUD. "Biar
petani tak menjual pada kita, tak soal, asal harga tetap
tinggi," kata Kusnendar, ketuanya.
Kusnendar, 54 tahun, sudah banyak pengalaman dalam soal
koperasi. Dulu setiap panenan ia memang sibuk. Dengan sendirinya
sekarang banyak waktu kosong. Lalu diisinya dengan menyediakan
jasa, melayani petani menggiling padi, menjual pupuk dan
candak-kulak. Ia hanya berharap agar petani tidak nlenjual habis
persedian padinya. "Perlu untuk cadangan menjelang panen
Pebruari tahun depan," ujarnya mengingatkan. Para petani sendiri
kebetulan juga agak ragu-ragu menjual sekarang karena harga
belum terkunci betul. Siapa tahu menggertak lebih tinggi lagi.
"Akibatnya mereka juga hanya menggiling pas-pasan untuk makan,"
kata Kusnendar.
Bagaimana nasib para tengkulak? Cecep, tengkulak dan tukang ijon
yang beroperasi di sekitar Kabupaten Subang, Jawa Barat, tampak
gembira. "Dengan kenaikan itu untung saya jadi berlipat,"
katanya kepada Helman Eidy dari TEMPO. Begitu harga baru
diumumkan, dia melompat-lompat dan memuji kebijaksanaan
pemerintah. Sebagai bukti, ia sulap sepeda motor Honda-nya jadi
Vespa Sprint yang masih nyentring -- baru. "Kalau bisa kenaikan
seperti itu seringsering terjadi," kata Cecep dengan
sungguh-sungguh.
Harapan Cecep dikutuk oleh kalangan buruh tani. "Baru kenaikan
sebegini saya sudah kalang-kabut," kata Darkim, buruh tani yang
tinggal di Cempol, Karawang." Kalau sering-sering naik, bisa
jadi kami mati tidak makan," ujarnya lebih lanjut. Lelaki 39
tahun ini harus menghidupi isteri dan 2 anak yang sedang
kuat-kuatnya makan. Sehari ia membutuhkan 2 liter beras. Dulu
jumlah ini hanya berarti Rp 225 tapi sekarang ngacung jadi Rp260
-- sementara penghasilannya tetap saja Rp 400 sehari. Sementara
ongkos angkutan dan barangbarang kebutuhan pokok lainnya ikut
juga bergerak.
Cukup Lumayan
Darkim hampir tak berdaya. Ia sudah mencoba menghubungi
majikannya, supaya upah dinaikkan. Atau mengganti upah uang
dengan beras. Tapi permintaan itu tidak didengar. Untunglah
kesempatan kerja masih terus ada, karena selama ini bukan ia
yang mencari majikan, tetapi majikan yang mencarinya. Namun
dalam soal upah, majikan yang membutuhkannya itu toh tetap
memiliki posisi yang menentukan. "Yah tak apalah, biar upah
murah asal harga barang juga rendah," kata Darkim menghimbau.
Enjang, buruh tani di Batujaya, Karawang, sama keluhannya.
Lelaki usia 45 tahun ini sebelumnya membiasakan lidahnya
bergumul dengan beras jenis Pelita atau C-4 (termasuk beras enak
-- di bawah beras Cianjur). Sekarang mutu beras yang dikunyahnya
anjlog, hanya jenis IR. Prinsip "biar sedikit tapi enak"
terpaksa ia buang sekarang. Ia pun sudah menghubungi majikan
supaya upah dinaikkan. Hasilnya nol. "Kita betul-betul terjepit,
suara kita tidak ada yang mendengarkan," kata Enjang, "ini tidak
adil. Yang berlipat untung tetap saja majikan, yang kaya makin
kaya, yang susah tambah susah!"
Kaum majikan dan petani-petani pemilik tanah memang bernasib
lain. Kenaikan tersebut tidak disambut dengan keluhan. "Karena
beras di tangan kita, jelas kita tak terpukul," kata Haji Hasim,
63 tahun, pemilik 3 hektar sawah di Gempol, Karawang. Tetapi
meskipun demikian, ia masih menganggap masa-masa lalu tetap
lebih enak dari masa sekarang. Kenapa? Karena hanya dengan modal
1 hektar sawah, ia sanggup membeli 2 hektar sawah berikutnya
dalam tempo hanya beberapa tahun dari ha panen. Belum termasuk
yang dibagi-bagikan kepada anak-anaknya. Di masa lalu pemilik
sawah adalah pemilik masa depan yang empuk.
Dengan sawah pula Hasim naik ha dan memperbaiki rumahnya. Ia
tidak perlu turun menyentuh lumpur dan bergulat dengan terik
matahari, karena ada buruh tani. Ia tinggal tunjuk saja. Ada 40
orang buruh yang mengolah tanahnya. Diberi makan tiga kali dan
gaji Rp 400 sehari. "Itu sudah cukup lumayan untuk
memperhatikan mereka," kata haji Hasim ketika ditanya kenapa
tidak menaikkan upah buruhnya. "Di sini sudah umum kalau upah
cuma sebegitu yang penting dengan kenaikan ini kita bertambah
untung," katanya menambahkan.
Menjual Perabotan
Tapi tidak semua petani atawa pemilik sawah yang mendapat sorga
ketujuh sekarang. Haji Mas'ud (55 tahun) di Desa Sukolili,
Surabaya, ternyata tetap sedih. Sementara petani sibuk mencari
pembeli non KUD, ia berjalan gontai ke KUD. Karena kenaikan
harga gabah tertuju pada gabah yang memiliki kadar air 18%.
Kadar air gabahnya tidak setinggi itu, karena dalam dua musim
ini sawahnya mengalami perbaikan pengairan. KUD sendiri hampir
saja afkir. Akibatnya Haji Mas'ud dan petani-petani yang senasib
terpaksa menjual perabotan rumah tangga dalam menyongsong bulan
Ramadhan. "Maklumlah, untuk bulan puasa saya biasa menyiapkan
bahan-bahan makanan yang cukup," kata petani Soewarno yang
dibenarkan oleh Haji Mas'ud.
Lain lagi nasib Munasir, petani usia 34 tahun di Desa
Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. "Awak sudah sial," katanya
sambil menggerutu. "Separuh dari sehektar padi yang siap panen,
dilalap belalang. Maka terpaksa untuk menikahkan anak saya bulan
lebaran depan saya urungkan."
Lebih buruk dari Munasir adalah nasib yang menimpa Sufe'i (39
tahun). Petani Desa Candi (Sidoarjo) ini mengalami gagal total
di saat matahari bersinar buat harga gabah. Sawahnya yang
menghampar seluas 1,7 hektar hancur dilalap wereng. "Rencana
tahun ini saya akan naik haji, kini jangankan pergi haji, untuk
persiapan lebaran saja rasanya harus berhutang dulu " katanya
dengan sedih.
Demikianlah tak semua petani benar-benar menikmati kenaikan
harga gabah. Barangkali sadar akan ketidakpastian itu, ada
petani yang meskipun cukup hidupnya, menyediakan sumber hidup
yang lain. Seperti Haji Mas'ud, yang membuka toko kelontong di
samping rumahnya. Sesuatu yang mungkin tak akan bisa dilakukan
oleh petani kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini