Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Petani, sesudah beras digertak

Kenaikan harga dasar gabah yang ditetapkan pemerintah, menguntungkan tengkulak & pemilik sawah. buruh tani tetap murah upahnya, para pedagang kesulitan membeli beras dan omzetnya menurun. (sd)

4 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LOMPATAN harga beras, membuat banyak orang gentar. Romlah, 43 tahun -- berdagang beras di pasar Cikampek-Karawang selama 25 tahun menganggap ini peristiwa paling getir dalam kariernya. "Kalau dihitung-hitung, bagus saya berhenti berdagang," ujar wanita itu dengan murung. Biasanya Romlah menjual beras sampai setengah ton sehari. Untungnya cukup bikin hidup senang dan aman. Sekarang sering rugi, karena harga tidak bisa dipegang. Kalau ia beli beras jenis IR di Ciasem dengan harga Rp 125 per liter -- lalu dijual di Cikampek Rp 128, itu belum untung. Karena esoknya di Ciasem beras sudah Rp 130." Sudahlah, siapa tahu bulan depan untung besar lagi," kata Romlah menghibur diri. Lima belas tahun yang lalu, untung pedagang beras memang tidak banyak juga. Tapi waktu itu ada kepastian. Karena itu Romlah tetap memegang profesi itu, menopang penghasilan suaminya untuk menghidupi 12 anak. Sejak pukul 7 pagi ia sudah meninggalkan rumah mencari beras, kemudian mengecerkannya di emperan toko. Menjelang magrib baru kumpul keluarga lagi. Tidak disertai rasa gentar, seperti sekarang. "Kalau terus dipikirkan, dalam kenaikan ini wah, kita bisa mati tegak," ujarnya. Yatni, 24 tahun, yang baru 6 bulan jualan beras di Cikampek ikut ketakutan. "Dengan pengumuman pemerintah tentang kenaikan harga beras itu, lutut saya terasa lemah," katanya mengadu. Soalnya stok berasnya di gudang mengkeret. Uang di tangan ada tapi tak akan mampu membeli kembali sebanyak yang terjual dengan modal yang sama. Malam pengumuman yang disiarkan radio dan tv itu, ia gelisah ingin nguber beras. Esoknya ia seradak-seruduk mencari. "Tapi tak ada petani yang mau menjual. Sekarang mereka sudah makin cerdik dan mengikuti perkembangan keadaan," kata Yatni. Sejak kenaikan harga, pembeli beras di tempat Yatni surut. Bukan lantaran mereka berhenti makan. "Cuma mereka lebih senang beli ketengan", kata Yatni menjelaskan. Iban, 40 tahun, pedagang beras di pasar Johar-Karawang, membenarkan susutnya arus pembelian. Kalau biasanya ia mampu menjual antara 2 sampai dengan 3 ton sehari, setelah kenaikan harga baru-baru ini hanya satu ton. Bukan hanya menjual, ia sendiri kalau hendak beli beras jadi sulit. Kadang-kadang ia memburu beras sampai ke Jakarta. "Mau beli, tapi tak ada yang jual," kata Iban dengan kesal. Ia merenung mengingat kemungkinan harga selalu bisa berubah esok. Koperasi Unit Desa (KUD) yang didirikan untuk membantu petani bila harga dasar jatuh, sekarang ini jadi kurang kerjaan -- setidak-tidaknya dalam soal beras. KUD Model di Desa Jatisari, Karawang, dulu sibuk melayani petani, tatkala harga gabah masih Rp 6.500 perkwintal. Setelah pemerintah menetapkan harga dasar Rp 9.500, petani lebih suka mencari pembeli non KUD. "Biar petani tak menjual pada kita, tak soal, asal harga tetap tinggi," kata Kusnendar, ketuanya. Kusnendar, 54 tahun, sudah banyak pengalaman dalam soal koperasi. Dulu setiap panenan ia memang sibuk. Dengan sendirinya sekarang banyak waktu kosong. Lalu diisinya dengan menyediakan jasa, melayani petani menggiling padi, menjual pupuk dan candak-kulak. Ia hanya berharap agar petani tidak nlenjual habis persedian padinya. "Perlu untuk cadangan menjelang panen Pebruari tahun depan," ujarnya mengingatkan. Para petani sendiri kebetulan juga agak ragu-ragu menjual sekarang karena harga belum terkunci betul. Siapa tahu menggertak lebih tinggi lagi. "Akibatnya mereka juga hanya menggiling pas-pasan untuk makan," kata Kusnendar. Bagaimana nasib para tengkulak? Cecep, tengkulak dan tukang ijon yang beroperasi di sekitar Kabupaten Subang, Jawa Barat, tampak gembira. "Dengan kenaikan itu untung saya jadi berlipat," katanya kepada Helman Eidy dari TEMPO. Begitu harga baru diumumkan, dia melompat-lompat dan memuji kebijaksanaan pemerintah. Sebagai bukti, ia sulap sepeda motor Honda-nya jadi Vespa Sprint yang masih nyentring -- baru. "Kalau bisa kenaikan seperti itu seringsering terjadi," kata Cecep dengan sungguh-sungguh. Harapan Cecep dikutuk oleh kalangan buruh tani. "Baru kenaikan sebegini saya sudah kalang-kabut," kata Darkim, buruh tani yang tinggal di Cempol, Karawang." Kalau sering-sering naik, bisa jadi kami mati tidak makan," ujarnya lebih lanjut. Lelaki 39 tahun ini harus menghidupi isteri dan 2 anak yang sedang kuat-kuatnya makan. Sehari ia membutuhkan 2 liter beras. Dulu jumlah ini hanya berarti Rp 225 tapi sekarang ngacung jadi Rp260 -- sementara penghasilannya tetap saja Rp 400 sehari. Sementara ongkos angkutan dan barangbarang kebutuhan pokok lainnya ikut juga bergerak. Cukup Lumayan Darkim hampir tak berdaya. Ia sudah mencoba menghubungi majikannya, supaya upah dinaikkan. Atau mengganti upah uang dengan beras. Tapi permintaan itu tidak didengar. Untunglah kesempatan kerja masih terus ada, karena selama ini bukan ia yang mencari majikan, tetapi majikan yang mencarinya. Namun dalam soal upah, majikan yang membutuhkannya itu toh tetap memiliki posisi yang menentukan. "Yah tak apalah, biar upah murah asal harga barang juga rendah," kata Darkim menghimbau. Enjang, buruh tani di Batujaya, Karawang, sama keluhannya. Lelaki usia 45 tahun ini sebelumnya membiasakan lidahnya bergumul dengan beras jenis Pelita atau C-4 (termasuk beras enak -- di bawah beras Cianjur). Sekarang mutu beras yang dikunyahnya anjlog, hanya jenis IR. Prinsip "biar sedikit tapi enak" terpaksa ia buang sekarang. Ia pun sudah menghubungi majikan supaya upah dinaikkan. Hasilnya nol. "Kita betul-betul terjepit, suara kita tidak ada yang mendengarkan," kata Enjang, "ini tidak adil. Yang berlipat untung tetap saja majikan, yang kaya makin kaya, yang susah tambah susah!" Kaum majikan dan petani-petani pemilik tanah memang bernasib lain. Kenaikan tersebut tidak disambut dengan keluhan. "Karena beras di tangan kita, jelas kita tak terpukul," kata Haji Hasim, 63 tahun, pemilik 3 hektar sawah di Gempol, Karawang. Tetapi meskipun demikian, ia masih menganggap masa-masa lalu tetap lebih enak dari masa sekarang. Kenapa? Karena hanya dengan modal 1 hektar sawah, ia sanggup membeli 2 hektar sawah berikutnya dalam tempo hanya beberapa tahun dari ha panen. Belum termasuk yang dibagi-bagikan kepada anak-anaknya. Di masa lalu pemilik sawah adalah pemilik masa depan yang empuk. Dengan sawah pula Hasim naik ha dan memperbaiki rumahnya. Ia tidak perlu turun menyentuh lumpur dan bergulat dengan terik matahari, karena ada buruh tani. Ia tinggal tunjuk saja. Ada 40 orang buruh yang mengolah tanahnya. Diberi makan tiga kali dan gaji Rp 400 sehari. "Itu sudah cukup lumayan untuk memperhatikan mereka," kata haji Hasim ketika ditanya kenapa tidak menaikkan upah buruhnya. "Di sini sudah umum kalau upah cuma sebegitu yang penting dengan kenaikan ini kita bertambah untung," katanya menambahkan. Menjual Perabotan Tapi tidak semua petani atawa pemilik sawah yang mendapat sorga ketujuh sekarang. Haji Mas'ud (55 tahun) di Desa Sukolili, Surabaya, ternyata tetap sedih. Sementara petani sibuk mencari pembeli non KUD, ia berjalan gontai ke KUD. Karena kenaikan harga gabah tertuju pada gabah yang memiliki kadar air 18%. Kadar air gabahnya tidak setinggi itu, karena dalam dua musim ini sawahnya mengalami perbaikan pengairan. KUD sendiri hampir saja afkir. Akibatnya Haji Mas'ud dan petani-petani yang senasib terpaksa menjual perabotan rumah tangga dalam menyongsong bulan Ramadhan. "Maklumlah, untuk bulan puasa saya biasa menyiapkan bahan-bahan makanan yang cukup," kata petani Soewarno yang dibenarkan oleh Haji Mas'ud. Lain lagi nasib Munasir, petani usia 34 tahun di Desa Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. "Awak sudah sial," katanya sambil menggerutu. "Separuh dari sehektar padi yang siap panen, dilalap belalang. Maka terpaksa untuk menikahkan anak saya bulan lebaran depan saya urungkan." Lebih buruk dari Munasir adalah nasib yang menimpa Sufe'i (39 tahun). Petani Desa Candi (Sidoarjo) ini mengalami gagal total di saat matahari bersinar buat harga gabah. Sawahnya yang menghampar seluas 1,7 hektar hancur dilalap wereng. "Rencana tahun ini saya akan naik haji, kini jangankan pergi haji, untuk persiapan lebaran saja rasanya harus berhutang dulu " katanya dengan sedih. Demikianlah tak semua petani benar-benar menikmati kenaikan harga gabah. Barangkali sadar akan ketidakpastian itu, ada petani yang meskipun cukup hidupnya, menyediakan sumber hidup yang lain. Seperti Haji Mas'ud, yang membuka toko kelontong di samping rumahnya. Sesuatu yang mungkin tak akan bisa dilakukan oleh petani kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus