Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Skala dan frekuensi penelitian obat tradisional lokal mungkin tak sebesar penelitian obat sejenis di negara maju. Namun, tak berarti tak pernah ada penelitian tentang obat tradisional untuk rematik. Di berbagai sentra penelitian, tanaman penangkal rematik sudah lama jadi sorotan. Pusat Penelitian Tanaman Obat Tradisional Universitas Gadjah Mada (PPOT UGM), Yogyakarta, misalnya, menyoroti tanaman antirematik sejak 1988. Dari penelitian di lembaga ini berhasil diidentifikasi dua zat aktif dalam tanaman yang dipakai sebagai bahan baku obat rematik: kurkuminoid, antiperadangan, dan flavonoid, penghilang nyeri.
Umumnya obat tradisional encok berbahan baku rimpang kunyit, jahe, kencur, lengkuas atau laos, buah pala, dan merica. Jahe, temu lawak, kunyit, dan lengkuas ternyata mengandung zat aktif yang berkhasiat sebagai antiperadangan. Pada daun jambu mete ditemukan zat aktif flavonoid yang bermanfaat mengurangi rasa sakit.
Menurut Kepala Bagian Biologi Farmasi Fakultas Farmasi UGM, Suwijiyo Pramono, aktivitas zat aktif dalam berbagai tanaman itu bervariasi. Ada yang yang cukup kuat, ada pula yang lemah. Untuk mengetahuinya, perlu penelitian. Mula-mula penelitian dilakukan pada hewan percobaan, dan baru kemudian dilakukan uji klinis pada manusia.
Penelitian yang sudah dilakukan beberapa produsen jamu nyatanya belum menggoyahkan kalangan medis untuk merekomendasikannya. Obat berbahan herbal produksi Darya Varia yang dipatenkan pada 1992, Rheumakur, kurang ditanggapi para dokter. Kini obat berbentuk kapsul lunak yang hanya bisa diperoleh dengan resep dokter itu malah diekspor ke Jepang. Begitu pula pengalaman PT Nyonya Meneer, yang memproduksi Rheumaneer, kapsul jamu rematik berbahan baku rimpang jahe, kunyit, dan temu lawak. Walaupun obat itu telah diuji klinis oleh Fakultas Kedokteran UGM dan menelan biaya Rp 200 juta, sambutan kalangan dokter adem-adem saja. Padahal, "Jamu ini tidak punya efek samping," kata Budiono Santoso, farmakolog UGM.
Di samping punya nilai plus, jamu memang menyimpan kelemahan. Efek obat tradisional lebih kecil ketimbang obat sintetis. Karena itu pula, tak sedikit produsen tergoda untuk mengakali keterbatasan jamu dengan jalan pintas. Ada beberapa jamu yang dicampur dengan bahan kimia seperti antalgin atau parasetamol, bahkan ada yang meraciknya dengan steroid seperti deksametason atau prednison. Hasilnya memang luar biasa. Pegal, linu, nyeri, dan demam lenyap dengan segera. "Banyak yang tertipu dan mengira jamu tersebut betul-betul manjur," kata Suwijiyo.
John Darmawan, ahli rematik yang menjadi anggota WHO Expert Committee on Rheumatic Disease, pernah meneliti kasus jamu oplosan ini. Selama penelitian, pada 1982-1984, penduduk Pringgading dan Bandungan, Jawa Tengah, banyak mengonsumsi dua merek jamu rematik yang terkenal manjur. Ternyata, kedua merek jamu ini mengandung prednison dan fenilbutason. "Setelah dua bahan kimia ini saya ambil, kedua jamu tak lagi manjur," kata John.
Praktek seperti itu rupanya cukup jamak. Pertengahan tahun lalu, Departemen Kesehatan menarik 54 merek jamu dari peredaran gara-gara dicampur dengan obat modern. Pengoplosan jamu semacam ini memang tak boleh dibiarkan. Sangat berbahaya. Apalagi bila teknik dan takaran campuran sama sekali tak dihitung teliti, sementara orang bisa mendapatkan jamu dengan bebas. Deksametason, campuran jamu rematik dan asma, misalnya, berdampak mengubah keseimbangan sistem hormon tubuh. Ujungnya, badan menjadi gemuk karena retensi air yang berlebihan, dan wajah membengkak (moon face). Prednison, yang ditemukan pada beberapa jamu rematik, memang manjur menghilangkan pegal linu. Tetapi, begitu efek obat hilang, pegal muncul lagi. Akhirnya orang tergantung pada jamu itu, dan akibatnya fungsi usus, ginjal, dan hati menjadi rusak.
Menurut Suwijiyo, jamu memang tidak sanggup bekerja cespleng secepat obat modern. Maklumlah, "Kandungan zat aktif dalam tanaman hanya sedikit," kata doktor fitofarmako lulusan Universitas Toulouse, Prancis, itu. Kini memang ada perkembangan baru untuk meningkatkan efek obat tradisional: membuatnya dalam ekstrak murni dan kemudian dikemas dalam kapsul. Meski begitu, obat tradisional memang tak selayaknya diharapkan sehebat senyawa sintetis, yang bisa dibuat massal dalam kadar optimal. Kalau obat tradisional begitu dahsyat, mungkin kita justru perlu curiga dan kritis mempertanyakannya.
Mardiyah Chamim, Bandelan Amarudin (Semarang), R. Fadjri (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo