Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adrianus Meliala *)
Kriminolog UI
SEBAGAI pengamat, khususnya terhadap hal-hal yang (dianggap) menyimpang di masyarakat, penulis melihat betapa kerap "jalan" sebagai suatu benda fisik memperoleh pengonstruksian makna baru saat hendak dikaitkan dengan macam-macam perilaku atau situasi yang, secara umum, tidak ideal.
Kita kenal, misalnya, istilah "pengadilan jalanan" sebagai penamaan lain dari tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan. Demikian pula sebutan "anak jalanan" bagi kanak-kanak telantar yang ditemukan sehari-hari di jalanan ataupun kanak-kanak yang (terlepas dari apakah ia telantar atau tidak) memanfaatkan kehidupan jalanan sebagai tempat mencari uang. Selaras dengan itu, masyarakat juga mengembangkan semacam gambaran yang tidak terlalu positif saat berbicara tentang "kehidupan jalanan". Kehidupan di situ umumnya digambarkan keras, berat, saling mengeksploitasi, amat bernapaskan kelelakian, serta memiliki norma-norma sendiri yang bisa jadi amat berbeda dengan yang biasa ditemukan. Contoh agak berbeda tentang jalan menyangkut fenomena "turun ke jalan" atau berunjuk rasa sebagai suatu cara mengemukakan pendapat dan keinginan. Sebenarnya, selain cenderung menimbulkan gangguan lalu-lintas ataupun keamanan, fenomena ini dapat pula dianggap menyimpang. Hal ini mengingat pada dasarnya ia telah keluar dari berbagai cara yang dianggap wajar dan biasa dilakukan tapi tidak lagi efektif. Mengapa begitu banyak hal yang tidak ideal, negatif, bahkan jahat tersebut lalu dikaitkan dengan jalan, padahal kita sendiri tak mungkin menyangkal perihal kegunaan jalan? Jangan-jangan ini bukan cuma sekadar pencarian analogi ataupun suatu pengonstruksian makna baru, melainkan sesuatu yang sebenarnya memang memiliki dasar dalam struktur keyakinan atau belief base-rate kita tentang suatu hal. Jadi, jalan menjadi bebas untuk dipasangkan pada hal lain sehingga terbentuk makna baru untuk hal-hal menyimpang. Salah satunya karena, kemungkinan, kita sendiri tidak pernah memandang jalan sebagai ruang atau habitus tempat jati diri kita direpresentasikan di dalamnya. Maka, seseorang yang amat pembersih di rumah merasa tak ada salahnya membuang sampah dari balik kaca mobil ke jalan raya. Juga, betapapun terdidik seseorang, amat mungkin ia menganggap tak ada salahnya mendahului mobil lain dari bahu jalan tol. Di pihak lain, para pedagang kaki lima yang kerap bentrok dengan petugas keamanan dan ketertiban juga bukan orang yang per se tidak tahu aturan dan tidak pernah menanamkan perlunya aturan, setidak-tidaknya pada keluarganya. Para pejalan kaki pun mengetahui bahwa trotoar adalah ruang yang disediakan bagi mereka, tapi diam saja bila ada yang mendudukinya atau bila tidak disediakan sama sekali. Para pengguna jalan juga berlomba-lomba "memperkenalkan diri" melalui aneka kemasan simbol sosial seperti merek kendaraan, macam-macam aksesori, nomor kendaraan, warna pelatnya, serta aneka stiker kaca mobil. Singkatnya, kita bisa menjadi amat berbeda di jalanan, dari sudut sikap hingga perilaku. Dan umumnya perbedaan itu berbentuk dimensi yang lebih kurang beradab dari diri kita. Dengan simbol merek mobil, misalnya, kita sebetulnya minta lebih dihargai. Dan kita pun ingin lebih ditakuti bila menempel stiker-stiker berbau militer. Sampai di sini, menjadi cukup jelas bila kemudian jalan secara instingtif juga dimanfaatkan saat kita hendak mengonsepkan suatu hal yang dianggap menyimpang oleh masyarakat. Menjadi cukup jelas pula bila kemudian masyarakat kita memang tidak pernah bisa sama dengan masyarakat lain dalam hal memanfaatkan wilayah publik yang bernama jalan itu. Jalan-jalan di Jakarta, bahkan Pasarbaru, selalu "gagal" untuk diubah menjadi Oxford Road di Singapura atau Piccadilly di London. Jangan lagi bicara tentang kapan taman-taman kita bisa seperti Parliament Park di Canberra atau Manhattan Square di New York. Perlu segera dicermati, ini bukan masalah tata kota dan juga bukan sekadar masalah teknis pembuatannya. Sekali lagi, ini lebih menjadi masalah keyakinan atau sikap yang berkaitan dengan wilayah publik. Di beberapa tempat yang disebut tadi, keberadaan di wilayah publik itu malah menjadikan seseorang lebih ramah, penuh mannerism, terhadap orang-orang yang tidak dikenalnya ketimbang saat berada di rumah sendiri. Saat sumpek atau pusing di rumah, orang lalu "mencari angin" di jalan, taman, atau pertokoan. Jalan, singkatnya, menjadi wilayah publik yang punya ikatan kuat dengan wilayah privat kita. Tentu saja di mana pun selalu terdapat ruas-ruas jalan yang kotor, sunyi, ditinggalkan (deprived) oleh penggunanya, dan, karena itu, semakin tidak aman. Itulah contoh wilayah publik yang, entah kenapa, tidak diyakini sebagai wilayah yang dimiliki oleh siapa pun. Di Jakarta, justru keyakinan itulah yang mayoritas berkembang. Salah satu penyebabnya adalah kita sendiri memang dibiasakan memperlakukan wilayah publik kita (terminal, pasar, dan sebagainya) sebagai daerah tak bertuan. Satu hal yang diyakini bila cara pikir "daerah tak bertuan" itu berlangsung terus adalah menyangkut ketidakpastian akan apa yang bakal ditemukan di jalan ataupun ketidakpastian perihal cara menghadapinya. Dalam kaitan dengan itu, analogi jalan sebagai "rimba kota" sebetulnya ada benarnya. Saat berada di jalan, seseorang benar-benar harus bertahan hidup dengan caranya sendiri. Bahaya dan celaka bisa datang tiba-tiba, ditambah lagi tiada sarana pendukung kegiatan jalan raya yang benar-benar dapat diandalkan (ambulans, polisi, marka jalan, pemadam kebakaran, ataupun lampu lalu-lintas). Selain sebagai daerah tak bertuan, keyakinan lain terhadap wilayah publik adalah betapa ia selalu "siap" untuk dieksploitasi. Kehadiran preman, kaki lima, terminal bayangan, pasar kaget, polisi bayangan, ataupun pemasang paku di jalan adalah aneka respons yang sejajar dengan keyakinan tadi. Atas dasar itu semua, sekali lagi, menjadi wajar bila jalan kemudian dijadikan contoh paling ekstrem tempat para penggunanya memang diharuskan tidak boleh sering-sering tersenyum, menyapa, atau lebih mendahulukan orang lain. Dan kalau ada yang terlalu sering berbuat begitu, jangan-jangan ia lalu dianggap sebagai orang gila. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |