DULU disebut Polisi Khusus Kehutanan. Sejak beberapa tahun ini
dipanggil Satuan Pengaman (Sat-Pam) Hutan (SPH). Tugasnya sama
saja, menjaga dan mengamankan hutan dari berbagai gangguan.
Menurut mereka yang menjadi anggota Sat-Pam Dinas Kehutanan
Provinsi Sulawesi Tengah, tugas mereka tidak berat. Lebih-lebih
sekarang sudah ada pembagian lokasi hutan yang lebih teratur
berkat adanya HPH. (Hak Pengusahaan Hutan).
Umumnya mereka masih berusia muda. Maklum tugas mereka
memerlukan badan yang segar. Mereka harus menembus hutan,
menembus gunung, terkadang melawan banjir. Hanya J.S. Salumpana
yang sudah terhitung tua -- usianya 40 tahun. Dia salah seorang
SPH di Sulawesi Tengah. Rambutnya sudah ubanan. Bekerja di Dinas
Kehutanan sejak 1958. Sekarang pegawai golongan IIb dengan gaji
Rp 38.900 plus Rp 15.000 uang jalan.
Untuk menanggung seorang istri dan 5 anak Salumpana merasa cukup
mampu. Terutama karena di kampungnya ada 1 hektar tanah warisan.
Di Palu ia menghuni sebuah rumah dinas sejak 1962 yang nampak
sederhana. Setiap hari ia siap di kantor, menunggu kalau ada
tugas turun ke lapangan. Menurutnya, tahun-tahun ini keadaan
hutan di pantai barat dan timur Kabupaten Donggala nampak aman.
Batas hutan milik masing-masing pengusaha jelas. Jarang ditemui
pencurian kayu hitam.
Bila ada kasus penebangan kayu liar yang dilakukan oleh bukan
pemilik HPH, Salumpana cukup mencatat data siapa yang menyuruh.
Berapa banyak kayu yang sudah ditebang? Praktis hanya membuat
catatan-catatan ringan. Kalau kasusnya ringan, diselesaikan di
tempat itu juga -- yakni si penebang tidak diperkenankan
mengangkut kayunya. Kalau berat dilaporkan ke dinas kehutanan
provinsi.
Balas Jasa
Karena hutan sudah aman, tambahan lagi tubuhnya sudah mulai
payah, Salumpana jarang turun langsung ke lapangan. Paling
banter 4 kali dalam setahun. Apalagi sudah banyak tenaga muda.
Dari profesinya, lelaki ini bisa cukup makan dan menyekolahkan
anak-anak.
Kimran Simak, rekan Salumpana yang berusia 26 tahun membenarkan
penebangan hutan lebih mudah diawasi. Apabila terjadi kesalahan
tebang karena jarak lokasi HPH berdekatan, diselesaikan dengan
cara pengembalian biaya penebangan. Kalau ada karyawan sendiri
yang mencuri kayu untuk dijual kepada orang luar, barulah Kimran
bertindak. Kayu-kayu tersebut dikembalikan kepada pemiliknya.
Bagi Kimran pekerjaannya tidak berat. Dengan seorang istri dan
seorang anak, ia juga merasa gajinya cukup untuk hidup. Padahal
statusnya hanya pegawai harian-tetap. Ia mendapat gaji Rp 10
ribu plus tunjangan Sat-Pam Rp 10 ribu, serta uang jalan tetap
tiap triwulan sebesar Rp 15 ribu. Masih ditambah lagi dengan 10
kg beras. Karena Kimran muda, pekerjaan itu sama sekai tidak
berat baginya.
Kimran bertugas bersama 3 orang rekan. Kepala bagian Teknis,
turun juga, kalau ada kasus-kasus. Dari Palu Kimran naik
kendaraan dinas sampai ke tepi perkampungan atau pondok yang
memang telah disediakan oleh pengusaha hutan. Makannya
sehari-hari terdiri dari nasi dan ikan kering. Kadangkala dapat
ikan kaleng dari pengusaha.
Melalui jalan darurat di lokasi penebangan yang sudah
disediakan, ia memeriksa kayu-kayu hitam. Berapa stok yang ada,
berapa yang sudah dikirim dan berapa sisanya. Kadang-kadang
lokasi kayu hitam bisa sampai 10 - 40 km -- toh harus ditempuh
juga meski hanya dengan jalan kaki. Kimran mengaku tak pernah
capek, karena berjalan di keteduhan bayangan pohon, lagi pula
udara segar.
Kimran dan kawan-kawannya kadangkala tinggal seminggu sampai
saru setengah bulan di tengah hutan. Memang membosankan dan
bikin rindu pada keluarga. Untuk itulah seringkali pengusaha
memberi balas jasa antara Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu. Lumayan.
Tapi bahaya cukup banyak. Kebakaran hutan misalnya. Sebab
pembakaran sering dilakukan dengan sengaja oleh penduduk
setempat yang hendak membuka ladang baru. Dua tahun yang lalu
pernah terjadi kebakaran hebat yang memakan 2 hektar hutan di
Kabupaten Donggala. Hanya dengan bantuan masyarakat, kebakaran
itu bisa distop. Dipadamkan dengan batang-batang pisang.
Dalam menjalankan tugas, memberikan penerangan agar masyarakat
tidak lagi main tebang atau main bakar, Kimran dan kawan-kawan
tidak menemukan kesulitan. Masyarakat menurut dan tidak
melakukannya lagi. Hanya suku-suku terasing yang terkadang masih
bandel -- karena mereka menganggap hutan itu milik siapa saja.
Kimran yang lulusan SMA bertugas di sekitar Donggala saja
sementara ini. Ia tidak pernah kepergok binatang buas. Paling
banter babi. Yang paling menjengkelkan adalah melawan lintah.
Menurut Kimran, lintah hutan itu dengan tenangnya akan menempel
di sekujur tubuh sambil menghisap darah. Kaki yang sudah pakai
sepatu juga masih bisa digerayanginya. Seringkali berhasil masuk
ke dalam mata. Herannya, sang korban tidak akan merasa apa-apa.
Tahu-tahu saja pandangan gelap, sebab lintah tersebut sudah
menutup mata karena kekenyangan. Kalau ia sudah tidak bisa
menghisap lagi, ia baru menjatuhkan dirinya.
Frets Palino Djiday, pemuda asal Kulawi, rekan sejawat Kimran
merasa senang dapat tugas di hutan. "Habis itu memang kerja
saya," ujarnya. Ia hanya kewalahan kalau ketanggor banjir. Tugas
terhalang. Akhirnya hanya berputar-putar sampai ketemu jalan
tembus. Menurut Frets masa pencurian kayu sudah lewat dua tahun
yang lalu. Sekarang para pengusaha sudah bertetangga dengan
rukun. Segala sengketa selalu bisa diselesaikan dengan baik.
Hanya saja pemuda usia 23 tahun ini tak senang bila memandang ke
masa depannya. Sebabnya sederhana: ia belum diangkat sebagai
pegawai tetap.
Siang Malam Mencegat Truk
Di Kawangkoan, Minahasa, tepat di kelokan jalan menuju Amurang
ada sebuah gubuk. Gubuk ini selain rumah tinggal dipakai juga
sebagai pos. Seorang petugas siang malam berjaga dengan awas. Ia
berseragam lengkap dari kain kaki, topi pelopor dan sepatu lars
hitam. Pada sabuknya tergantung sepucuk pistol Marksman repeater
dalam tas hitam. Sedangkan di pinggang kiri ada tas peluru.
Malam hari ia mengenakan Jaket loreng a la Kopasanda, hingga
tampangnya jadi seram. Keseraman inilah modal utamanya dalam
bertugas.
Di atas saku dada sebelah kiri terbaca namanya "Marthen Naay",
dan di sebelah kanan "Sat Pam Kehutanan". Dialah Kepala Resort
Polisi Kehutanan Kawangkoan. Tugasnya menjaga keamanan dan
kelestarian hutan di empat wilayah kecamatan:
Tompaso-Kawangkoan-Sonder dan Tareran. Khususnya hutan cadangan
di lereng barat Gunung Lengkoan dan lereng utara Gunung Soputan,
yang menurut pengakuannya kini hanya tinggal 11 hektar.
Dengan wilayah yang kecil itu, Marthen Naay (46 tahun) tak perlu
merasa cemas mengadakan perondaan mengawasi proyek reboisasi di
wilayahnya. Baik di lereng Lengkoan maupun di Soputan. Soal
pelanggaran perombakan hutan secara liar, tak perlu dirisaukan.
"Di wilayah saya tidak ada perombakan hutan liar," ucapnya
sambil melirik muatan setiap truk yang melewati posnya, dari
arah Minahasa Selatan. Siang malam tugasnya hanya mencegat
kendaraan yang mengangkut kayu. Memeriksa dan mengenakan denda
bagi yang tidak memiliki surat.
Di Minahasa Tengah dan Selatan ada tiga pos semacam ini
masing-masing di Motoling, Ratahan dan Kawangkoan. Kawangkoan
adalah pos terakhir, yang harus dilewati setiap angkutan kayu
sebelum lolos ke Kota Manado. "Untung-untungan kalau sebulan
sekali ada penyelundup kayu kepergok," ujarnya. Jangan lupa,
setiap ada penyelundup kayu, berarti rezeki bagi polisi hutan,
sebab dari hasil denda mereka memperoleh premi 10 prosen. Denda
itu sebesar Rp 15.000/m3 kayu jenis cempaka atau Rp 11.250/m3
kayu bermutu kelas II.
Tak heran kalau Marthen nampak sangat bergairah dengan tugasnya.
Kupingnya sudah terbiasa mendengar deru kendaraan lewat dan
memastikan mana yang membawa muatan kayu. Matanya merah tanda
kurang tidur. Setiap ada kendaraan angkutan yang melewati pos,
ia kelihatan seperti berharap akan menangkap penyelundup.
Maklum, menjelang Natal. Sebagai pegawai Golongan IB dengan
gaji cuma Rp 22.000 ditambah 30 kg beras sebulan untuk
menghidupi istri dan seorang anak mana tahan hidup tanpa premi.
Marthen jadi pegawai kehutanan sejak 1961 dan sudah berdinas
sebagai polisi hutan sudah 16 tahun setelah kursus satu tahun di
Manado. Delapan tahun lagi ia pensiun.
Bersama istrinya ia tinggal dalam gubuk yang sekaligus merupakan
pos dan kantornya. Dibangun dengan anggaran dinas di atas tanah
yang disewa Rp 4.000 sebulan. Bangunan berlantai tanah, atap
rumbia ini, ruang tamunya dilengkapi bale-bale, dari tempat mana
Marthen -- ditemani seorang pembantu -- berjaga-jaga siang-malam
demi kelestarian hutan, denda dan premi. Sebuah lampu petromak
tergandung dekat tirisan untuk menerangi jalan di waktu malam.
Pekerjaan Marthen memerlukan ketahanan melawan jemu. Juga
ketahanan mental untuk menghadapi kemungkinan suap dari
penyelundup kayu yang terakhir ini menurut Marthen "belum pernah
dialami". Penyelundup sering melakukan berbagai akal bulus.
Kadang-kadang muatan kayu ditimbun dengan kopra atau muatan
lain, sehingga tak nampak. Ada juga pengemudinya menancap gas
ketika dicegat.
Untuk menghadapi penyelundupan Marthen berlaku keras juga.
Dengan sepeda motor dinas yang sudah tua kendaraan yang lari
akan dikejar melalui jalan pintas yang ada. Kalau perlu, dengan
pistol ia bergaya. Kalau keadaan sudah begini, sopir yang bandit
bebuyutan sekalipun pasti berhenti dan menyerah.
Sekali waktu Hasan Kaeng, pembantu Marthen, mengalami luka-luka
karena terpaksa harus berguling ke tepi jalan, hendak disambar
sebuah truk yang tak suka dihentikan. Truk itu lolos. Marthen
sendiri akhirnya tak berdaya, karena kebetulan motor sedang
mogok di bengkel.
Mengapa tidak menggunakan pistol untuk tembakan peringatan?
Polisi hutan itu hanya senyum tersipu memandang pembantunya.
"Itu cuma pistol cis rusak yang tak ada peluru," sahutnya.
"Tapi sekarang setelah pistol saya pakai mereka cepat juga
berhenti kalau dicegat, malahan kadang-kadang memberi rokok,"
tutur Marthen sambil menyulut rokok kretek.
Marthen bangga dan berniat akan bertugas sampai kapan saja.
Kalau sudah pensiun, ia akan kembali ke kampungnya di Likupang
untuk bertani.
Biarkan
Hutan di Sum-Bar kecuali di Kepulauan Mentawai tidak perlu di
HPHkan. Berikan saja kepada rakyat di kampung-kampung
sekitarnya. Ini pendapat Kiram (52) yang sudah 24 tahun dinas
sebagai Polisi Hutan. Mengapa? "Kan hutan dimaksudkan untuk
kesejahteraan rakyat," kata Kiram.
Sebagai polisi hutan yang sudah bertugas di mana-mana di kawasan
Sum-Bar dan terakhir Polisi Hutan Kecamatan Gunung Talang Solok,
laki-laki setengah tua itu melihat susahnya kehidupan rakyat di
kampung-kampung. "Mereka menganggur dan perlu hidup. Biarkan
sekedar untuk mengarit untuk bahan perumahan, mengambil rotan
dan sebagainya," katanya. Dan Kiram melihat selama ini kerusakan
hutan tidak terjadi semena-mena oleh rakyat. "Peralatan penduduk
sederhana. Mereka ambil sebatang dan itu dikerjakan sampai 3
hari. Kan tidak rusak," kata Kiram lagi. Ia khawatir hutan rusak
oleh pemilik HPH yang membabat dengan mesin-mesin.
Akan halnya Mentawai, memang ia melihat ada alasan lain.
Penduduk memang masih jarang dan nyaris tidak hidup dalam arti
kayu sebagai mata pencaharian yang paling pokok. Karena cukup
luas memang wajar jika di HPH-kan.
Kiram bertubuh tegap. Katanya ia kini tidak kuat lagi mengawasi
penebangan di lapangan. "Sudah tua dan sebentar lagi mau
pensiun," katanya.
Karena usianya Kiram kini hanya mengawasi lalu lintas kayu di
Pos Polisi Hutan Lubuk Buaya Padang. "Tidak ada soal di pos ini,
setia yang lewat pajak bunga kayunya," katanya. Di pos itu, ia
ditemani seorang pegawai harian sebagai tenaga administrasi.
Selama pengabdiannya yang lebih dari 20 tahun sebagai Polisi
Hutan ia merasa tidak pernah menyakiti orang lain. Apalagi
rakyat. "Apabila ada rakyat yang menebang hutan di tempat
tertentu, ini bukan karena melawan kebijaksanaan pemerintah.
Lebih banyak karena tidak tahu," katanya.
Ia kini berpangkat golongan II: Kiram berpenghasilan sekitar Rp
45 ribu per bulan dengan tanggungan seorang istri dan 7 anak,
antaranya ada yang sudah di SLA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini