Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Polisi hutan, mana tahan tanpa premi

Pengalaman-satuan pengaman hutan, sph/satpam yang sering berbulan-bulan di hutan. satpam di hutan-hutan sulawesi & sumatera berpenghasilan tetap dari tambahan premi atas denda.

5 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DULU disebut Polisi Khusus Kehutanan. Sejak beberapa tahun ini dipanggil Satuan Pengaman (Sat-Pam) Hutan (SPH). Tugasnya sama saja, menjaga dan mengamankan hutan dari berbagai gangguan. Menurut mereka yang menjadi anggota Sat-Pam Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, tugas mereka tidak berat. Lebih-lebih sekarang sudah ada pembagian lokasi hutan yang lebih teratur berkat adanya HPH. (Hak Pengusahaan Hutan). Umumnya mereka masih berusia muda. Maklum tugas mereka memerlukan badan yang segar. Mereka harus menembus hutan, menembus gunung, terkadang melawan banjir. Hanya J.S. Salumpana yang sudah terhitung tua -- usianya 40 tahun. Dia salah seorang SPH di Sulawesi Tengah. Rambutnya sudah ubanan. Bekerja di Dinas Kehutanan sejak 1958. Sekarang pegawai golongan IIb dengan gaji Rp 38.900 plus Rp 15.000 uang jalan. Untuk menanggung seorang istri dan 5 anak Salumpana merasa cukup mampu. Terutama karena di kampungnya ada 1 hektar tanah warisan. Di Palu ia menghuni sebuah rumah dinas sejak 1962 yang nampak sederhana. Setiap hari ia siap di kantor, menunggu kalau ada tugas turun ke lapangan. Menurutnya, tahun-tahun ini keadaan hutan di pantai barat dan timur Kabupaten Donggala nampak aman. Batas hutan milik masing-masing pengusaha jelas. Jarang ditemui pencurian kayu hitam. Bila ada kasus penebangan kayu liar yang dilakukan oleh bukan pemilik HPH, Salumpana cukup mencatat data siapa yang menyuruh. Berapa banyak kayu yang sudah ditebang? Praktis hanya membuat catatan-catatan ringan. Kalau kasusnya ringan, diselesaikan di tempat itu juga -- yakni si penebang tidak diperkenankan mengangkut kayunya. Kalau berat dilaporkan ke dinas kehutanan provinsi. Balas Jasa Karena hutan sudah aman, tambahan lagi tubuhnya sudah mulai payah, Salumpana jarang turun langsung ke lapangan. Paling banter 4 kali dalam setahun. Apalagi sudah banyak tenaga muda. Dari profesinya, lelaki ini bisa cukup makan dan menyekolahkan anak-anak. Kimran Simak, rekan Salumpana yang berusia 26 tahun membenarkan penebangan hutan lebih mudah diawasi. Apabila terjadi kesalahan tebang karena jarak lokasi HPH berdekatan, diselesaikan dengan cara pengembalian biaya penebangan. Kalau ada karyawan sendiri yang mencuri kayu untuk dijual kepada orang luar, barulah Kimran bertindak. Kayu-kayu tersebut dikembalikan kepada pemiliknya. Bagi Kimran pekerjaannya tidak berat. Dengan seorang istri dan seorang anak, ia juga merasa gajinya cukup untuk hidup. Padahal statusnya hanya pegawai harian-tetap. Ia mendapat gaji Rp 10 ribu plus tunjangan Sat-Pam Rp 10 ribu, serta uang jalan tetap tiap triwulan sebesar Rp 15 ribu. Masih ditambah lagi dengan 10 kg beras. Karena Kimran muda, pekerjaan itu sama sekai tidak berat baginya. Kimran bertugas bersama 3 orang rekan. Kepala bagian Teknis, turun juga, kalau ada kasus-kasus. Dari Palu Kimran naik kendaraan dinas sampai ke tepi perkampungan atau pondok yang memang telah disediakan oleh pengusaha hutan. Makannya sehari-hari terdiri dari nasi dan ikan kering. Kadangkala dapat ikan kaleng dari pengusaha. Melalui jalan darurat di lokasi penebangan yang sudah disediakan, ia memeriksa kayu-kayu hitam. Berapa stok yang ada, berapa yang sudah dikirim dan berapa sisanya. Kadang-kadang lokasi kayu hitam bisa sampai 10 - 40 km -- toh harus ditempuh juga meski hanya dengan jalan kaki. Kimran mengaku tak pernah capek, karena berjalan di keteduhan bayangan pohon, lagi pula udara segar. Kimran dan kawan-kawannya kadangkala tinggal seminggu sampai saru setengah bulan di tengah hutan. Memang membosankan dan bikin rindu pada keluarga. Untuk itulah seringkali pengusaha memberi balas jasa antara Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu. Lumayan. Tapi bahaya cukup banyak. Kebakaran hutan misalnya. Sebab pembakaran sering dilakukan dengan sengaja oleh penduduk setempat yang hendak membuka ladang baru. Dua tahun yang lalu pernah terjadi kebakaran hebat yang memakan 2 hektar hutan di Kabupaten Donggala. Hanya dengan bantuan masyarakat, kebakaran itu bisa distop. Dipadamkan dengan batang-batang pisang. Dalam menjalankan tugas, memberikan penerangan agar masyarakat tidak lagi main tebang atau main bakar, Kimran dan kawan-kawan tidak menemukan kesulitan. Masyarakat menurut dan tidak melakukannya lagi. Hanya suku-suku terasing yang terkadang masih bandel -- karena mereka menganggap hutan itu milik siapa saja. Kimran yang lulusan SMA bertugas di sekitar Donggala saja sementara ini. Ia tidak pernah kepergok binatang buas. Paling banter babi. Yang paling menjengkelkan adalah melawan lintah. Menurut Kimran, lintah hutan itu dengan tenangnya akan menempel di sekujur tubuh sambil menghisap darah. Kaki yang sudah pakai sepatu juga masih bisa digerayanginya. Seringkali berhasil masuk ke dalam mata. Herannya, sang korban tidak akan merasa apa-apa. Tahu-tahu saja pandangan gelap, sebab lintah tersebut sudah menutup mata karena kekenyangan. Kalau ia sudah tidak bisa menghisap lagi, ia baru menjatuhkan dirinya. Frets Palino Djiday, pemuda asal Kulawi, rekan sejawat Kimran merasa senang dapat tugas di hutan. "Habis itu memang kerja saya," ujarnya. Ia hanya kewalahan kalau ketanggor banjir. Tugas terhalang. Akhirnya hanya berputar-putar sampai ketemu jalan tembus. Menurut Frets masa pencurian kayu sudah lewat dua tahun yang lalu. Sekarang para pengusaha sudah bertetangga dengan rukun. Segala sengketa selalu bisa diselesaikan dengan baik. Hanya saja pemuda usia 23 tahun ini tak senang bila memandang ke masa depannya. Sebabnya sederhana: ia belum diangkat sebagai pegawai tetap. Siang Malam Mencegat Truk Di Kawangkoan, Minahasa, tepat di kelokan jalan menuju Amurang ada sebuah gubuk. Gubuk ini selain rumah tinggal dipakai juga sebagai pos. Seorang petugas siang malam berjaga dengan awas. Ia berseragam lengkap dari kain kaki, topi pelopor dan sepatu lars hitam. Pada sabuknya tergantung sepucuk pistol Marksman repeater dalam tas hitam. Sedangkan di pinggang kiri ada tas peluru. Malam hari ia mengenakan Jaket loreng a la Kopasanda, hingga tampangnya jadi seram. Keseraman inilah modal utamanya dalam bertugas. Di atas saku dada sebelah kiri terbaca namanya "Marthen Naay", dan di sebelah kanan "Sat Pam Kehutanan". Dialah Kepala Resort Polisi Kehutanan Kawangkoan. Tugasnya menjaga keamanan dan kelestarian hutan di empat wilayah kecamatan: Tompaso-Kawangkoan-Sonder dan Tareran. Khususnya hutan cadangan di lereng barat Gunung Lengkoan dan lereng utara Gunung Soputan, yang menurut pengakuannya kini hanya tinggal 11 hektar. Dengan wilayah yang kecil itu, Marthen Naay (46 tahun) tak perlu merasa cemas mengadakan perondaan mengawasi proyek reboisasi di wilayahnya. Baik di lereng Lengkoan maupun di Soputan. Soal pelanggaran perombakan hutan secara liar, tak perlu dirisaukan. "Di wilayah saya tidak ada perombakan hutan liar," ucapnya sambil melirik muatan setiap truk yang melewati posnya, dari arah Minahasa Selatan. Siang malam tugasnya hanya mencegat kendaraan yang mengangkut kayu. Memeriksa dan mengenakan denda bagi yang tidak memiliki surat. Di Minahasa Tengah dan Selatan ada tiga pos semacam ini masing-masing di Motoling, Ratahan dan Kawangkoan. Kawangkoan adalah pos terakhir, yang harus dilewati setiap angkutan kayu sebelum lolos ke Kota Manado. "Untung-untungan kalau sebulan sekali ada penyelundup kayu kepergok," ujarnya. Jangan lupa, setiap ada penyelundup kayu, berarti rezeki bagi polisi hutan, sebab dari hasil denda mereka memperoleh premi 10 prosen. Denda itu sebesar Rp 15.000/m3 kayu jenis cempaka atau Rp 11.250/m3 kayu bermutu kelas II. Tak heran kalau Marthen nampak sangat bergairah dengan tugasnya. Kupingnya sudah terbiasa mendengar deru kendaraan lewat dan memastikan mana yang membawa muatan kayu. Matanya merah tanda kurang tidur. Setiap ada kendaraan angkutan yang melewati pos, ia kelihatan seperti berharap akan menangkap penyelundup. Maklum, menjelang Natal. Sebagai pegawai Golongan IB dengan gaji cuma Rp 22.000 ditambah 30 kg beras sebulan untuk menghidupi istri dan seorang anak mana tahan hidup tanpa premi. Marthen jadi pegawai kehutanan sejak 1961 dan sudah berdinas sebagai polisi hutan sudah 16 tahun setelah kursus satu tahun di Manado. Delapan tahun lagi ia pensiun. Bersama istrinya ia tinggal dalam gubuk yang sekaligus merupakan pos dan kantornya. Dibangun dengan anggaran dinas di atas tanah yang disewa Rp 4.000 sebulan. Bangunan berlantai tanah, atap rumbia ini, ruang tamunya dilengkapi bale-bale, dari tempat mana Marthen -- ditemani seorang pembantu -- berjaga-jaga siang-malam demi kelestarian hutan, denda dan premi. Sebuah lampu petromak tergandung dekat tirisan untuk menerangi jalan di waktu malam. Pekerjaan Marthen memerlukan ketahanan melawan jemu. Juga ketahanan mental untuk menghadapi kemungkinan suap dari penyelundup kayu yang terakhir ini menurut Marthen "belum pernah dialami". Penyelundup sering melakukan berbagai akal bulus. Kadang-kadang muatan kayu ditimbun dengan kopra atau muatan lain, sehingga tak nampak. Ada juga pengemudinya menancap gas ketika dicegat. Untuk menghadapi penyelundupan Marthen berlaku keras juga. Dengan sepeda motor dinas yang sudah tua kendaraan yang lari akan dikejar melalui jalan pintas yang ada. Kalau perlu, dengan pistol ia bergaya. Kalau keadaan sudah begini, sopir yang bandit bebuyutan sekalipun pasti berhenti dan menyerah. Sekali waktu Hasan Kaeng, pembantu Marthen, mengalami luka-luka karena terpaksa harus berguling ke tepi jalan, hendak disambar sebuah truk yang tak suka dihentikan. Truk itu lolos. Marthen sendiri akhirnya tak berdaya, karena kebetulan motor sedang mogok di bengkel. Mengapa tidak menggunakan pistol untuk tembakan peringatan? Polisi hutan itu hanya senyum tersipu memandang pembantunya. "Itu cuma pistol cis rusak yang tak ada peluru," sahutnya. "Tapi sekarang setelah pistol saya pakai mereka cepat juga berhenti kalau dicegat, malahan kadang-kadang memberi rokok," tutur Marthen sambil menyulut rokok kretek. Marthen bangga dan berniat akan bertugas sampai kapan saja. Kalau sudah pensiun, ia akan kembali ke kampungnya di Likupang untuk bertani. Biarkan Hutan di Sum-Bar kecuali di Kepulauan Mentawai tidak perlu di HPHkan. Berikan saja kepada rakyat di kampung-kampung sekitarnya. Ini pendapat Kiram (52) yang sudah 24 tahun dinas sebagai Polisi Hutan. Mengapa? "Kan hutan dimaksudkan untuk kesejahteraan rakyat," kata Kiram. Sebagai polisi hutan yang sudah bertugas di mana-mana di kawasan Sum-Bar dan terakhir Polisi Hutan Kecamatan Gunung Talang Solok, laki-laki setengah tua itu melihat susahnya kehidupan rakyat di kampung-kampung. "Mereka menganggur dan perlu hidup. Biarkan sekedar untuk mengarit untuk bahan perumahan, mengambil rotan dan sebagainya," katanya. Dan Kiram melihat selama ini kerusakan hutan tidak terjadi semena-mena oleh rakyat. "Peralatan penduduk sederhana. Mereka ambil sebatang dan itu dikerjakan sampai 3 hari. Kan tidak rusak," kata Kiram lagi. Ia khawatir hutan rusak oleh pemilik HPH yang membabat dengan mesin-mesin. Akan halnya Mentawai, memang ia melihat ada alasan lain. Penduduk memang masih jarang dan nyaris tidak hidup dalam arti kayu sebagai mata pencaharian yang paling pokok. Karena cukup luas memang wajar jika di HPH-kan. Kiram bertubuh tegap. Katanya ia kini tidak kuat lagi mengawasi penebangan di lapangan. "Sudah tua dan sebentar lagi mau pensiun," katanya. Karena usianya Kiram kini hanya mengawasi lalu lintas kayu di Pos Polisi Hutan Lubuk Buaya Padang. "Tidak ada soal di pos ini, setia yang lewat pajak bunga kayunya," katanya. Di pos itu, ia ditemani seorang pegawai harian sebagai tenaga administrasi. Selama pengabdiannya yang lebih dari 20 tahun sebagai Polisi Hutan ia merasa tidak pernah menyakiti orang lain. Apalagi rakyat. "Apabila ada rakyat yang menebang hutan di tempat tertentu, ini bukan karena melawan kebijaksanaan pemerintah. Lebih banyak karena tidak tahu," katanya. Ia kini berpangkat golongan II: Kiram berpenghasilan sekitar Rp 45 ribu per bulan dengan tanggungan seorang istri dan 7 anak, antaranya ada yang sudah di SLA.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus