PERANG saudara hampir terjadi di antara dua pihak penduduk Kota Denpasar. Waktu itu tahun 1957, beberapa saat setelah hampir di seluruh pulau wisata itu beredar 2 macam kalender Bali. Yang satu susunan seorang yang menyebut dirinya Pedanda (orang suci) dan satu lagi buah pikiran I Ketut Bambang Gde Rawi. Untung saja DPRDS (waktu itu) segera mencegah perkelahian masal itu. Dan melarang almanak buatan Pedanda. Sebab pangkal keributan adalah 2 kalender yang berbeda dalam menentukan perayaan Nyepi. Satu pihak penduduk merayakan hari tenang itu sehari lebih cepat dari kelompok penduduk lainnya -- berdasarkan kalender yang satu. Sehingga ketika kelompok terakhir ini melaksanakannya pada hari berikutnya berdasar almanak yang lain mereka merasa diganggu oleh mereka yang telah merayakannya lebih dahulu. Akhirnya Pemda Bali hanya mengakui penanggalan Gde Rawi. 2 Istri Sekaligus Kalender buatan Gde Rawi bukan hal baru bagi warga Bali. Sejak 1950 ia telah memperkenalkan penanggalan hasil susunannya sendiri, yaitu setelah sekitar 25 tahun ia menekuni berbagai buku lontar dan ilmu falak. Dengan segera masyarakat Bali menyambutnya sebagai satu-satunya pedoman hampir untuk segala tingkah laku manusia penganut Hindu Bali. Terutama bagi para petani. Sebab dalam kalender itu juga dicantumkan hari-hari baik bagi petani kapan harus menyemai bibit, kapan menanamnya, hari baik untuk membuat tali pancing, membuat tali sapi dan sebagainya. Juga: semua hari besar Hindu Bali, hari-hari baik membuat rumah, hari-hari besar Islam, hari besar Khonghucu, hari besar Arab dan Jepang, hari baik mengasah taji untuk menyabung ayam, hari raya Budha, makna hari lahir. Begitu pula kapan harus bersiap-siap menjelang hari raya, kapan bersembahyang di pura, kapan bulan purnama dan tilem (bulan gelap). Tapi kalender buatan Gde Rawi tidak dapat disebut sebagai yang khusus memuat penanggalan Bali. Sebab yang dijadikan pegangan pokok tetap penanggalan Masehi. Sedang penanggalan bagi orang Bali (meskipun lengkap) atau bagi golongan agama lainnya hanya sebagai pelengkap saja. Sebelum 1950 masyarakat Bali mengenal 2 sistem penanggalan. Yaitu Penanggalan Hindu Bali -- memuat tentang purnama dan tilem (bulan mati), jumlah hari setiap tahun berkisar antara 355, 354 atau 356 hari -- dan Penanggalan Jawa-Bali yang menimbulkan jumlah hari raya rutin yang kecil-kecil seperti Kajeng Kliwon, Tumpek dan seterusnya. Dari sistem penanggalan pertama dikenal 2 hari raya keagamaan penting, yaitu Hari Raya Nyepi (tahun baru) dan Hari Ciwaratri (hari peleburan dosa). "Berdasarkan literatur dan pengamatan di Fakultas Sastra Universitas Udayana, kedua penanggalan itu digabung oleh Gde Rawi dan jadilah kalender yang kini dikenal secara luas," tutur seorang mahasiswa tingkat IV Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar, Ida Bagus Agastia. Bagaimanapun juga kalender Gde Rawi diakui secara resmi, sampai sekarang. Malahan secara resmi pula diterbitkan Parisadha Hindu Dharma Pusat. Lebih dari itu kalender ini sudah merupakan bagian penting dari hidup sehari-hari orang Bali. Dan orang-orang Balipun fanatik kepada buatan Gde Rawi. Sehingga ketika penerbit memasang potret Gde Rawi vang terbaru dalam terbitan kalendernya 1970, hampir tak ada orang yang membelinya. "Mereka mengira kalender itu palsu," tutur Gde Rawi, "sehingga penerbit harus mencetak ulang dengan mengganti potret saya yang dibuat 1951." Dengan pergantian potret itu kalenderpun jadi laris. Karena itu sampai sekarang, 12 halaman kalender Gde Rawi masing-masing memuat potret masa muda penyusunnya. Bobot Gde Rawi lahir 1910 di Desa Celuk, Ubud. Bukan dari keluarga bangsawan. Tapi hubungannya dengan kaum ningrat itu rupanya cukup dekat, sehingga ia banyak kesempatan menelaah berbagai isi buku lontar. Masa kecilnya ia dikenal sebagai anak nakal dan suka berkelahi. Tapi sejak usia 15 tahun ia sudah berkelana mendatangi rumah-rumah bangsawan untuk membaca sejarah. Ketika berumur 19 ia dikawinkan orang tuanya dengan 2 orang wanita kakak beradik sekaligus. Sejak 1941 ia diangkat warga sedesanya menjadi perbekel (lurah) dan harus melepaskan jabatan itu 1978 lalu. "Saya sudah tua, karena itu saya minta berhenti," katanya kepada Wayan Supartha dari TEMPO. Jabatannya sekarang adalah dosen di Institut Hindu Dharma Denpasar "Sebentar lagi saya juga akan mengajukan permintaan berhenti," katanya, "saya akan menyusun kalender sampai saya tak mampu melihat angka-angka lagi." Gde Rawi sekarang sedang tekun menyusun kalender sampai 1986. Sudah siap sampai 1984. Ia bergelut dengan angka-angka hampir sepanjang hari. Sejak 1977 di bawah potret dirinya pada setiap halaman kalender selalu tercantum Disusun oleh I Ketut Bambang Gde Rawi dan putra-putranya Padahal ia tahu, jika ia meninggal suatu ketika, anak-anaknya tak ada yang akan melanjutkan kepandaiannya. Selama ini anak-anak itu hanya sesekali membantu urusan administrasi kalendernya karena mereka sibuk dengan tugas sehari-hari. Ia dikaruniai 3 orang anak, seorang di antaranya, Bambang Suartha, adalah Kepala Kantor Agraria Kabupaten Badung sekarang. Dan memang Gde Rawi tak perlu susah-susah mencari pelanjut usahanya. Fakultas Sastra Univ. Udayana sejak beberapa waktu lalu mencantumkan seluk-beluk menyusun kalender ini sebagai matakuliah tak resmi. "Akan banyak orang yang mampu menyusun kalender," kata Ida Bagus Agastia, "tapi bobotnya tentu tak sebaik punya Gde Rawi." Tapi kritik terhadap kalender ini datang juga. Dari Ketut Kaler, misalnya. Menurut pensiunan Ka-Kanwil Dep. Agama Bali yang setiap Selasa malam muncul di TVRI Denpasar dalam ruang khotbah agama, kalender Gde Rawi terlalu banyak mencantumkan penanggalan lain, seperti tahun Jawa, Jepang, Arab bahkan Cina "Sehingga terlalu rumit dan membingungkan orang awam serta tidak penting bagi orang Bali," kata Kaler. Gde Rawi segera menjawab: "Itu saya sengaja, agar banyak bagian dunia memakai kalender saya." Dan memang benar. Menurut penerbitnya, Warta Hindu Dharma, orang asing makin banyak membelinya. Sebab dari kalender itu para wisatawan tahu kapan ada hari raya atau upacara di Bali. Ketut Kaler juga mengritik penanggalan itu sebagai "petani sentris". Yaitu dengan mencantumkan hari-hari baik bagi petani sehingga memakan bagian cukup banyak dari tiap halaman kalender. Jawab Gde Rawi: "Sesungguhnya semua hari itu baik, kecuali harimau galak" Gde Rawi berkelakar. Dan dia bergurau lagi: "Dalam lontar tak pernah disebut kapan hari baik untuk memperbaiki televisi." Untuk penanggalan 1980 ini kalender Gde Rawi hanya menggunakan warna hitam dan merah. Warna terakhir ini khusus untuk menandai hari dan tanggal-tanggal libur serta beberapa catatan yang dianggap penting. Pihak Percetakan Dharma Bakti Denpasar, yang mencetak kalender ini, tak mau menyebutkan berapa banyak kalender ini dibuat tiap tahun. Tapi diperkirakan paling sedikit juta eksemplar, lebih-lebih jika diingat kalender ini dengan mudah dapat ditemui pada tiap rumah di Bali. Berapa pendapatan Gde Rawi dari kalendernya ini? Ia hanya menjawab dengan mengutip salah satu pembicaraan Kresna kepada Arjuna: "Rame inggawe, sepi ing pamrih -- saya sudah bahagia jika masyarakat sudah merasa tentram memiliki kalender saya." Tapi sumber TEMPO yang dekat dengan keluarga Gde Rawi menyebut honor yang diterimanya adalah sebesar harga sebuah Vespa baru pada saat itu. Tapi sumber tadi tak dapat menjelaskan, mengapa harus diukur dengan Vespa. "Itu sudah kctcntuan dari Gde Rawi," katanya ntuk penanggalan 1980 ini, kalender Gde Rawi dijual Rp 350 sebuah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini