Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Perjuangan salah tafsir

Pameran yang bertemakan perang kemerdekaan & kehidupan sehari-hari di aldiron plaza, para pelukis dari himpunan budaya surakarta (hbs) & sanggar pejeng, bali, a.l: moh. toha, moh. affandi, f.x. soepono.(sn)

5 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERLINDUNG di depan agak ke samping sebuah lokomotip, dua pejuang itu beraksi. Seorang berbaret merah memberondongkan peluru dari mitraliyur. Seorang berbaret hijau membidikkan karabennya. Sementara di belakang mereka, seorang pejuang yang lain mengendap mencoba maju. Itulah salah satu lukisan dalam Pameran 400 Lukisan Realistik yang bertemakan Perang Kemerdekaan dan juga kehidupan sehari-hari, di Aldiron Plaza, Blok M Jakarta, 20 Desember-2 Januari ini. Para pelukisnya adalah warga Himpunan Budaya Surakarta (HBS) dan Sanggar Pejeng, Bali -- kedua perkumpulan pelukis itu dipimpin oleh pelukis Dullah, 60 tahun. Sebetulnya, karya-karya itu -- lukisan Perang Kemerdekaan terutama -- bukan pertama kali ini dipamerkan. Mei 1978 yang lalu, telah dipamerkan di Yogyakarta. Sambutan para pelukis dan pengamat seni lukis memang ramai. Terutama ditujukan kepada karya-karya yang benar-benar orisinal, yang dibuat semasa Perang Kemerdekaan di tahun 1949 di Yogyakarta. Dan pelukisnya -- Mohammad Toha, Muhammad Affandi, FX. Soepono, Sri Soewarno dan Sarjito -- waktu itu masih tergolong anak-anak berusia antara 11 sampai 15 tahun. Pelukis Affandi memujinya sebagai karya-karya yang "komposisinya hebat, ceritanya padat dan memikat karena dibuat langsung". Mungkin Affandi agak berlebihan. Sebuah karya M. Toha misalnya, menggambarkan tentang penggeledahan rumahnya oleh Belanda, karena diketahui pamannya, Achmad Tirtosudiro (sekarang Dirjen Pariwisata), ikut bergerilya. Dalam bidang gambar berukuran sekitar 7 x 10 cm, memang tak bisa secara jelas menggambarkan bagaimana suasana ketika penggeledahan itu. Hanya ada beberapa baju hijau, seorang tua berkopiah dan seorang wanita berkebaya ayah dan ibu Toha) dan seorang anak duduk diam (tentu, ini si Toha kecil). Terus terang saja, gambar ini bisu: tak ada suasana di situ. Apakah itu ketakutan, apakah itu kekejaman si Belanda. Bunda Maria Tapi barangkali sebagai anak berusia 11 tahun, Toha lebih cocok dengan gambar-gambar adegan perang, atau iring-iringan panser dan yang semacamnya. Untuk yang ini pujian Affandi memang tepat. "Waktu itu kendaraan-kendaraan itu memang menarik saya sebagai anak-anak," kata pelukisnya yang kini bekerja sebagai Sekretaris Direksi di Persero Nindya Karya. Dan karya-karyanya yang bertema begitu memang pantas dipuji suasana terasa, dan kepolosan (yang biasanya memang selalu menjadi ciri lukisan anak-anak) menjadikan karya itu bersih dari kesan-kesan bahwa itu untuk dokumentasi atau yang lain. Karya Toha dan kawan-kawan sebayanya memang bernilai dokumentatif -- langsung dibuat berdasarkan rekaman pandangan mata sendiri. Tentu, nilai itu dalam lukisan perjuangan bisa juga dicapai tanpa harus si pelukis menyaksikan sendiri peristiwanya. Misalnya dengan riset, agar pelukisnya benar-benar yakin bahwa yang akan digambarkan bukanlah isapan jempol. Itulah yang dilakukan pelukis-pelukis muda dari HBS dan Sanggar Pejeng. "Mereka membaca koran-koran lama koleksi saya untuk memperoleh gambaran perang yang tak pernah disaksikannya," kata Dullah. Dan dari segi sah atau tidaknya cara itu untuk menggambarkan lukisan perluangan, kata Dullah: "Apakah Rembrandt pernah menyaksikan Kristus disalib? Toh karyanya dianggap sebagai karya besar." Tapi perlu diketahui, pelukis-pelukis yang menggambarkan Kristus pertama-tama bukanlah ingin menampilkan gambaran visualnya, tapi spiritualnya. Bahkan Michelangelo, pematung Italia terkenal itu, mematungkan Bunda Maria dengan wajah jauh lebih muda dari Jesus, putranya. Sebagai Perawan Suci, tentulah Bunda Maria tetap muda, begitu kira-kira jawab Michelangelo ketika ditanya pemesannya. Alasan atau dasar penciptaan seperti pada Michelangelo itu, mungkin dilupakan Dullah dan siswa-siswanya. Bisa dilihat bagaimana para pelukis di bawah asuhan Dullah ini menggambarkan Perang Kemerdekaan para pejuang itu sepertinya barusan beli celana dan baju. Tidak hanya itu cara melukiskan aksi para pejuang pun sepertinya tak jauh berbeda dengan poster-poster film perang: menonjolkan adegan fisik, dengan figur-figur yang gagah perkasa. Sebuah lukisan Raka, 23 tahun, menggambarkan sepasukan gerilya sedang istirahat di bawah pohon rindang: sepertinya serombongan anak muda sedang menikmati liburan mengarungi hutan. Sebuah lukisan Dullah sendiri, berukuran 3,5 x 2 meter, menggambarkan sebuah adegan di markas Belanda ketika menangkap gadis kurir gerilya. Adegan sadis ini -- melucuti pakaian gadis kurir gerilya itu -- kita percaya memang pernah, bahkan sering terjadi benar dulu itu. Cuma cara penggambaran Dullah, yang menonjolkan paha, agaknya menjadikan lukisan perjuangan ini terasa murah. Yang tampil di situ adalah perkosaan terhadap seorang gadis cantik, dan bukannya kekejaman terhadap perjuangan. Basuki Abdullah Lagi pula, apabila mau diamati betul ada hal-hal yang janggal dari segi anatomi pelukisan figur. Sebuah contoh: lukisan Zain Ahmar, 24 tahun, menggambarkan pertempuran di Surabaya. Cara membungkuk dua pejuang di baris belakang terasa tak wajar. Apalagi karya-karya ini kalau kita bandingkan dengan sejumlah lukisan perjuangan yang dibuat pada zaman tersebut, oleh antara lain Sudjojono, Sudarso, Harjadi, Hendra dan beberapa lagi (TEMPO, 10 November 1979) betapa jauh perbedaannya. Yang disebut belakangan ini memang mengetengahkan perjuangan dan bukan sekedar adegan fisik orang bawa bedil. Menengok sejumlah lukisan yang bertema kehidupan sehari-hari, barangkali bisa menjelaskan duduk perkaranya. Tak jauh dari karya-karya pelukis populer Basuki Abdullah, karya pelukis HBS dan Sanggar Pejeng pun hanya mencerminkan satu usaha teknis untuk mencapai bentuk seperti dilihat mata. Tanpa penghayatan, katakanlah, segi nonvisualnya. Sikap seperti itu bisa menghasilkan hal-hal janggal. Sebuah lukisan Kok Poo, 42 tahun, menggambarkan pengemis wanita tua dipandu (mungkin) anaknya perempuan, menyodorkan tangan kepada seorang tuan duduk di kursi dengan sebotol bir di meja. Bisa-bisa orang menangkapnya sebagai lukisan tentang pengambilan adegan sebuah film -- yang duduk si sutradara, yang dua wanita si artis sedang melakukan sebuah adegan. Dengan begitu sebetulnya kesan-kesan yang ditulis sejumlah peminat lukisan pada pameran di Yogya tahun lalu, tak berdasar Ketakutan kehilangan lukisan-lukisan perjuangan yang ini, hanya pantas ditujukan kepada sejumlah lukisan karya Toha dan teman-teman sebayanya itu. Pelukis mana pun mungkin saja melukis seperti yang dilakukan para pelukis ini. Dan sejumlah pelukis muda dari Yogyakarta yang muncul di tahun 1977, angkatan Dede Eri Supria misalnya, yang mempunyai ketrampilan teknis melukis realistik yang hebat, mungkin akan jauh lebih berhasil dari mereka ini. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus