Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warung Kopi Phoenam bertahan sejak 1946 di Makassar.
Memiliki cabang dari Jakarta hingga Manokwari.
Pemiliknya meninggal pada pekan lalu.
Tak ada keramaian di Warung Kopi Phoenam di Jalan Jampea, Makassar, pada Sabtu siang, 4 Maret 2023. Enam karangan bunga berjejer di sisi kanan kedai, menyatakan belasungkawa atas meninggalnya Albert Liangady Liang. Pria berusia 71 tahun itu berpulang pada Kamis, 2 Maret 2023, dan dikebumikan di TPU Pannara, Makassar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Albert merupakan pemilik Phoenam, jaringan kedai kopi tertua di Makassar--mungkin juga di Indonesia. Warung kopi tersebut dibangun oleh ayahnya, Liong Thay Hiong, pada 1946.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Thay Hiong, warga Makassar, pertama kali membuka warung di Jalan Nusantara, Makassar. Dia membidik keramaian di pelabuhan--kini dikenal sebagai Pelabuhan Soekarno-Hatta. Nama Phoenam berasal dari saudaranya, Profesor Liong Thay Phong, yang berarti persinggahan orang selatan.
Saat itu, Kota Angin Mamiri dijejali warung kopi. Konon, di setiap persimpangan ada kedai kopi. Misalnya, Kedai Nam Hien di perempatan Jalan Irian dan Diponegoro. Thay Hiong pernah bekerja di sana pada 1930-an. Warung lain di antaranya Lien Hien di Jalan Timor dan Meinam di simpang Jalan Sulawesi dan Sangir.
Pada 1994, Jalan Nusantara dilebarkan dan membuat warung terpaksa bergeser ke Jalan Jampea, yang hanya berjarak satu blok di belakang lokasi lama. Saat itu, kepemilikan telah turun ke Albert. Dia pun berekspansi. Pada 1997, dia membuka empat cabang di Jakarta, dan cabang di Jalan Boulevard, Makassar, pada 2021. Berikutnya, juga cabang di Perumahan Bumi Tamalanrea Permai, Makassar, dan di Bandung. "Pusatnya di sini," kata Deddy Liongady, putra tertua Albert, kepada Tempo, di lokasi.
Suasana Kedai Kopi Phoenam, di Jalan Kebon Sirih, Jakarta, 2005. Dok Tempo/Ramdani
Soal usia, sulit mencari pembanding Phoenam. Starbucks, misalnya, baru dibuka 25 tahun kemudian di Seattle, Amerika Serikat, sebelum menyebar ke 80 negara. Tentu, penggemar bukan datang semata karena nilai nostalgia, tapi soal rasa. “Kami mempertahankan terus cita rasa,” kata Deddy, 47 tahun.
Dengan sekian banyak cabang, Deddy mengatakan Phoenam tidak memiliki sistem layaknya waralaba modern. Kuncinya, dia melanjutkan, ada di peracik. Di Phoenam, setiap gelas kopi diseduh oleh keluarga dan kerabat pemilik.
Resepnya nyaris tak berubah sejak waktu Thay Hiong pertama kali membuka warung pada 1946. Menggunakan kopi robusta asal Tana Toraja, dia mengajarkan keluarganya menyeduh kopi yang membuat orang datang lagi dan lagi. Albert, misalnya, ikut sibuk di dapur kopi Phoenam sejak usia sekolah dasar pada akhir 1950-an. "Jadi, yang buat kopi selalu pemiliknya," kata Deddy. "Pelanggan pasti tahu kalau bukan pemilik yang buat."
Kopi yang pekat itu selaras dengan atmosfer warungnya. Di Phoenam, pengunjung tak bisa berharap ngopi cantik seperti di kafe artisan ala Jakarta Selatan. Seperti namanya, suasananya, ya, warung kopi. Di ruangan yang terbatas, bangku diatur berdekatan. Obrolan orang di meja sebelah bisa kita dengar tanpa batas. Di jam sibuk, asap rokok memenuhi ruangan. Ada yang benci asap rokok, itu pasti. Tapi, bagi sebagian penggemar kopi, warung kopi ya seharusnya begitu.
Di Makassar, masing-masing cabang Phoenam punya karakter pengunjung yang berbeda. Cabang Jalan Boulevard jadi tempat nongkrong politikus. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, misalnya, kerap bersantai di sana. Begitu juga Nurdin Halid, Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia 2003-2011. Sementara itu, Phoenam Jalan Jampea lebih banyak dikunjungi orang kantoran.
Muhammad Hidayat, 48 tahun, mengenal kedai kopi legendaris itu dari orang tuanya. "Rasanya khas," kata dia. Kini, karena bekerja di Kecamatan Wajo, Makassar, dia jadi pelanggan tetap Phoenam cabang Jalan Jampea.
Meski kafe menjamur, Deddy yakin Phoenam telah melekat di hati pelanggan. Dia mencontohkan Phoenam di Jakarta, terutama di cabang tertua di Jalan Wahid Hasyim, menjadi melting pot orang-orang Sulawesi Selatan. "Phoenam dipelesetkan jadi Punam, perkumpulan anak Makassar," kata Deddy, tertawa. "Jadi, kalau mau cari teman atau bertemu teman, pasti ke sana."
DIDIT HARIYADI (MAKASSAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo