LETAK boleh di kampung, tapi ia toh boleh menyebut dirinya sebagai sekolah elite bertaraf internasional. Letaknya nun jauh, 25 km dari Kota Jakarta, di Lippo Village, Karawaci, Tangerang, Jawa Barat. Namun ia sekolah pertama yang serba wah. Bangunan sekolah Yayasan Pelita Harapan yang kini belum selesai itu luasnya 1,6 hektare. Berdiri di atas areal seluas 10 hektare. Perlengkapan dan fasilitas pendidikan serba modern. Ada gymnastic center untuk kegiatan olah raga, sejumlah studio olah seni seperti lukis, musik, atau tari, serta laboratorium bahasa, fisika, dan penelitian. Investasi untuk SD, SMP, dan SMA yang dirancang mirip sekolah di luar negeri itu sekitar US$ 10 juta (Rp 20 miliar). Yang juga membuat sekolah nun jauh dari Jakarta itu tergolong wah adalah uang pangkalnya. Tiap siswa mesti setor US$ 9.600 atau sekitar Rp 20 juta. Dan, uang sekolah tiap bulan Rp 400500 ribu. Salah satu tujuan sekolah itu adalah untuk menjaring orang berduit agar tak latah mengirim anaknya ke luar negeri. ''Kasihan kalau masih kecil-kecil sudah disekolahkan ke luar negeri dan harus pisah dengan orang tuanya,'' kata Johannes Oentoro, Ketua Yayasan Pelita Harapan, yang mengelola sekolah itu. Anak-anak yang disekolahkan di luar negeri kemungkinan juga menghadapi masalah budaya yang berbeda. ''Bisa-bisa mereka itu, begitu kembali ke Indonesia, menjadi terasing,'' katanya. Peminatnya ternyata luar biasa. Sejak launching bersamaan dengan penawaran kota satelit perumahan mewah dan kondominium Lippo Village, tempat sekolah itu dibangun di Grand Hyatt Hotel, Desember lalu, sudah ada 500 siswa yang diterima dari target 600 murid. Untuk ''nomor promosi'', murid yang diterima pada tahun ajaran baru nanti tak dikenai tes masuk. ''Yang penting, asal mereka memenuhi persyaratan pembiayaan dulu,'' katanya. ''Tapi nantinya kami akan mengadakan tes untuk mengetahui kemampuan murid.'' Tahun ini, sekolah itu baru membuka kelas satu SD dan SMP. Kelas satu SD disiapkan sekitar enam kelas. Tiap kelas dibatasi paling banyak 22 murid. Begitupun untuk tingkat SMP. Maksudnya, agar guru bisa lebih intensif mengajar dan para murid pun bisa lebih aktif di kelas. Sebagai sekolah swasta di Indonesia, Pelita Harapan tentu bersandar pada kurikulum nasional. Dalam proses belajar mengajar, sekolah itu menerapkan sejumlah metode di luar negeri yang membuat siswa lebih aktif dan menguasai materi. Sekolah itu juga menambahkan beberapa pelajaran untuk mengembangkan kemampuan dan bakat, seperti musik, olah raga, drama, lukis, dan pidato. Yang juga ditekankan, mereka dilatih sejak dini menguasai bahasa Inggris. ''Paling tidak, agar anak-anak yang mau meneruskan sekolah di luar negeri tak canggung lagi,'' kata Oentoro. Sekolah dengan kurikulum nasional plus itu disiapkan dengan program yang komprehensif. ''Bisa saja pagi hari ada pelajaran musik atau olah raga, dan sore hari baru matematika. Maksudnya, agar siswa bisa menyerap pelajaran dengan baik,'' kata Oentoro. Cara ini, katanya, yang dianggapnya berbeda dengan sekolah lain di Indonesia yang memberondong murid dengan pelajaran berat pada pagi hari, dan kegiatan ekstrakurikuler pada sore hari. Untuk bisa memenuhi program pendidikan yang sarat itu, waktu sekolah dari pukul 7.00 sampai 15.00. Bagi siswa yang tak bisa tepat waktu datang pagi-pagi, disediakan asrama dengan fasilitas komplet, termasuk sebuah perpustakaan dengan 25 ribu judul buku 10 ribu di antarnya didatangkan dari Amerika. Hari Sabtu dan Minggu, siswa bisa pulang ke keluarganya. Guru yang direkrut pun tak sembarangan. Mereka harus menguasai materi, bisa mengajar dengan baik, mencintai anak-anak, kehidupannya baik, punya integritas, dan benar-benar bisa menjadi teladan. ''Saya tak mengharapkan guru yang kehidupan keluarganya berantakan,'' kata Oentoro. Imbalannya, gaji guru paling sedikit Rp 1 juta sebulan. Diakui Oentoro, proyek pendidikan itu memang mahal. Namun, katanya, sekolah itu toh akan memberikan tempat bagi yang tak berduit tebal agar sekolah itu tak menjadi eksklusif. ''Kami menyediakan 10% kursi untuk anak-anak tak mampu yang berotak encer,'' katanya. Seluruh proses persiapan sekolah itu, menurut Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Hasan Walinono, kepada TEMPO, telah dilaporkan dan diikutinya. Pemerintah, katanya, mengategorikannya sebagai sekolah swasta nasional seperti Taman Taruna Nusantara di Magelang, Jawa Tengah. ''Bukan sekolah internasional. Karena itu, ia tertutup bagi warga negara asing,'' katanya. Walinono juga memaklumi mahalnya biaya. ''Demi mutu pendidikan yang bagus, memang perlu biaya tinggi,'' katanya. Dan Pemerintah, katanya, akan mengizinkan berbagai pihak untuk membuat sekolah serupa, asal sesuai dengan ketentuan yang berlaku. ''Silakan bikin sekolah yang bagus. Mau sekolah sampai subuh juga boleh,'' katanya. Ia sangat mengharapkan ada usahawan lain yang mengikutinya. ''Sebab, tak ada larangan mendirikan sekolah bermutu di sini.'' Orang tua murid, dengan setoran uang pangkal tadi, otomatis menjadi anggota. Para orang tua bebas memakai fasilitas seperti kolam renang, lapangan tenis, atau fasilitas gymnastic center lainnya. Maksudnya agar ikut menikmati dan berpartisipasi. Agus Basri, Bina Bektiati, dan Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini