DINAS Kesehatan Provinsi Bali rupanya sadar, masalah kesehatan
masyarakat setempat tidak bisa hanya bersandar pada sistem
kesehatan modern. Potensi masyarakat sendiri dalam bidang
kesehatan harus dimanfaatkan. Karena sudah bukan menjadi rahasia
lagi, masyarakat Bali sendiri mempunyai sistem pengobatan
sendiri yang berakar pada peninggalan tertulis, berupa ribuan
lontar Usadha (artinya pengobatan) yang tersebar di seluruh
Pulau Bali. Lontar itu berisi resep untuk berbagai macam
penyakit.
Untuk memetik manfaat dari lontar-lontar itu, di Bali kini
sedang giat-giatnya dilakukan usaha penerjemahan lontar yang
terdapat di Perpustakaan Lontar Fakultas Sastra Universitas
Udayana, Museum Bali dan di Gedung Kertiya Singaraja. Jumahnya
sekitar 80 buah.
Biaya untuk penerjemahan itu datang dari dana yang disediakan
pemerintah daerah, sumbangan Asian Foundation dan perusahaan
minyak Caltex. "Dengan biaya yang tersedia diharapkan sebanyak
25 buah lontar Usadha bisa kami terjemahkan," kata Wayan Jendra,
dekan Fakulus Sastra Universitas Udayana.
Menerjemahkan lontar yang sudah terkumpul di berbagai tempat itu
dianggap lebih praktis. Karena untuk mencari lontar yang berada
di tengah masyarakat memerlukan waktu dan tersandung pada
masalah tradisi. Karena masyarakat Bali menganggap lontar Usadha
sebagai benda yang dikeramatkan. Tak sembarangan orang boleh
membacanya, sekalipun dia mengerti bahasa Bali. Orang yang boleh
membacanya hanya mereka yang sudah "bersih". Artinya sudah
melalui upacara pewintenan (sebuah upacara dalam agama Hindu).
Lagi pula ada hari-hari larangan untuk membacanya.
Lontar-lontar yang sedang diterjemahkan para dosen Universitas
Udayana sekarang ini warnanya kuning kegelapan. Sebagian, pada
sisi pinggirannya sudah rapuh dimakan rayap. Sekalipun begitu
tulisannya dalam aksara Bali masih utuh dan dapat dibaca. Tetapi
bahasa yang dipergunakannya campuran Bali asli dan Jawa Kuno.
Bentuk lontar itu banyak macamnya. Ada yang terdiri dari 100
halaman. Ada pula yang hanya delapan halaman. PanJang lontar 54
cm, lebar 3 cm. Tinggi huruf yang dipergunakan rata-rata
setengah sentimeter. Tiap lembar lontar ditulisi secara
bolak-balik, sedangkan tiap halaman berisi delapan baris
kalimat.
Resep obat-obatan yang tertera dalam lontar itu sebagian besar
terdiri dari tumbuh-tumbuhan. Cara penggunaannya tergantung dari
hasil diagnosa penyakit, yang dalam lontar Usadha itu disebutkan
tetengger. Ramu-ramuan itu ada yang harus dikunyah dulu sebelum
disemburkan lewat mulut. Ada juga yang harus diminum ataupun
dioleskan.
Terkadang usaha penerjemahan menemui kesulitan, karena lontar
itu juga menggunakan simbol-simbol seperti syair. "Untuk ini
penerjemah harus mencari makna sampirannya," cerita N. Medra,
ketua jurusan Jawa Kuno pada Fakultas Sastra Universitas Udayana
yang ikut dalam tim penerjemahan.
Kalau sudah selesai diterjemahkan, lontar Usadha dalam bahasa
Indonesia itu akan disumbangkan kepada Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. "Pengetahuan tentang pengobatan tradisional
ini perlu sepanjang kebenarannya bisa diyakini dan hasilnya
terbukti," kata dr. I.B. Citarsa, dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
Menurut Citarsa, kalau mahasiswa sudah bisa mempelajari sistem
pengobatan lontar itu, maka mereka akan lebih mudah memahami
sikap masyarakat begitu mereka terjun ke pedesaan. Sebab
masyarakat pedesaan di Bali masih "terikat" pada sistem
pengobatan tradisional. "Mereka jangan menganggap pengobatan
tradisional itu sebagai musuh, tetapi hendaknya dipakai sebagai
patner, " begitu petuah I.B. Citarsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini