Percakapan tentang kondisi kesehatan seseorang di masa kini dan akan datang mungkin berubah. Saat ini, orang akan bilang apa adanya: sakit dikatakan sakit, sehat dibilang sehat. Di masa depan, mungkin akan ada jawaban begini: ''Sekarang saya sehat, tapi nanti akan menderita kanker dan diabetes."
Ini terjadi karena kelak kesehatan setiap orang bisa diprediksikan jauh sebelum mereka jatuh sakit, melalui pemeriksaan genetik. Bahkan, untuk beberapa jenis penyakit, hal itu sudah bisa dilakukan sekarang ini. Kecenderungan untuk menjadi orang bermasalah?misalnya kecanduan alkohol, homoseks, skizofrenia?pun sudah bisa dibaca sebelumnya. Jadi, jangan heran bila kelak perusahaan-perusahaan asuransi meminta pemeriksaan kesehatan prediktif untuk menentukan besarnya premi. Itu bakal terjadi setelah susunan gen pembawa sifat manusia terpetakan seluruhnya dan diketahui fungsinya.
Jalan ke arah itu telah terbentang lebar. Pada tahun 2003, Human Genome Project yang dilakukan Amerika Serikat sudah merampungkan megaproyek mereka: membaca dan memetakan tiga miliar nukleotida yang menyusun sekitar 100 ribu gen dalam tubuh manusia. Yang disebut genom adalah cetak biru (blueprint) informasi genetik yang menentukan sifat makhluk hidup yang disandikan dalam bentuk pita molekul asam deoksiribonukleat (DNA). Dengan dana US$ 3 miliar, AS melakukan proyek pemetaan informasi genetik manusia itu sejak 1988.
Beberapa negara yang menyadari bahwa proyek genom itu akan membawa dampak luar biasa terhadap kemanusiaan secara keseluruhan ikut bergerak. Jepang, Cina, dan beberapa negara di Eropa, misalnya, membuat proyek genom sendiri, yang targetnya berbeda dengan AS. Mereka sudah menyadari apa dampaknya bila penelitian yang akan membuat revolusi besar dalam pengobatan itu dilakukan oleh satu grup peneliti. Bayangkan. Bagaimana bila informasi genetik manusia yang sudah dipetakan itu dipatenkan? Bukankah itu berarti semua obat harus membayar royalti kepada pemegang hak milik intelektual? Padahal, bukan hanya untuk kedokteran, informasi genetik juga menjadi dasar bioteknologi di bidang pertanian?di bidang ini, orang sudah bisa ''menciptakan" domba dan anak sapi dari secuil DNA.
Beberapa ilmuwan dunia yang terlibat dalam penelitian genetika pun pada 1990 membentuk organisasi yang dinamai Hugo (Human Genome Organization). ''Organisasi ini berdiri karena penelitinya tidak berpikir komersial. Mereka bukannya bersaing, tapi malah berpikir untuk bekerja sama," kata Prof. dr. Sangkot Marzuki, P.hD., D.Sc., Direktur Lembaga Eijkman dan orang Indonesia pertama yang menjadi anggota Hugo. Indonesia sendiri mempunyai enam orang anggota Hugo?lima di antaranya peneliti dari Eijkman.
Dikoordinasikan oleh Eijkman, 160 ilmuwan anggota Hugo Pasifik pekan lalu berkumpul di Bali untuk bertukar informasi. Dalam pertemuan Hugo Pasifik Kedua itu digelar tema ''Keanekaragaman Genom di Asia Pasifik". Keanekaragaman genom memang merupakan kelebihan yang dimiliki kawasan Pasifik agar punya peluang dalam kompetisi global. Untuk ikut-ikutan membuat peta seluruh gen, selain sudah kalah langkah, kawasan Pasifik tidak mungkin menyaingi AS yang punya dana segunung itu.
Kenapa keanekaragaman genom penting? Begini. Meskipun tiga tahun mendatang?mungkin lebih cepat?ilmuwan AS berhasil menguak ''buku kehidupan" manusia, informasi itu baru berarti bila kegunaan miliaran nukleotida yang sudah terbaca itu bisa diketahui artinya. ''Karena yang didapatkan baru urut-urutan nukleotida, yang lebih penting adalah bila kita dapat mengerti gen-gen itu menyandi sifat apa. Jadi, selanjutnya kita harus mencari informasi yang disandi oleh DNA itu," ujar Sangkot. Nah, untuk mengetahui fungsi suatu gen itulah diperlukan informasi tentang keanekaragaman genom. Amerika Selatan, India, Cina, dan Indonesia?yang punya 300 suku bangsa yang berbeda?adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman besar. Jadi, penelitian tentang keanekaragaman genom sebetulnya adalah langkah berikutnya, setelah gen manusia terpetakan, untuk melacak asal-muasal penyakit.
Bagaimana gen pada populasi yang unik bisa memberikan petunjuk adanya suatu penyakit, contohnya bisa dilihat pada apa yang terjadi pada masyarakat Nauru di Kepulauan Pasifik. Masyarakat di sana mendadak kaya karena rezeki kotoran burung, yang menumpuk di sana sejak ribuan tahun lalu, yang ternyata bisa dijadikan komoditi yang bisa dijual. Melimpahnya rezeki membuat gaya hidup mereka berubah secara mendadak menjadi ala Barat, seperti mengonsumsi makanan kaleng atau makanan siap saji. Perubahan pola hidup yang tiba-tiba itu ternyata membuat 70 persen populasi menderita diabetes mellitus. Sementara itu, orang Eropa yang bergaya hidup sama ternyata tidak terserang diabetes. ''Berarti ada faktor genetis yang menyebabkan orang Nauru terkena diabetes," ujar Sangkot.
Lembaga Eijkman rupanya juga tertarik memburu gen yang membuat seseorang berbakat sakit diabetes. Berbekal informasi bahwa DNA itu terdapat pada sel mitokondria, Eikjman berusaha melacak lokasi gen dan variasi mutasinya pada beberapa etnik di Indonesia. Dari penelitian awal itu bisa diketahui adanya kecenderungan yang berbeda antar-etnik. Pada etnik Jawa, misalnya, terlihat bahwa varian mutasi DNA T16189C?gen yang bila termutasi membuat orang berbakat sakit diabetes?lebih banyak ketimbang pada etnik lain.
Meskipun susunan gen belum terbaca seluruhnya, sebenarnya beberapa fungsi gen yang membuat orang berbakat menderita penyakit tertentu memang sudah diketahui. Di AS, pemeriksaan darah untuk mencari tahu gen yang bertanggung jawab terhadap kemunculan kanker payudara sudah bisa dikerjakan di banyak klinik. Dari pemeriksaan itu bahkan sudah bisa dihitung pula berapa persen kemungkinan seseorang menderita kanker payudara.
Kemampuan memprediksi penyakit ternyata juga sudah bisa dilakukan putra Indonesia. Adalah para ilmuwan di Eijkman yang bisa mendeteksi penyakit kelainan darah yang belum bisa disembuhkan, talasemia beta, ketika penderitanya masih berusia beberapa minggu. Bahkan, pada bayi tabung, diagnosis sudah bisa dilakukan beberapa saat setelah pembuahan. Indonesia boleh berbangga dengan prestasi ini karena diagnosis prenatal yang dikembangkan oleh Eijkman ini ternyata adalah penemuan pertama di dunia.
Kemajuan yang terjadi dalam dunia kedokteran di satu sisi memang menumbuhkan harapan bagi para penderita penyakit yang kini belum bisa diobati. Penyakit yang penyembuhannya sebenarnya dilakukan dengan cara pintas atau bahkan hanya diobati gejalanya, kelak, juga akan bisa diobati dengan koreksi genetik yang lebih mendasar. Namun, di sisi lain, revolusi yang bakal terjadi itu juga mengundang kecemasan. Bayangkanlah bila para ilmuwan telah berhasil membuat katalog lengkap mengenai variasi genetik manusia terhadap penyakit atau watak seseorang. Bolehkah, misalnya, orang tua menyeleksi bakal keturunannya karena hanya menginginkan anak yang tidak penyakitan, pintar, dan cantik?
Gabriel Sugrahetty, Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini