Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANGAN Makun masih cekatan menulis. Meski jari-jarinya bengkok dilalap kusta, tulisan pria 51 tahun ini sangat rapi. Saat Tempo datang pekan lalu, Ketua Rukun Tetangga 06 Dusun Nganget itu sedang mendata warganya untuk pemilihan umum. Tak ada yang istimewa dengan aktivitas ini, kecuali bahwa Pak RT dan hampir semua warga dusun yang terletak di Desa Mulyorejo, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, itu adalah bekas penderita kusta. Tepatnya, di sana ada setidaknya 147 keluarga atau 650 jiwa bekas penderita kusta.
Pria asal Lamongan ini dirawat di Rumah Sakit Kusta Nganget sejak 1978 hingga dinyatakan sembuh pada 1992. Pada 1979, mantan calon tamtama Angkatan Darat yang terpental karena kusta ini mengawini sesama pasien, Marinten, dan dikaruniai seorang putra. Sang istri wafat lima tahun kemudian. Makun pun menikah lagi, denganSiti Fatimah-juga bekas pasien kusta-dan mendapat tiga anak. Syukurlah, semua anak mereka bebas kusta.
Dusun Nganget menempati lahan 13 hektare. Satu hektare di antaranya dijadikan Panti Rehabilitasi Sosial Eks Kusta yang dikelola Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur, yang kini dihunisekitar 80 orang. Sisanya adalah perkampungan penduduk: bekas penghuni panti yang sudah sembuh.
Pemerintah kolonial Belandalah yang menahbiskan kawasan ini sebagai "dusun kusta" pada 1935. Salah satu pertimbangannya: dusun ini dialiri sungai kecil berair panas 58 derajat Celsius dan berbau belerang-salah satu terapi penyembuhan penderita kusta.
Sepeninggal Belanda, pemerintah Indonesia membangun Rumah Sakit Kusta Nganget pada 1947. Rumah sakit ini kemudian bersalin rupa menjadi panti rehabilitasi. Kebanyakan pasien adalah pendatang dari pelbagai kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pemerintah sejak 1970-an menyiapkan permukiman bagi para bekas pasien, yang berlokasi di belakang panti. Penghuni panti itu baru bisa hidup di luar tembok jika sudah mengantongi surat bebas kusta dari dokter. Mereka kini hidup bercocok tanam, berkebun, atau menjadi tukang kayu. Mereka mandiri dan nyaris tak bergantung pada bantuan pemerintah atau siapa pun.
Hingga 1980-an, warga Nganget masih seperti diasingkan. Pernah ada bekas pasien yang menjadi pegawai negeri sipil di Bojonegoro. Kebetulan, ia mencari penghasilan tambahan dengan berdagang makanan. Begitu ketahuan ia alumnus panti rehabilitasi, pembeli kabur dan orang itu dikucilkan.
Syukurlah, kondisi ini berangsur berubah. Warga dusun kini leluasa keluar-masuk Nganget. Anak-anak juga bebas memilih sekolah dan berbaur dengan warga desa lain. "Nyaris tidak berjarak," kata Agus Dwi Suko, Kepala Desa Kedungjambe. Sayangnya, meski diterima di lingkungan Desa Kedungjambe, banyak warga panti yang malah diasingkan keluarganya.Sekitar 80 orang penghuni panti tak jelas keluarganya. Ada yang datang hanya berbekal surat dan tak pernah dikunjungi.
Tasrip, 71 tahun, misalnya. Kakek asal Desa Semen, Jombang, ini sudah delapan tahun menghuni panti dan tak pernah sekali pun dijenguk familinya. Nasib Suhadi, 70 tahun, lebih mengenaskan. Ia meninggal tujuh bulan lalu dan keluarganya di Tuban menolak datang.
Tapi Nganget tak hanya menorehkan kisah muram. Kisah kasih bahagia juga terangkai. Bukan cuma di kalangan bekas pasien yang sudah tinggal di dusun, bahkan di dalam panti (artinya orang yang masih dalam pengobatan) ada 12 pasang suami-istri. Yang teranyar adalah pernikahan Amir, 43 tahun, dan Sulastri, 39 tahun, setahun lalu. Perkawinan mereka membuahkan seorang putra yang, karena orang tuanya masih direhabilitasi, terpaksa diasuh di luar panti. "Takut anaknya tertular," kata Kepala Panti Rehabilitasi Sosial Eks Kusta Nganget Dwi Bowo Susilo.
Andari Karina Anom, Sujatmiko (Tuban)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo