SEORANG karyawan pabrik tiba-tiba pingsan, begitu ditempelkan
pada kulitnya sejenis zat kimia. Mengapa? "Ia terlalu peka
terhadap zat itu, hingga alergi", tukas dr. Moch. Ibeni lias
dalam sebuah wawancara pers minggu lalu.
Dan itu sebagian dari hasil survei yang dilakukan oleh beberapa
ahli penyakit kulit & kelamin RS. Dr. Soetomo, Surabaya
menjelang Kongres Perkumpulan Ahli Dermato-Vereneologi Indonesia
(PADVI) ke III di Surabaya, 8- 12 Desember. Lantaran salah satu
masalah yang dibahas dalam kongres itu adalah soal occupational
dermatosis (penyakit kulit karena pekerjaan).
Masalahnya, "pada sautu ketika karena dasar kepekaannya, seorang
karyawan bisa mengidap penyakit kulit", tambah dr. Ibeni.
"Semula beberapa perusahaan yang disurvei sangat takut",
tambahnya pula. Karena mereka belum tahu apa maksudnya. Tapi,
begitu terbukti seorang pingsan karena alergi terhadap sesuatu
zat kimia berubahlah sikapnya. Malah berusaha membantu usaha
survei itu. Zat kimia tadi hanya ditempelkan beberapa menit.
Andaikata si karyawan bekerja di bagian itu, "kan mati konyol",
tukas Ibeni sembari tertawa.
Maka dalam pembukaan Kongres PADVI dr. Ibeni yang mengetuai
panitia kongres menilai, meskipun nampaknya efeknya cuma begitu
"tapi bisa mengganggu". Pada pembukaan kongres ini diundang
Prof. K.E. Malten dari negeri Belanda - salah satu anggota
Kontak Dermatosis di dunia, untuk ceramah soal penyakit karena
pekerjaan. Kongres dihadiri sekurang-kurangnya 126 anggota PADVI
dan 17 ahli penyakit kulit dari Amerika Serikat, Belgia, Jepang,
Malaysia dan Belanda.
Gonoru
Topik tentang penyakit karena pekerjaan yang dipilih untuk
dibahas dalam kongres - yang diselingi 2 diskusi panel tentang
occupational dermatosis dan penyakit gonorrhoea - menurut
Brigjen TNI dr. H.A. Hassan, Ketua PADVI Pusat, sesuai sekali.
Sebab teknologi dan mobilitas penduduklah yang menjadi lantaran
penyakit itu, urainya. Maka yang penting katanya adalah
meminimalkan akibat tak menguntungkan dari modernisasi.
Dr. Bachrawi Wongsokoesoemo, Dirjen Pencegahan & Pemberantasan
Penyakit Menular yang membacakan pidato Menteri Kesehatan
sependapat tentang pentingnya masalah penyakit kelamin
dibicarakan. Sebab meski pemberantasan penyakit tersebut telah
dimulai sejak tahun 1951, "ternyata cukup sukar dalam
melaksanakannya", tukas Bachrawi. Masalahnya, penyakit kelamin
tak semata-mata terdiri dari aspek medis, tapi "sebagian besar
bahkan terdiri dari aspek non medis", katanya pula. Dari catatan
Menteri Kesehatan, sipilis memang menunjuk tendensi menurun.
Tapi, gonoru, yang sejak 1974 masuk kegiatan pemberantasan
penyakit kelamin, "lebih sulit lagi karena cepatnya masa tunas
penyakit ini", katanya. Di samping sukarnya menemukan sumber
penularan dan adanya kuman-kuman yang kebal terhadap pengobatan.
Steambath tersebar di mana-mana. Betulkah steambath dan
semacamnya menjadi penyebab meningkatnya jumlah penderita
penyakit ini? "Itu kan yang manifes saja", kata Ibeni, "apakah
kalau steambath ditutup lantas mereka berhenti dari pekerjaannya
melacur?", tambah Ibeni sembari tersenyum.
Tentang penderita penyakit kelamin jika dilihat dari angka
penderita yang berobat ke RS. Dr. Sutomo, Surabaya, agak
menurun. Jika tahun 1974 jumlahnya sekitar 488 penderita - yang
terdiri dari 328 laki-laki dan 160 perempuan, tahun 1975 menurun
tinggal 219 laki-laki plus 87 perempuan. Tapi mungkin saja
penurunan itu lantaran tarif berobat di RS Dr. Sutomo naik dari
Rp 50 jadi Rp 150.
Mungkinkah penyakit ini bisa diberantas lewat pendidikan seks?
Gubernur Jawa Timur Soenandar nampaknya menyinggung kemungkinan
itu, sebaai metode penanggulangan penyakit kelamin di kalangan
remaja. "Cuma seyogyanya dapat dikembangkan melalui suatu
penelaahan yang mendalam lebih dulu", katanya. Tidak boleh
gegabah dan latah, hanya karena "negara-negara lain sudah
melaksanakan", tambahnya. Sebab soal pendidikan seks ini
nampaknya mengait beberapa faktor antara lain kondisi dan
situasi daerah yang berbeda-beda. Juga soal agama.
Diusir Camat
Meski tak didiskusikan dalam kongres, jenis penyakit kulit yang
banyak dibicarakan adalah lepra. Bahkan di antara ahli-ahli
asing yang diundang, beberapa di antaranya ahli di bidang
pemberantasan lepra. Memang ada kemajuan jika ditilik dari
luasnya wilayah yang ditangani plus banyaknya penderita yang
ditemukan. Jika awal pemberantasan penyakit lepra - tahun 1969
program ini meliputi 150 kabupaten dala 21 propinsi dan
diketemukan 51.50 penderita, kini meningkat sampai meliputi 253
kabupaten dalam 26 propinsi dan diketemukan 101,828 penderita.
Hasilnya memang ada. Sekurang-kurangnya tercatat adanya 1.115
penderita di Bali dan Maluku yang dinyatakan sembuh dan bebas
dari pengawasan.
Repotnya, seperti kata Bachrawi masih adanya "lepra-phobia" di
kalangan masyarakat. Hingga banyak di antara penderita yang
memberi alamat palsu. Di Jawa Timur saja menurut catatan dr.
Ibeni Ilias, sekurang-kurangnya 400 di antara 4000 penderita
yang memberi alamat palsu. Mengapa? "Takut diusir camat dan
lurahnya" kata Ibeni. Memang masih ada pendapat di kalangan
masyarakat, jika salah satu anggota keluarga kena lepra, yang
lain tak laku kawin, tambahnya. Untuk menyelamatkan keluarga
banyak penderita lepra ini yang terus menjadi gelandangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini