Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya menolak pencalonan Wiranto sebagai presiden justru karena saya mendambakan terbentuknya negara kuat di negeri ini. Sudah capek saya melihat pertunjukan gagal-negara yang ditampilkan oleh pemerintah Gus Dur dulu maupun pemerintah Megawati sekarang.
Sindrom gagal-negara ini bisa kita lihat dari ketidakbecusan pemerintah memberikan rasa aman kepada rakyat dari ancaman kekerasan yang mengepung mereka, mulai dari konflik horizontal maupun separatisme, teror bom, sampai kriminalitas di jalanan. Sindrom gagal-negara bahkan juga bisa kita rasakan sehari-hari sebagai hal yang rutin: polisi minta disuap, birokrasi minta uang pelicin, pengadilan mesti disogok. Rutinisasi korupsi semacam ini bukan saja menjadi pertanda lemahnya supremasi hukum, melainkan juga bukti bahwa proses institusionalisasi politik mengalami kemacetan.
Proses pelembagaan diperlukan dalam kehidupan politik karena hanya dengan itulah kompetisi dan konflik dalam politik menjadi predictable dan terpola. Pelembagaan juga memungkinkan kehidupan politik dalam situasi yang stabil dan berumur panjang, sehingga kepentingan bersama tetap terlindungi. Korupsi mengubah proses institusionalisasi politik ini menjadi "privatisasi" yang menyimpang, karena dengan adanya korupsi, status kepublikan lembaga politik raib dan berubah statusnya menjadi milik privat.
James Madison, salah satu negarawan pendiri Amerika Serikat, satu kali pernah mengatakan, pemerintah pertama-tama haruslah bisa mengontrol yang diperintah dan karena itu ia mesti bisa mengontrol dirinya sendiri. Itulah pemerintah yang memerintah. Kasus gagal-negara terjadi tidak lain karena absennya dua elemen pokok yang disebut Madison itu.
Ketidakmampuan memberikan rasa aman berarti tidak adanya kontrol yang efektif dari pemerintah terhadap yang diperintah. Sedangkan impotensi supremasi hukum dan macetnya institusionalisasi politik adalah pertanda bahwa pemerintah tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Dengan kata lain gagal-negara adalah suatu ironi karena di situ kita punya pemerintah yang tidak memerintah.
Karena itulah saya mengidamkan negara kuat. Keinginan saya ini harap tidak dipahami sebagai kerinduan terhadap munculnya kembali sang otokrat?sosok orang kuat yang berkuasa dengan tangan besi. Bagi saya, negara kuat tidak identik dengan otoritarianisme atau militerisme.
Bagi kalangan prodemokrasi, gagasan negara kuat boleh jadi masih terasa menakutkan. Pengalaman puluhan tahun di bawah represi Orde Baru membuat mereka cenderung mempercayai suatu tesis bahwa kalau negara menguat otomatis masyarakat melemah. Penguatan negara, dengan demikian, membahayakan agenda konsolidasi demokrasi. Tak mengherankan kalau kemudian perhatian aktivis prodemokrasi selama ini lebih banyak tercurah pada perjuangan menciptakan civil society yang kukuh dan mandiri. Dalam benak mereka, penguatan negara bukan hanya tidak terdaftar sebagai langkah yang sah bagi konsolidasi demokrasi, melainkan justru membahayakan kehidupan demokrasi itu sendiri.
Pada tingkat tertentu, kecurigaan aktivis prodemokrasi terhadap negara kuat bisa dimengerti, mengingat Orde Baru memang terbukti secara sistematis melemahkan civil society. Tapi, apa betul negara Orde Baru adalah cerminan negara kuat, kalau ia begitu mudahnya ambruk bagaikan rumah kartu ketika terkena hantaman krisis. Selama berkuasa, Soeharto lebih banyak memupuk dan melestarikan kekuasaan untuk dirinya sendiri, ketimbang untuk memperkuat lembaga politik. Makanya Orde Baru runtuh ketika Soeharto jatuh.
Kalau bukan seperti Orde Baru, lantas seperti apa negara kuat itu? Francis Fukuyama dalam esainya The Imperative of State-Building (Journal of Democracy, 2004) menyebut upaya membangun negara?dalam arti menciptakan institusi politik yang baru dan memperkuat yang sudah ada?merupakan suatu imperatif bagi pemerintah mana pun yang sedang menjalankan agenda reformasi. Selama ini, isu state-building ini terabaikan. Reformasi selalu diartikan sebagai pembatasan peran dan otoritas negara. Kalangan pro-pasar bebas yang gencar menyerukan privatisasi malah curiga dengan state-building karena dianggap bisa menjurus pada big government yang mengontrol dan mengatur ekonomi atau mengarah pada statisme, suatu pandangan serba negara.
Kekhawatiran semacam ini untuk sebagian terkait dengan rujukan mereka terhadap sejarah politik Amerika yang memang sejak awal cenderung membatasi kekuasaan negara, baik itu lewat konstitusi, perlindungan yang eksplisit terhadap hak-hak individu, pemisahan kekuasaan, maupun federalisme. Tapi sejatinya pembatasan peran negara di Amerika tidak lantas mengakibatkan negara Amerika menjadi negara yang lemah melainkan justru sangat kuat. Kenapa?
Dengan mengutip definisi Max Weber yang terkenal tentang negara sebagai "komunitas yang berhak mengklaim untuk memonopoli penggunaan kekuatan fisik secara sah dalam satu teritori tertentu", Fukuyama menjelaskan bahwa esensi negara kuat adalah enforcement, kemampuan untuk memaksa rakyat mematuhi aturan dan hukum negara, termasuk dengan paksaan fisik.
Artinya, ide negara kuat lebih berhubungan dengan soal "kapasitas" ketimbang soal "cakupan" (scope). Dengan demikian negara Amerika Serikat?meski cakupan kekuasaannya sangat terbatas?adalah negara yang superkuat karena bisa memaksakan penerapan hukum di seluruh wilayah negaranya. Karena itulah Fukuyama kemudian mengusulkan agar perhatian terhadap agenda liberalisasi ekonomi di Dunia Ketiga memberikan perhatian yang serius terhadap penguatan strength negara sambil tetap membatasi scope-nya.
State enforcement yang disebut oleh Fukuyama inilah yang tidak kita temukan dalam situasi gagal-negara. Padahal state enforcement adalah fondasi utama bagi tegaknya rule of law dan proses pelembagaan politik. Tiga pilar ini memungkinkan terselenggaranya kehidupan politik yang melindungi hak sipil, kebebasan individu, dan memberikan jaminan rasa aman pada masyarakat secara permanen.
Sayangnya, tiga pilar ini tidak dirawat dengan baik oleh rezim Gus Dur dan Megawati. Sebagai pemerintah yang terpilih secara demokratis dan karena itu memegang legitimasi yang kuat, Gus Dur dan Megawati mestinya punya modal yang cukup untuk menegakkan negara kuat. Akan tetapi, langkah Gus Dur yang maha-zig-zag maupun sikap Megawati yang membisu sama-sama menghasilkan pemerintah yang tidak memerintah, untuk memakai perspektif Madisonian. Kerinduan rakyat terhadap keamanan dan penegakan hukum pun tidak bisa mereka penuhi.
Apakah Wiranto bisa memenuhinya? Mereka yang percaya bahwa rasa aman hanya bisa dijamin dengan tampilnya orang kuat pasti akan mengiyakannya dengan segera. Apalagi Partai Golkar yang menjadi kendaraan politik Wiranto merupakan partai pemenang Pemilu 2004 yang demokratis. Tapi menurut saya ini adalah pilihan yang mengidap kekeliruan yang serius.
Kolega saya, Rizal Mallarangeng, menolak Wiranto karena persoalan masa lalunya. Dalam sebuah diskusi di satu TV swasta baru-baru ini ia mengatakan, Wiranto sampai saat ini bungkam tentang kerusuhan Mei 1998, kekerasan di Timor Leste, insiden Semanggi. Padahal, sebagai Panglima ABRI saat itu, Wirantolah orang yang mesti bertanggung jawab. Dengan track record seperti itu, Wiranto tidak layak menjadi presiden karena ia akan menghabiskan hari-harinya untuk menjustifikasi masa lalunya ketimbang memikirkan masa depan Indonesia.
Jusuf Wanandi dalam tulisannya di The Jakarta Post beberapa waktu lalu cemas dengan Wiranto karena pencalonannya sebagai presiden akan mendulang protes internasional yang serius, sehubungan dengan keterlibatannya sebagai penanggung jawab terjadinya kekerasan pascareferendum di Timor Leste pada 1999?saat lebih dari 1.500 orang terbunuh dan 70 persen bangunan hancur. Kasus itu belum selesai prosesnya sampai sekarang. Dengan begitu, dunia akan memperlakukan Wiranto seperti Pinochet, dan kita bangsa Indonesia harus menghadapi dunia dengan rasa malu meskipun seandainya nanti Wiranto lolos dari tuduhan.
Buat saya, penolakan terhadap Wiranto bukanlah semata-mata berdasarkan fi'il-nya di masa lalu seperti kata Rizal, ataupun citranya di mata dunia seperti kata Jusuf. Saya menolak Wiranto karena kehadirannya justru akan mengubur jaminan rasa aman dan penegakan hukum yang diidamkan rakyat.
Jika Wiranto terpilih jadi presiden, ia mungkin saja memiliki daya enforcement yang tidak dimiliki oleh pemerintah Gus Dur ataupun Megawati. Akan tetapi dalam hal penegakan supremasi hukum dan pelembagaan politik, Wiranto lebih merupakan bagian dari problem ketimbang solusi. Saya malah khawatir, daya enforcement yang dia miliki tidak untuk memperkuat supremasi hukum dan pelembagaan politik melainkan untuk melemahkannya.
Naiknya Wiranto mungkin saja bisa memenuhi jaminan rasa aman. Tapi, tanpa negara kuat, rasa aman yang ditawarkan hanya berumur pendek. Lebih jauh Wiranto, yang menjadi bagian dari problem dalam soal supremasi hukum, bisa menghambat upaya penguatan negara yang menjadi prasyarat bagi jaminan rasa aman yang sejati, yakni rasa aman yang memungkinkan kita hidup dalam kebebasan. Atas dasar itulah saya menolak Wiranto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo