PARU-PARU orang Indonesia masih merupakan sarang yang
empuk bagi basil TBC. Diperhitungkan - jadi tidak melalui
survai sekitar 700.000 orang di sini terserang penyakit
paru-paru. Saban tahun yang terbunuh berkisar antara 30 ribu
sampai 40.000 jiwa. Berbarengan dengan itu saban tahun
diperkirakan 200.000 penderita baru muncul pula. Departeman
Kesehatan memang punya niat yang kuat untuk menggulangi penyakit
ini di samping penyakit rakyat lain, seperti muntah berak dan
malaria. Timbang punya-timbang, selidik sana pelajari sini,
para pejabat Depkes beranggapan bahwa jumlah penderita yang
masih bertahan itu antara lain disebabkan oleh obat
Streptomycine, INH dan PAS yang sudah tak becus lagi.
Sebab menurut laporan yang masuk sekitar 40%, TBC sudah kebal
terhadap obat lama ini. Di samping itu disiplin penderita
untuk menjalani pengobatan yang panjang - bisa mencapai satu
setengah tahu dengan obat itu membuat program pemberantasan TBC
jadi seret.
Kemudian datanglah obat mutakhir. Refampicin. Obatnya yang
dapat ditelan, tidak disuntikkan sebagaimana obat yang lama.
Jangka pengobatannya hanya setengah tahun. Cuma harganya lebih
mahal Depkes mulai berpaling kepada obat baru ini. Lembaga
Penelitian dan Pengembangan Depkes, yang mula-mula tertarik
untuk mencobanya. Maka yang punya obat. Ciba - Geigy pun
masuklah pada peluang yang bagus ini. Hampir dua tahun yang lalu
sebuah proyek percobaan klinis untuk obat ini, dengan biaya
dari perusahaan tadi, diselenggarakan di Malang. Mencakup para
penderita di Jawa Timur dan Bali. Tutup proyek, hasilnya memang
menggembirakan. Lebih dario 90% berhasil.
Melihat hasil Malang itu, Depkes maju selangkah lagi ke muka.
Sejak awal Juli ini diadakan pula apa yang dinamakan Operational
Test Run, dengan gampang sebutkanlah percobaan obat di lapangan,
terhadap 2000 pendrita diseluruh Jawa, Bali, Kalbar dan Sumbar.
Kalau di Malang dulu Ciba menanggung seluruh biaya pemeriksaan,
terrmasuk penyediaan obat, yang meliputi Rp 90 juta, sekarang
perusahaan ini menyumbang Rp 25 juta. Sedang Rifampicin dibeli
olehDepkes. Dalam proyek ini akan dilihat bagaimana kemujaraban
obat TBC baru ini kalau dipakai dalam kondisi masyarakat yang
sesungguhnya, jadi bukan dalam laboratorium dengan personil yang
standar "Kalau misalnya memang berhasil nantinya, maka dalam
Pelita III dia akan kita pilih untuk menanggulangi TBC", ujar dr
Bahrawi Wangsakusuma, direktur jenderal Pencegahan dan
Pemberantasan Penyakit Menular.
Makan Tuan
"Kita tak bisa mempersalahkan para penanggung jawab bidang
penyakit TBC pada waktu dulu, kalau mereka tidak pernah
melakukan operational test run untuk obat konvensionil. Cuma
nyatanya dari data-data dan laporan dari luarnegeri, obat lama
itu memang sudah kebal terhadap TBC. Sekitar 40%. Kita harus
menata manajemen yang sekarang dan membuat rencana ke depan. Dan
kita harus bekerja keras untuk menjaga jangan sampai obat ini
jadi kebal pula terhadap TBC di sini. Kita akan memperbaiki
manajemen dalam menanggulangi penyakit ini", sambung Bahrawi.
Dalam pemberantasan TBC agaknya yang menjadi persoalan pokok
bukanlah tidak becusnya lagi obat-obat konvensionil tetapi
lebih banyak terletak pada pelaksanaan pengobatan. Dia
menyangkut motivasi pelaksana dan kerapian organisasi. "Di Eropa
obat konvensionil itu mencapai hasil 90%, sedangkan di
negar-negara sedang berkembang angka kambuh mencapai 30%.
Tingginya angka kambuh ini bukan karena kesalahan obat,
melainkan pada manajemen TBC itu sendiri. Mengapa angka kambuh
itu mencapai prosentase yang tinggi, belum pernah kita analisa
di sini", tukas Kol dr Ben Mboi. Kepala Kedokteran Preventif
Angkatan Darat, yang sekarang ini menjabat pula sebagai
kordinator Program Pengobatan TBC dengan Rifampicin di kalangan
ABRI, yang dimulai sejak bulan Juni ini.
Dia sangat cemas sekali kalau percobaan lapangan di kalangan
ABRI dan keluarga mereka gagal misalnya. "Kalau kita gagal
dengan INH. PAS dan Streptomycin misalnya, kita masih punya
payung pelindung yang bernama Rifampicin ini. Tapi kalau dalam
percobaan ini Rifapicin gagal dia akan membawa bencana. Ke
atasan saya sudah kasih peringatan apa kelebihan dan kekurangan
memilih obat baru dan paten ini. Sedang kepada bawahan saya,
saya juga peringatkan hati-hatilah, karena senjata ini bisa
makan tuan", sambung Ben. Dia juga mengutarakan
kecemasannya, kalau misalnya timbul kekebalan terhadap obat ini
hanya karena manajemen dan disiplin yang kurang, maka akan
gentayangan pula hasil TBC yang kebal terhadap senjata terakhir
yang bernama Rifanpicin. "Saya kira kalau kita maumengganti obat
harus mempertimbangkan secara matang keadaan sosial ekonomi
masyarakat. Sebab mengganti obat itu tidak segampang seperti
mengganti baju", sambungnya pula. Dengan disiplin yang kuat di
kalangan ABRI, proyek percobaan lapangan yang dia pimpin ini,
bisa diramalkan akan berhasil, tetapi yang di kalangan umum yang
berada di bawah Depkes, mungkin harus diikuti dengan rasa
was-was.
"Proyek percobaan lapangan ini memang riskan sekali, kalau gagal
kita hancur. Karena itu kita akan membantu sekuat tenaga
pelaksanaan percobaan lapangan ini", sambut dr B Wanandi,
manajer dari Ciba - Geigy produsen Rifampicin yang dapat bagian
paling besar dalam penjualan obat tersebut kepada Depkes dan
jawatan kesehatan ABRI.
Sebenarnya Rifampicin bukan monopoli Ciba, perusahaan milik
pemerintah PT Kimia Farma juga membuatnya. Kerjasama dan bantuan
perusahaan farmasi yang berpusat di Swiss itu agaknya tidak
bakalan mengikat Departemen Kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini