Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Senjata Terakhir Bisa Ditelan

Diperkirakan 700.000 orang Indonesia mengidap TBC. Tiap tahun tambah 200.000 penderita baru. Obat mutakhir rifampicin digunakan Departemen Kesehatan untuk memberantas TBC.

2 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARU-PARU orang Indonesia masih merupakan sarang yang empuk bagi basil TBC. Diperhitungkan - jadi tidak melalui survai sekitar 700.000 orang di sini terserang penyakit paru-paru. Saban tahun yang terbunuh berkisar antara 30 ribu sampai 40.000 jiwa. Berbarengan dengan itu saban tahun diperkirakan 200.000 penderita baru muncul pula. Departeman Kesehatan memang punya niat yang kuat untuk menggulangi penyakit ini di samping penyakit rakyat lain, seperti muntah berak dan malaria. Timbang punya-timbang, selidik sana pelajari sini, para pejabat Depkes beranggapan bahwa jumlah penderita yang masih bertahan itu antara lain disebabkan oleh obat Streptomycine, INH dan PAS yang sudah tak becus lagi. Sebab menurut laporan yang masuk sekitar 40%, TBC sudah kebal terhadap obat lama ini. Di samping itu disiplin penderita untuk menjalani pengobatan yang panjang - bisa mencapai satu setengah tahu dengan obat itu membuat program pemberantasan TBC jadi seret. Kemudian datanglah obat mutakhir. Refampicin. Obatnya yang dapat ditelan, tidak disuntikkan sebagaimana obat yang lama. Jangka pengobatannya hanya setengah tahun. Cuma harganya lebih mahal Depkes mulai berpaling kepada obat baru ini. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Depkes, yang mula-mula tertarik untuk mencobanya. Maka yang punya obat. Ciba - Geigy pun masuklah pada peluang yang bagus ini. Hampir dua tahun yang lalu sebuah proyek percobaan klinis untuk obat ini, dengan biaya dari perusahaan tadi, diselenggarakan di Malang. Mencakup para penderita di Jawa Timur dan Bali. Tutup proyek, hasilnya memang menggembirakan. Lebih dario 90% berhasil. Melihat hasil Malang itu, Depkes maju selangkah lagi ke muka. Sejak awal Juli ini diadakan pula apa yang dinamakan Operational Test Run, dengan gampang sebutkanlah percobaan obat di lapangan, terhadap 2000 pendrita diseluruh Jawa, Bali, Kalbar dan Sumbar. Kalau di Malang dulu Ciba menanggung seluruh biaya pemeriksaan, terrmasuk penyediaan obat, yang meliputi Rp 90 juta, sekarang perusahaan ini menyumbang Rp 25 juta. Sedang Rifampicin dibeli olehDepkes. Dalam proyek ini akan dilihat bagaimana kemujaraban obat TBC baru ini kalau dipakai dalam kondisi masyarakat yang sesungguhnya, jadi bukan dalam laboratorium dengan personil yang standar "Kalau misalnya memang berhasil nantinya, maka dalam Pelita III dia akan kita pilih untuk menanggulangi TBC", ujar dr Bahrawi Wangsakusuma, direktur jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular. Makan Tuan "Kita tak bisa mempersalahkan para penanggung jawab bidang penyakit TBC pada waktu dulu, kalau mereka tidak pernah melakukan operational test run untuk obat konvensionil. Cuma nyatanya dari data-data dan laporan dari luarnegeri, obat lama itu memang sudah kebal terhadap TBC. Sekitar 40%. Kita harus menata manajemen yang sekarang dan membuat rencana ke depan. Dan kita harus bekerja keras untuk menjaga jangan sampai obat ini jadi kebal pula terhadap TBC di sini. Kita akan memperbaiki manajemen dalam menanggulangi penyakit ini", sambung Bahrawi. Dalam pemberantasan TBC agaknya yang menjadi persoalan pokok bukanlah tidak becusnya lagi obat-obat konvensionil tetapi lebih banyak terletak pada pelaksanaan pengobatan. Dia menyangkut motivasi pelaksana dan kerapian organisasi. "Di Eropa obat konvensionil itu mencapai hasil 90%, sedangkan di negar-negara sedang berkembang angka kambuh mencapai 30%. Tingginya angka kambuh ini bukan karena kesalahan obat, melainkan pada manajemen TBC itu sendiri. Mengapa angka kambuh itu mencapai prosentase yang tinggi, belum pernah kita analisa di sini", tukas Kol dr Ben Mboi. Kepala Kedokteran Preventif Angkatan Darat, yang sekarang ini menjabat pula sebagai kordinator Program Pengobatan TBC dengan Rifampicin di kalangan ABRI, yang dimulai sejak bulan Juni ini. Dia sangat cemas sekali kalau percobaan lapangan di kalangan ABRI dan keluarga mereka gagal misalnya. "Kalau kita gagal dengan INH. PAS dan Streptomycin misalnya, kita masih punya payung pelindung yang bernama Rifampicin ini. Tapi kalau dalam percobaan ini Rifapicin gagal dia akan membawa bencana. Ke atasan saya sudah kasih peringatan apa kelebihan dan kekurangan memilih obat baru dan paten ini. Sedang kepada bawahan saya, saya juga peringatkan hati-hatilah, karena senjata ini bisa makan tuan", sambung Ben. Dia juga mengutarakan kecemasannya, kalau misalnya timbul kekebalan terhadap obat ini hanya karena manajemen dan disiplin yang kurang, maka akan gentayangan pula hasil TBC yang kebal terhadap senjata terakhir yang bernama Rifanpicin. "Saya kira kalau kita maumengganti obat harus mempertimbangkan secara matang keadaan sosial ekonomi masyarakat. Sebab mengganti obat itu tidak segampang seperti mengganti baju", sambungnya pula. Dengan disiplin yang kuat di kalangan ABRI, proyek percobaan lapangan yang dia pimpin ini, bisa diramalkan akan berhasil, tetapi yang di kalangan umum yang berada di bawah Depkes, mungkin harus diikuti dengan rasa was-was. "Proyek percobaan lapangan ini memang riskan sekali, kalau gagal kita hancur. Karena itu kita akan membantu sekuat tenaga pelaksanaan percobaan lapangan ini", sambut dr B Wanandi, manajer dari Ciba - Geigy produsen Rifampicin yang dapat bagian paling besar dalam penjualan obat tersebut kepada Depkes dan jawatan kesehatan ABRI. Sebenarnya Rifampicin bukan monopoli Ciba, perusahaan milik pemerintah PT Kimia Farma juga membuatnya. Kerjasama dan bantuan perusahaan farmasi yang berpusat di Swiss itu agaknya tidak bakalan mengikat Departemen Kesehatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus