Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Marah adalah emosi yang wajar. Manusia memang sudah dibekali dengan potensi emosi yang seperti itu, seperti halnya kita bisa bahagia, senang, takjub atau sikap yang emosi biasa-biasa saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pandangan yang berkembang di kalangan orang Jawa bahkan, seseorang bisa marah tanpa terlihat sekalipun bahwa dia sedang marah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu bagaimana seharusnya kita mengelola rasa marah yang kita rasakan? Apakah perlu diluapkan? diluapkan seperti gelombang tsunami? atau dipendam tapi ibarat bara dalam sekam?
Secara ilmiah dan medis, kemarahan adalah sebuah emosi kuat yang jauh lebih baik jika dapat dikontrol. Jika rasa marah tidak dapat dikelola dengan baik, efeknya dapat merugikan Anda dan orang-orang di sekitar Anda.
Marah-marah juga dapat berujung pada argumen, perkelahian fisik, hingga kekerasan baik terhadap orang lain maupun diri sendiri.
Bukan hanya dapat mempengaruhi emosi dan cara seseorang menghadapi suatu situasi yang dihadapinya, kemarahan yang kerap dirasakan oleh seseorang dapat menimbulkan senyawa kimia yang mempengaruhi metabolisme tubuh.
Perubahan ini dapat berakibat buruk pada berbagai sistem tubuh, di antaranya:
Penyakit jantung koroner
Dikutip dari laman NCBI, emosi yang negatif berpengaruh pada kondisi seperti aterosklerosis atau penyakit jantung koroner. Kemarahan berdampak langsung pada penyakit kardiovaskular dan sistem saraf simpatik. Pembebasan hormon stres dapat menimbulkan peristiwa semacam modifikasi hemodinamik dan metabolik, masalah vaskular, dan gangguan irama jantung.
Perilaku bulimia
Emosi negatif adalah salah satu aspek terkait pasien dengan bulimia. Hubungan antara emosi negatif dan perilaku gangguan makan sebagian bergantung pada variabel kepribadian, seperti impulsivitas.
Peningkatan tingkat kemarahan dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan pasien untuk makan dan memuntahkannya. Impulsivitas berperan dalam menjembatani hubungan antara kemarahan dan kemungkinan untuk makan berlebihan.
Diabetes
Kemarahan diasosiasikan dengan terjadinya diabetes tipe 2 melalui dua potensi mekanisme: gaya hidup yang tidak sehat lalu berujung pada obesitas dan/atau aktivasi sistem saraf simpatis, yang mengarah pada respons inflamasi oleh interleukin-6, dikutip dari Golden Hill et.al.
Tidak ada hubungan langsung antara kemarahan secara keseluruhan dengan risiko diabetes, tetapi individu dengan karakter temperamen memiliki 34 persen peningkatan risiko terkena diabetes dibandingkan mereka yang berada di level rendah.
Stroke
Dikutip dari laman Everyday Health, salah satu penelitian menyebutkan seseorang berisiko tiga kali lebih tinggi untuk terkena stroke akibat penyumbatan pembuluh darah atau pendarahan di otak selama dua jam setelah seseorang mengalami ledakan kemarahan. Orang dengan aneurisma di salah satu arteri otak berisiko enam kali lebih tinggi memecahkan aneurisma setelah ledakan kemarahan.
Belajar untuk mengendalikan kemarahan dan emosi negatif dapat dilakukan dengan berbagai cara. Contohnya, menjauhi situasi yang membuat Anda stres sampai Anda merasa jauh lebih baik, menerima emosi yang Anda rasakan, mencari tahu apa yang membuat Anda marah, lakukan kegiatan fisik seperti berolahraga, dan menceritakan perasaan anda kepada orang yang dipercaya.
DINA OKTAFERIA