Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa nahas itu terjadi pada pagi hari 5 Desember lalu. Yulizar, 37 tahun, yang didera rasa putus asa, termenung di kamarnya dengan membawa sebilah pisau. Lalu, sret...! Pisau tajam itu menyayat payudaranya. Darah hitam bercampur darah segar muncrat di seprai. Jeritan terdengar dari bilik rumah kontrakan di kilometer 25 Minas Jaya, Kabupaten Siak, Riau.
Mendengar jeritan, Desty yang sedang berada di dapur buru-buru menghampiri ibunya. Melihat darah menggenang di kain seprai, ia berteriak meminta tolong. Ayahnya, Alizar, yang sedang berjaga di warung, sekitar 4 kilometer dari rumah, segera dipanggil. Sang ibu lalu dilarikan ke Rumah Sakit Ibnu Sina, Pekanbaru.
Untunglah, nyawa Yulizar bisa diselamatkan. ”Saya bukan mau bunuh diri, hanya benci pada payudara yang membuat saya tak bisa apa-apa,” katanya. Sejak dua tahun lalu, ia menderita kanker payudara ganas (Adena cardinama mammae). Akibatnya, payudaranya membesar seukuran buah semangka.
Alizar bercerita, sejak menderita kanker payudara, istrinya merasa bersalah karena tak bisa lagi mengurus rumah tangga. Ketika benjolan di payudaranya baru sebesar telur puyuh, Yulizar sempat dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Muhammad Jamil, Pekanbaru. Lantaran tak mampu membayar ongkos rumah sakit, Yulizar tak melanjutkan perawatan, lalu menjalani pengobatan alternatif.
Bukannya sembuh, benjolan di payudaranya bertambah besar. Alizar akhirnya kembali membawa istrinya ke Rumah Sakit M. Jamil pada Mei 2005. Pihak rumah sakit menyatakan payudaranya harus dibedah. Dan biaya operasinya mencapai Rp 7 juta. Karena tak punya uang dan belum memiliki kartu Asuransi Kesehatan Miskin (Askeskin), Yulizar kembali dibawa pulang.
Sejak itu Yulizar terlihat semakin tertekan dan menderita. Suatu hari pada Agustus 2005, ia bahkan pernah hendak mengakhiri hidup dengan menenggak cairan pembasmi nyamuk. Beruntung, suaminya memergoki dan ia bisa ditolong.
Tiga hari sebelum mengiris payudaranya sendiri, Yulizar bahkan sempat jatuh ke tungku kayu bakar. ”Saya tak kuat menahan berat dada yang besar ini,” ujarnya. Beruntung Desty, 14 tahun, putri semata wayangnya, mendengar teriakan ibunya. Ia langsung menarik tubuh ibunya dari tungku.
Setelah melakukan perawatan, dokter di Rumah Sakit Ibnu Sina menyarankan agar Yulizar segera menjalani pembedahan. Biayanya Rp 7,2 juta, belum termasuk kamar dan obat. Alizar menyodorkan Askeskin yang kini telah dimilikinya, tapi pihak rumah sakit menolak. ”Kartu itu hanya berlaku di rumah sakit umum,” kata petugas Rumah Sakit Ibnu Sina.
Alizar bingung. Sejak dipecat sebagai sopir tronton di perusahaan ekspedisi tiga tahun lalu, ia cuma mengandalkan nafkah dari warung kopi. Beruntung, para tetangga dan kerabat mengulurkan tangan. Dalam tempo empat hari, terkumpul Rp 10 juta. ”Setelah uang disetor ke rumah sakit, istri saya pun dioperasi,” ujarnya.
Operasi yang dilakukan pada 9 Desember lalu itu mengangkat payudara sebelah kiri Yulizar seberat 4,2 kilogram. ”Jika ditambah dengan yang dipotong sendiri, beratnya sekitar 5 kilogram,” kata Alizar. Setelah 10 hari dirawat, Yulizar pulang. Namun saat diperiksa lagi pada 29 Desember, dokter menemukan sel kanker tumbuh lagi di payudara sebelah kiri.
Dokter Amiral Amra, ahli bedah yang menangani Yulizar, mengatakan sudah menduga tumbuhnya tumor baru, karena sel tumor itu sudah menyebar. Untuk menghentikan penyebarannya, pasien harus diberi obat antikanker dan kemoterapi. ”Tadinya dia akan kami operasi lagi, tapi karena ada bantuan dari pemerintah, pasien dirujuk ke Rumah Sakit M. Jamil,” ujarnya.
Seandainya mendapat perawatan sejak dini, mungkin nasib Yulizar agak berbeda. Namun pihak rumah sakit tak mau disalahkan. Dokter Nuzelly Husnedi, juru bicara Rumah Sakit M. Jamil, membenarkan Yulizar pernah kontrol ke situ dua tahun lalu. Ketika itu pihaknya sudah menyarankan pembedahan. ”Tapi pasien minta pulang dan tak datang-datang lagi,” katanya.
Ketika Yulizar datang lagi pada Mei lalu, dokter kembali menyarankan operasi. Tapi ia tak sanggup membayar biayanya dan lagi-lagi minta pulang. ”Kami sudah menyarankan agar mengurus surat keterangan miskin. Namun sejak itu ia tak datang-datang lagi,” ujar Nuzelly. Kini, setelah kasus ini mencuat di media massa, pihak Rumah Sakit M. Jamil berjanji akan mengobati Yulizar sampai sembuh.
Eni Saeni, Jupernalis (Pekanbaru)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo