Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Timbel dan Mani pulasi Harga BBM

9 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmad Safrudin

  • Koordinator Komite Penghapusan Bensin Bertimbel

    Sudah tiga bulan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Seliter premium, misalnya, sejak 1 Oktober 2005 naik menjadi seharga Rp 4.500. Harga itu disesuaikan dengan harga BBM di pasar internasional. Sebagian masyarakat bisa memahami alasan kenaikan itu, yakni agar beban subsidi BBM terkurangi. Tapi, yang sulit dipahami adalah mengapa ketika harga telah disesuaikan dengan harga internasional, kualitas bensin kita tetap saja kualitas lokal alias memiliki kadar oktan rendah dan mengandung timbel? Apakah buruknya kualitas bensin itu berarti pemerintah telah melakukan tindakan manipulatif? Mari kita bentangkan persoalan ini satu per satu.

    Saat pemerintah meminta masyarakat agar menerima harga BBM disesuaikan dengan harga BBM internasional, maka sebenarnya hal itu mengandung konsekuensi tertentu. Konsekuensi itu adalah kualitas bensin yang harus dijual pemerintah semestinya juga setara dengan kualitas internasional.

    Faktanya, premium yang dijual Pertamina tetap saja bensin berkualitas rendah. Angka oktannya cuma 88 (RON 88) dan masih bertimbel (leaded gasoline). Dengan kata lain premium yang dijual Pertamina tidak setara dengan bensin yang dijual di Singapura, sekalipun harganya sudah harga Singapura.

    Apakah Presiden tidak menyadari bahwa para staf ahlinya dan Pertamina telah menyodorkan perhitungan harga yang tidak akurat? Rakyat telah dipaksa membayar premium bertimbel RON 88 lebih mahal daripada harga sebenarnya di pasar internasional.

    Mari kita coba hitung harga riil premium kita. Di pasar internasional per 19 September 2005, seliter bensin tanpa timbel dengan angka oktan 89 (RON 89) di pasar internasional dijual US$ 66,85 per barel atau setara dengan Rp 4.204 per liter.

    Marilah kita gunakan harga bensin jenis ini sebagai patokan untuk menghitung, meskipun kualitas bensin ini di atas premium RON 88 yang dijual Pertamina.

    Bensin RON 89 ini adalah bensin tanpa timbel. Jadi, harga Rp 4.204 itu sudah termasuk biaya konversi menghilangkan timbel (incremental cost). Biaya konversi ini besarnya sekitar Rp 231 per liter, dengan asumsi nilai tukar rupiah adalah Rp 10 ribu per dolar.

    Jadi, bila kita ingin mendapatkan harga bensin bertimbel, harga bensin RON 89 ini harus dikurangi incremental cost (Rp 4.204 - Rp 231). Hasilnya adalah Rp 3.973 per liter. Inilah harga riil bensin bertimbel RON 88.

    Bandingkan dengan harga premium yang dipatok Pertamina Rp 4.500 per liter. Ada selisih Rp 527 per liter. Artinya, masyarakat harus membayar bensin lebih mahal dari harga bensin setara di Singapura. Semestinya, dengan selisih itu, pemerintah sudah bisa menyediakan bensin yang lebih berkualitas dan tanpa timbel dan aman buat kesehatan.

    Kita semua mafhum, penggunaan bensin bertimbel bisa menghasilkan dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat. Berdasarkan riset diketahui bahwa setiap liter bensin yang dijual di Indonesia mengandung timbel 0,3 gram. Bila bensin ini dibakar, dua pertiga timbelnya akan disemburkan melalui knalpot.

    Udara yang terkontaminasi timbel sebesar 1 mikrogram per meter kubik berpotensi menyebabkan darah tercemar timbel 2,5 hingga 5,3 mikrogram per desiliter. Sebagai logam berat, timbel bersifat akumulatif. Artinya, setelah masuk ke tubuh, timbel akan mengendap dan sulit dikeluarkan. Ini tentu mencemaskan kita bersama.

    Berbagai riset juga menunjukkan bahwa akumulasi timbel di tubuh bisa mengakibatkan banyak petaka. Bila timbel berada dalam darah anak-anak sebesar 10 mikrogram per desiliter, dia bisa menurunkan IQ (intelligent quotient) sebesar 2,5 poin. Bagi pria dewasa, paparan timbel bisa mengakibatkan tekanan darah tinggi, gangguan fungsi ginjal, penurunan kemampuan reproduksi, anemia, hingga kematian. Bagi perempuan, dampak serupa juga bisa muncul. Selain itu, mereka yang tercemar timbel akan mudah mengalami keguguran.

    Di Indonesia, pencemaran timbel di udara tergolong gawat. Penelitian yang dilakukan Departemen Teknik Lingkungan, Institut Teknik Bandung, menunjukkan bahwa 30 persen anak SD di kota Bandung memiliki kadar timbel di atas angka 10 mikrogram per desiliter. Ini artinya, IQ mereka akan tergerogoti.

    Pengujian awal di kota Makassar juga setali tiga uang. Mayoritas balita yang diteliti memiliki kadar timbel di atas 20 mikrogram per liter. Data dari Departemen Kesehatan RI malah menunjukkan bahwa 46 persen responden yang diteliti memiliki kadar timbel di atas 10 mikrogram per desiliter.

    Dampak kesehatan ini berimplikasi pada beban sosial yang harus dibayar oleh masyarakat. Sejumlah riset menunjukkan bahwa penduduk DKI Jakarta pada 1999 membayar beban sosial karena pencemaran timbel sebesar Rp 850 miliar.

    Selain merugikan kesehatan, bensin bertimbel ini sebenarnya juga memasung daya saing industri otomotif kita. Saat ini produsen-produsen otomotif dunia telah mengembangkan standar kendaraan yang ramah lingkungan. Pada 1998, Eropa, Amerika, Jepang, dan negara-negara Asia Pasifik telah sepakat menetapkan Standar Euro untuk mengukur ramah-tidaknya emisi sebuah mobil dan keselamatan terhadap penumpang.

    Standar Euro terdiri atas beberapa peringkat, yaitu Euro 1, Euro 2, Euro 3, dan Euro 4. Semakin tinggi angka di belakang kata “Euro” berarti kendaraan itu semakin oke, lebih memberikan jaminan keselamatan dan semakin rendah emisi.

    Pemerintah Indonesia merintis untuk masuk standar Euro 1 pada 1998. Pemerintah berupaya membangun kesepakatan dengan industri otomotif. Tapi, kesepakatan itu baru tercapai pada 2003 dan langsung menyepakati penerapan standar Euro 2. Standar ini sudah wajib dipakai pada 1 Januari 2005 (Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 141/2003). Selain untuk memperbaiki kualitas udara, SK ini juga memberikan peluang bagi industri otomotif untuk menyelaraskan produknya agar tetap diminati oleh pasar regional Asia Tenggara.

    Namun, kegagalan Pertamina menyediakan bahan bakar yang baik—bensin bebas timbel dan solar rendah belerang—menyebabkan industri otomotif tergagap menjadwalkan investasi untuk pengembangan teknologi yang lebih mutakhir. Mesin Standar Euro tinggi memang menuntut bahan bakar yang lebih bersih. Walhasil, produk otomotif kita masih menggunakan teknologi usang yang hanya laku dijual untuk segmen pasar di dalam negeri.

    Padahal, industri otomotif Thailand telah mengadopsi Euro 1 sejak 1996 dan Euro 2 pada 1999. Malaysia juga tak mau ketinggalan, menerapkan Euro 1 pada 1997 dan Euro 2 pada 2000. Sementara Vietnam dan Laos masing-masing telah masuk pada Euro 1 pada 1998 dan 2000. Sebagai catatan keprihatinan kita semua, sampai hari ini Indonesia belum juga mengadopsi Euro 1 dan entah kapan kita akan menggunakan Euro 2. Akibatnya, peluang dan pangsa pasar industri otomotif nasional di Asia Tenggara menjadi sangat sempit, karena pasar otomotif negara tetangga jauh lebih maju.

    Kegagalan industri otomotif nasional mengadopsi Global Harmonization on Transport Regulation ini karena tidak tersedianya bahan bakar bersih di dalam negeri. Hal ini menyebabkan penurunan competitive advantage (keunggulan kompetitif) yang merugikan perekonomian Indonesia. Penutupan pabrik Mitsubishi di Indonesia pada April lalu dan peningkatan produksi mereka di Thailand adalah bukti nyata atas penurunan kemampuan kompetisi industri otomotif Indonesia.

    Keengganan Pertamina dalam meningkatkan kualitas bahan bakar bersih adalah bagian dari kesalahan kebijakan energi dan kecerobohan strategi pengembangan industri pemerintah. Kini, secara kasatmata, berbagai kendaraan berteknologi maju dan ramah lingkungan tampak lalu-lalang di jalan raya kota-kota besar di Indonesia, tapi hampir semuanya adalah produk impor.

    Seyogianya pemerintah segera mengoreksi kebijakan harga BBM dengan menyesuaikan kualitas premium agar setara dengan kualitas bensin di pasar internasional. Dengan demikian, social costs akibat polusi udara akan berkurang dan industri otomotif bisa lebih kompetitif.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus