Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gelombang PHK dan Pengangguran

9 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dradjad Wibowo

  • Ekonom, Wakil Ketua F-PAN, DPR RI

    SETELAH kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 Oktober 2005, seorang eksekutif perusahaan blue chip di pasar modal mengatakan kepada saya, perusahaannya tak sanggup lagi menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Daya beli turun, sementara semua biaya naik—termasuk biaya upeti.

    Eksekutif lain, dari sebuah perusahaan consumer goods terkemuka, mengeluh. Sektor retail saat ini semakin didominasi oleh hipermarket asing, yang berperan dominan bagi penjualan produknya. Celakanya, mereka seenaknya menerapkan margin, yang bisa mencapai 43,75 persen dari harga produk. Perusahaannya lalu dapat apa? Daripada pusing, apalagi biaya produk naik drastis, ya PHK saja sebagian karyawan.

    Seorang pengusaha kontraktor pemerintah mengadu. Margin keuntungan proyek ditetapkan 10 persen. Dipotong biaya ini-itu, kalau mujur dia dapat 5 persen. Padahal, kalau uangnya disimpan di bank, minimal dapat 13 persen. Jadi, mendingan tiarap saja, dan PHK karyawan. Daripada malah rugi, dan berisiko besar masuk penjara.

    Sebuah bank, setelah diselamatkan negara dengan biaya mahal, dijual murah kepada pihak asing. Oleh bankir nasional, bank ini dikelola sangat profesional sehingga untung besar. Tapi, karena masih perlu perbaikan efisiensi, maksudnya biar untungnya lebih besar lagi, karyawan pun dikenai PHK massal.

    Masih banyak contoh lain. Tapi kesimpulannya sama: PHK semakin menjadi tren. Bagi kebanyakan perusahaan, PHK menjadi strategi mempertahankan kelangsungan hidup. Tapi, bagi sebagian yang lain, khususnya perusahaan asing, PHK menjadi alat memaksimalkan keuntungan.

    Sayangnya, masalah PHK dan pengangguran tetap menjadi isu pinggiran bagi pemerintah. Sama seperti isu usaha kecil menengah (UKM) dan pemberantasan kemiskinan. Padahal semua rezim pemerintahan sejak Presiden Soeharto lengser selalu mengklaim pengangguran, kemiskinan, dan UKM sebagai prioritas.

    Realitasnya? Jauh panggang dari api! Prioritas selalu diberikan kepada stabilisasi fiskal, makro, dan sektor keuangan. Ini ditambah prioritas lanjutan pada utang luar negeri, liberalisasi, dan—pada titik tertentu—privatisasi.

    Artinya, kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah cenderung menempatkan investor pasar keuangan dan kreditor sebagai prioritas. Kenapa bisa demikian? Sebab, siapa pun presidennya, tim ekonominya selalu dikendalikan oleh mazhab ekonomi yang sama.

    Apa bukti dari kesimpulan di atas? Banyak sekali. Kasus PHK bank milik asing adalah salah satunya. Ketika pemerintah menjual bank, yang dipikirkan saat itu hanya memperoleh sumber pembiayaan bagi defisit anggaran—sekaligus memenuhi komitmen kepada IMF. Padahal sejarah menunjukkan, penjualan aset yang asal-asalan seperti itu pasti akan diikuti PHK massal dan kenaikan harga jual produk.

    Bukti lain, untuk menyelamatkan perbankan, negara melakukan investasi lebih dari Rp 710 triliun dalam bentuk obligasi rekapitalisasi, obligasi penjaminan, dan bantuan likuiditas BI. Selama 2000-2004, realisasi belanja bunga obligasi rekap mencapai Rp 239,34 triliun. Ini merupakan salah satu komponen utama penyumbang defisit anggaran.

    Tapi, apakah pemerintah mau menguranginya? Sama sekali tidak. Yang dipilih justru memangkas subsidi BBM dan membiarkan pelaku usaha melakukan penyesuaian, termasuk dengan PHK.

    Akibatnya, pengangguran cenderung meroket. Pada 1996, jumlah penganggur terbuka masih 4,29 juta jiwa atau 4,86 persen dari angkatan kerja. Per Oktober 2005, jumlah penganggur terbuka melejit menjadi 11,6 juta jiwa atau 10,84 persen. Jadi, terdapat tambahan penganggur terbuka 812 ribu per tahun.

    Gambaran di atas semakin buruk kalau kita hanya melihat periode sejak 1999. Selama 1999-2005, kita sangat setia mengikuti kebijakan ala IMF, dan rela membuang banyak uang untuk itu. Hasilnya, jumlah penganggur terbuka bertambah 941 ribu orang per tahun. Sebab, dari jumlah angkatan kerja baru yang bertambah 2,03 juta orang per tahun, yang terserap hanya 1,09 juta orang per tahun.

    Sebenarnya, sejak 2000 saya sudah mewanti-wanti hal ini. Waktu itu saya melihat pengangguran terselubung terlalu tinggi, sementara indeks produksi dari industri padat karya cenderung merosot. Di harian Kompas, 12 September 2000, saya tulis ”upaya mengatasi pengangguran perlu disebut sebagai target eksplisit”. Di Sinar Harapan, 26 Juli 2001, saya tulis ”... yang sangat krusial adalah program-program mikro, yang langsung menangani masalah pengangguran. Sayangnya, isu pengangguran ini masih terpinggirkan.”

    Karena itu, semestinya pemerintah lebih berani mengambil terobosan untuk membuka lapangan kerja. Ini bisa dilakukan melalui proyek padat karya. Hasilnya cepat diperoleh, tapi tidak tahan lama karena tidak struktural sifatnya. Jadi harus dibarengi dengan investasi yang memadai untuk mendorong revitalisasi industri, pertanian, dan pedesaan.

    Jika masih keras kepala juga, tolong diingat kasus penganggur yang membunuh anak kecil karena ribut dan mengganggu tidurnya pada siang hari. Seandainya saja dia punya pekerjaan….

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus