Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia bernama Sandra, putra seorang pengusaha yang terlilit utang. Meski berpenampilan perlente, wajah pemuda ini tampak kusut. Lelaki dua puluhan tahun ini tak sanggup lagi meladeni para penagih utang yang saban hari menyambangi rumahnya. Jalan keluar tiba-tiba dia temukan. Bukan uang yang dibutuhkannya, melainkan sepucuk pistol buat menakut-nakuti penagih utang.
Itulah sosok fiktif yang diciptakan oleh Kepala Kepolisian Resor Jakarta Utara, Komisaris Besar Polisi Dede Suryana, Desember lalu. Figur itu diperankan oleh anak buahnya, seorang anggota reserse yang masih muda. Targetnya: menggulung sindikat pengedar senjata api di wilayahnya. ”Kami berusaha menelusuri laporan dari masyarakat,” kata Dede.
Sang Kapolres lalu menugaskan Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Komisaris Khrisna Murti untuk membentuk tim kecil. Tim ini dipimpin oleh Kepala Sub-Unit I Kejahatan dan Kekerasan, Inspektur Dua Sutikno. Didukung oleh tim Sutikno, Sandra kemudian diceburkan ke lapangan.
Tak terlalu susah bagi Sandra untuk mendekati sasaran. Dia telah mengantongi sebuah nama, Sumartin, bekas pengusaha yang beralih profesi menjadi pengedar senjata api ilegal. Melalui seorang perantara, Sandra berkenalan dengan Sumartin. Mereka segera menjadi teman yang akrab. Bahkan Sandra sering mengiriminya pulsa telepon.
Sumartin akhirnya mempercayai Sandra. Dia pun bersedia memenuhi permintaan si anak pengusaha ini. ”Harga sepucuk pistol Rp 10 juta,” katanya. Ini harga pistol impor dari jenis FN, merek Pietro Beretta buatan Italia. Sumartin juga mengungkapkan, temannya memiliki dua peti senjata api impor yang siap dipasarkan.
Mereka lalu sepakat melakukan transaksi menjelang makan siang di Rumah Makan Bundo, Cilincing, Jakarta Utara, pada Jumat, 30 Desember, lalu. Sandra melaporkan rencana ini ke atasannya. Maka, dikirimlah sejumlah anggota reserse yang menyamar ke rumah makan itu. Dipimpin oleh Inspektur Dua Sutikno, mereka akan beraksi setelah mendapat sinyal dari Sandra.
Seorang diri, Sandra masuk ke rumah makan yang sedang sepi. Tak lama kemudian muncul Sumartin bersama dua pria lain yang tiba-tiba mengeluarkan pistol menodong Sandra. Todongan pistol baru dikendurkan setelah Sandra menyerahkan uang Rp 10 juta. Mereka menukarnya dengan sepucuk pistol warna perak tanpa peluru, sesuai dengan janji Sumartin.
Namun, belum sempat tim Sutikno beraksi, tiga lelaki itu bergerak cepat dan menghilang dengan dua sepeda motor. Akhirnya, Sutikno memimpin anak buahnya mengepung kediaman Sumartin di rumahnya di Koja, Jakarta Utara.
Makelar senjata api itu bisa ditangkap. Dari tangan Sumartin disita uang tunai Rp 1,4 juta. ”Ini hasil komisi dari jualan pistol,” katanya. Dari Sumartin diketahui dua temannya tadi adalah tentara. Salah satunya adalah Muhammad Rahmat Jauhari, anggota Kesatuan Artileri Pertanahan Udara Tanjung Priok. Dia berpangkat prajurit satu. Sehari-hari Rahmat nyambi menjaga gudang Bogasari. Yang satu lagi bernama Tommy. Dia mengaku sebagai anggota Komando Strategi Cadangan Angkatan Darat.
Tak sudi dijerat sendirian, Sumartin bersedia membantu polisi. Ia pun mengatur transaksi berikutnya untuk menjebak Rahmat dan Tommy. Mereka sepakat untuk bertemu hari itu juga sekitar pukul 16.00 WIB di depan gedung Bogasari, Jalan Sanggar Bahari, Jakarta Utara. Ke kawasan ini pula 15 anggota reserse datang. Semuanya menyamar. Ada yang berpura-pura mobilnya mogok, ada yang lalu-lalang saja.
Polisi menyuruh Sumartin berdiri dekat gedung Bogasari agar Rahmat tak curiga. Di tengah keramaian, Rahmat pun muncul, sendirian—Tommy tak ikut bersamanya. Ketika polisi menggerebeknya, Rahmat berusaha mencabut pistol, tapi Sutikno lebih gesit. Dia lebih dulu menodongkan pistolnya ke perut Rahmat. Sejumlah polisi yang lain mengepungnya.
Rahmat akhirnya menyerah. Sepucuk pistol dari jenis Beretta berwarna hitam disita dari tangannya. Hari itu juga, Rahmat dan Sumartin digiring ke Polres Jakarta Utara. Selanjutnya, Rahmat diserahkan Pomdam Jaya.
Ditahan di sel Polres Jakarta Utara Blok C1, Sumartin bungkam saat ditanya soal sumber senjata api yang dijualnya. Dia pun tak mau mengungkap lagi soal dua peti pistol yang sempat dia ceritakan kepada Sandra. Sumartin menunjuk Rahmat sebagai orang yang tahu banyak tentang peredaran senjata api di pasar gelap.
Sumartin juga pasrah saja mendapat ancaman hukuman 20 tahun penjara karena melanggar Undang-Undang Darurat Tahun 1951. ”Ya, mau bagaimana lagi, terima sajalah,” katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Dia tak merasa malu dengan perbuatannya. ”Karena saya ditangkap bukan karena maling atau pemerkosa,” ujarnya sambil tertawa.
Ayah tiga anak itu mengaku kenal dengan Rahmat karena sering nongkrong di sekitar pabrik Bogasari. Karena sering kongko dan minum bersama, dia pun diajak Rahmat mencari pembeli pistol. ”Kalau ada yang mau beli beceng (pistol), ngomong sama saya,” kata Rahmat saat itu.
Anehnya, Rahmat juga mengaku hanya sebagai perantara. ”Dia ngakunya bukan penjual,” kata Komandan Pomdam Jaya Kolonel Iran Saefudin kepada Tempo. Rahmat lalu menunjuk Tommy sebagai orang yang menyuruhnya mencari pembeli pistol. Komisinya sama dengan Rahmat, Rp 1,4 juta untuk setiap pucuk pistol yang laku.
Apa pun peran Rahmat, Iran Saefudin tetap menilai anak buahnya bersalah. Apalagi dia seorang tentara. ”Mestinya dia melapor, bukan malah bersekongkol,” katanya.
Kini kepolisian dan Pomdam Jaya terus mengejar Tommy. Apalagi, informasi yang diperoleh dari Sumartin ada dua peti pistol lagi yang siap edar. Pistol ilegal itu dipastikan bakal jatuh ke tangan orang jahat, perampok, atau masyarakat sipil di daerah konflik.
Menurut penelusuran Tempo, senjata api selundupan biasanya masuk lewat sejumlah pelabuhan di Indonesia. Seorang anggota DPR RI menunjuk Tanjung Priok sebagai salah satu tempat favorit penyelundup senjata api.
Kawasan lain yang rawan penyelundupan senjata api adalah perairan Riau. Senjata api yang masuk umumnya berasal dari Thailand dan Vietnam. Hal ini tidak dibantah oleh juru bicara Kepolisian Daerah Riau, Ajun Komisaris Besar Polisi Amien Rachimsyah. Dia menganggap wajar jika wilayahnya dicurigai rawan penyelundupan pistol. ”Soalnya kawasan ini berbatasan langsung dengan negara lain,” kata Amien kepada Jupernalis Samosir dari Tempo.
Bukan hanya melalui jalur laut, sindikat perdagangan senjata api juga kerap menyelundupkannya lewat perbatasan Kalimantan. Di sini pistol selundupan umumnya ditenteng oleh tauke kayu ilegal.
Maka, jangan heran jika belakangan banyak perampok yang beraksi dengan senjata api. Bahkan dalam sehari, Kamis pekan lalu, terjadi dua kali perampokan bersenjata api di Jakarta. Sekelompok perampok yang semuanya menggenggam pistol jenis FN beraksi di kantor Pegadaian Cabang Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta Timur. Mereka merampas uang dan perhiasan senilai Rp 2 miliar.
Satu kelompok lagi beraksi di rumah Yohanes, warga Jalan Mangga, Kelurahan Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Perampok merampas uang dan perhiasan senilai Rp 350 juta.
Menurut Kepala Kepolisian Sektor Jagakarsa, Jakarta Selatan, Komisaris Polisi Roma Hutajulu mengatakan, perampok biasanya memperoleh senjata di pasar gelap. Mereka memakai senjata api untuk meningkatkan gengsi antara sesama penjahat.
Mula-mula beraksi memakai celurit; setelah mengumpulkan banyak uang, mereka membeli pistol. Namun, bukan perkara gampang untuk menelusuri asal-usul senjata penjahat. ”Para pengedar umumnya menggunakan sel yang tertutup,” kata Roma.
Nurlis E. Meuko, Mustafa Moses, Eni Saeni, Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo