Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Saban Natal, kue menjadi masalah besar di Jepang. Mulai bulan November, toko roti, hotel, restoran, department store, supermarket, dan toko serba ada mengumumkan daftar kue-kue mereka terjual habis jauh sebelum liburan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Desember terutama pada perayaan Natal, menukil dari Atlas Obscura, kue mencapai puncak penawaran rasa dan permintaan. Di etalase dan brosur digital pâtissiers dan chocolatier dengan brand internasional seperti Pierre Hermé, Frédéric Cassel, dan Jean-Paul Hévin menawarkan kreasi mereka khusus untuk pasar Jepang, seperti Sadaharu Aoki dan Hironobu Tsujiguchi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bahkan rantai makanan cepat saji masuk pasar kue Natal. KFC selalu menawarkan kue spesial — kue tiramisu triple-berry untuk 2019 — sepaket dengan seember ayam gorengnya. Lalu Baskin-Robbins, yang dikenal sebagai 31 macam es krimnya, menyajikan kue es krim yang tidak akan pernah mereka tawarkan untuk pasar Amerika Serikat.
Kue Natal Jepang sangat berbeda dibanding dengan permen tradisional sejenis di Eropa dan Amerika. Kue Natal klasik di Jepang adalah strawberry shortcake, kreasi spons halus nan ringan, dan krim chantilly atau krim kocok.
Meskipun Natal dirayakan dengan antusias di Jepang, tapi akhir Desember bukanlah musim libur. Sebagian besar bisnis tetap buka, dan angkutan umum berjalan pada jam reguler. Jepang modern adalah negara yang sebagian besar sekuler, meskipun Shinto dan Buddhisme merupakan agama resmi negara. Menurut statistik yang diterbitkan oleh Badan Urusan Budaya Jepang, pada 2017 hanya ada 1,9 juta orang Kristen di Jepang.
Kue stroberi kontemporer klasik dari rantai minimarket Lawson berharga 2.980 hingga 4.600 yen (US $ 27- $ 46), tergantung pada ukurannya. Foto: Lawson
Agama Kristen dibawa ke Jepang oleh misionaris Portugis dan Spanyol, kemudian dilarang pada abad ke-17 oleh keshogunan Tokugawa, yang dianggap sebagai infiltrasi pengaruh Eropa dan ancaman terhadap keamanan nasional. Namun setelah pemerintah Amerika, yang diwakili oleh Komodor Matthew Perry, dan mengakhiri masa isolasi Jepang yang panjang pada tahun 1853, pemerintah Meiji menganggap adaptasi adat Eropa sebagai hal penting bagi Jepang untuk dianggap sebagai negara modern.
Para administrator secara aktif mendorong masyarakat untuk mengenakan pakaian gaya barat dan rambut ditata ala Barat, makan daging, dan bahkan menerapkan kalender Gregorian. Dorongan kuat menjadi bagian negara dunia itu, tak diikuti keinginan menjadikan Natal agama negara. Tapi, surat kabar dan majalah abad ke-19, mempromosikan pohon dan jamuan Natal sebagai gaya hidup modern yang patut dicoba. Media menyebarkan gambar-gambar Santa Claus, tetapi tidak jelas simbol-simbol Kristen mengenai Natal tersebut. Intinya, Natal benar-benar sekuler sejak awal.
Penulis Essayist, Kenichiro Horii, dengan provokatif menulis buku berjudul “The Merry Christmas of Love and Raves: How a Festival From a Foreign Culture Became Japanized,” menulis bahwa Natal benar-benar lepas landas di Jepang setelah Perang Rusia-Jepang 1904. Disulut semangat kemenangan Jepang atas kekuatan barat, Jepang secara keseluruhan menjadi lebih terbuka untuk adat istiadat atau budaya asing.
Menurut Horii, "pada masa-masa awal itu, Natal di Jepang adalah hari libur untuk orang dewasa, alasan untuk mengadakan pesta-pesta penuh gaya, daripada kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga dan anak-anak seperti di kebanyakan negara Kristen barat."
Sejarah kue Natal di Jepang dimulai pada hari-hari masa Meiji yang memudar. Pada tahun 1910, Fujiya, toko kue bergaya Eropa di kota pelabuhan Tokyo, Yokohama, memperkenalkan apa yang secara luas dianggap sebagai kue Natal Jepang pertama.
Menurut perwakilan dari departemen Humas Fujiya, "Dasar kue Jepang adalah kue buah yang kaya dengan aroma minuman liker (liquor)" dalam gaya Eropa. Tetapi tukang roti menganggap penampilannya yang cokelat polos tidak cukup menarik, sehingga mereka menghiasinya dengan lapisan gula putih salju, lengkap dengan pohon Natal kecil.
Kue 'Atarayo' kreasi dari Cerulean Tokyu Hotel di Shibuya, Tokyo, berupa cangkang telur dari coklat putih dengan hiasan Santa dan rusa kutub yang terbang melintasi langit. Isinya berupa zuccotto (kue semi-beku Italia) ditutupi dengan krim keju. Foto: Hotel Tokyu Curelean
Selama dekade berikutnya, tukang roti di seluruh negeri menghias kue Natal mereka dengan stroberi – meskipun Desember adalah musim buah stroberi – tetap saja kue-kue itu dijual mahal untuk melayani segmen orang kaya.
Selama Perang Dunia II, kebiasaan Barat makin disukai, sehingga Natal yang pada dasarnya dilarang, justru mulai menggeliat pada 1947. Pasukan Amerika yang menduduki Jepang yang kembali mendorong perayaan Natal. Kue stroberi seperti yang kita kenal sekarang, dengan basis kue bolu yang lembut, stroberi segar, dan krim kocok, baru muncul pada akhir 1950-an.
Ketika Jepang meninggalkan periode pascaperang yang penuh kemiskinan dan menjadi lebih makmur, orang-orang Jepang dengan cepat mengadopsi lemari es bersama dengan televisi hitam-putih dan mesin cuci. Tiga benda awal abad 20 itu dijuluki sebagai "Tiga Harta Karun." Dengan kulkas, halus whipped-cream dan strawberry shortcake stroberi segar dapat disimpan selama satu hari atau lebih.
Ketika Jepang memasuki periode Keajaiban Ekonomi pada akhir 1960-an hingga 1970-an, roti dan kue-kue gaya barat menjadi lebih populer. Sementara kue stroberi terus populer, hidangan penutup Natal terus hadir dengan beragam kreasinya: kue gulung Swiss, Mont Blanc (dibuat dengan krim kastanye dan krim kocok), atau kue tar buah ukuran kecil. Kue Natal di Jepang mengutamakan keanggunan terutama, karena Malam Natal di Jepang dianggap sebagai saat yang romantis.
Selama beberapa tahun terakhir, para pemain besar di pasar kue Natal adalah chain toko serba ada nasional: 7-Eleven, FamilyMart, dan Lawson semuanya menawarkan kue yang indah dan sangat lezat dengan harga yang relatif wajar, dengan tambahan kenyamanan memesan ayam goreng atau panggang dan makanan pesta lainnya pada saat bersamaan.
The Renne (‘rusa kutub’ dalam bahasa Prancis) kue dari Palace Hotel Tokyo ditutup dengan kerucut pahatan tinggi yang menggambarkan tanduk rusa. Di dalamnya terdapat lebih dari 100 stroberi utuh. Foto: Palace Hotel Tokyo
Anda bahkan dapat memesan kue Natal beku dari Amazon dan pedagang online lainnya. Dan sementara strawberry shortcake tetap menjadi satu-satunya kue Natal untuk banyak orang, sekarang ada banyak pilihan yang membingungkan. Karena pasar kue Natal di Jepang semakin kompetitif, harga kue Natal tradisional Eropa seperti stollen Jerman, panettone Italia, dan bûche de noël Prancis menjadi lebih populer dari sebelumnya.
Saat Natal, hampir semua jenis kue disukai oleh warga Jepang, asalkan enak, menyenangkan, dan meriah.