Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diana—bukan nama sebenarnya—termasuk orang yang jarang sakit, bahkan sejak kecil. Tapi entah kenapa, mulai dua tahun lalu, ketika usianya menginjak 33 tahun, tubuhnya jadi ringkih. Diana terkadang terserang sakit kepala, susah tidur (insomnia), atau lambungnya bermasalah. Bolak-balik ke rumah sakit, anehnya hasil tes kesehatan menunjukkan kondisinya baik-baik saja. Tekanan darahnya pun normal. Diana akhirnya cuma bisa pasrah.
Pada awal April 2007, masalah lain muncul. Dia merasa ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya, sehingga Diana susah menelan. Takut ada tumor di tenggorokannya, segera dia berobat ke dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). Lagi-lagi, hasilnya mengejutkan. Tidak ada benjolan sekecil apa pun, dan tidak ada yang salah pada tenggorokannya. Dokter THT malah merujuk Diana pergi ke psikiater.
Di situlah misteri tubuh Diana terkuak. ”Dari hasil wawancara, baru diketahui bahwa semua gangguan itu muncul akibat di bawah alam sadarnya dia memendam perasaan bersalah,” tutur Ika Sri Nurtantri, psikiater dari Sanatorium Dharmawangsa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Menurut Ika, yang menangani Diana, selama enam tahun usia pernikahannya, Diana menyimpan rahasia. Baru setahun menikah, Diana tergoda oleh pria lain yang tak lain adalah kakak iparnya sendiri. Akibatnya, selain cemas takut ketahuan, Diana juga sering merasa bersalah pada suaminya dan anak semata wayangnya. ”Perasaan itu tanpa disadari membuatnya depresi,” kata Ika.
Kepala Rawat Inap Bagian Psikiatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Richard Budiman, mengatakan bahwa mayoritas penderita depresi awalnya memang mengeluhkan gangguan fisik. Yang paling sering adalah sakit kepala, susah tidur, dan nyeri lambung. ”Karena kelihatan fisiknya yang terganggu, jadi keluhan itu saja yang diobati,” kata dokter spesialis penyakit jiwa ini dalam seminar Aksi Ganda Terapi Depresi untuk Tata Laksana Pasien di Indonesia, yang digelar di Jakarta, Selasa pekan lalu.
Ibarat penyelinap, depresi memang sulit dideteksi, apalagi bagi penderita penyakit kronis seperti diabetes, stroke, dan kanker. Biasanya butuh waktu lama sebelum memastikan bahwa penderita penyakit seperti itu juga terkena depresi. Kecurigaan adanya depresi biasanya baru muncul setelah obat yang digunakan tak juga mempan mengenyahkan keluhan fisik. Untuk kasus Diana, misalnya, butuh dua tahun hingga dia datang ke psikiater.
Yang lebih berbahaya, depresi masih sering dianggap sebagai bentuk kesedihan biasa yang normal dalam kehidupan sehari-hari. ”Depresi tidak dilihat sebagai suatu penyakit, tapi lebih pada kelemahan kepribadian,” kata Richard, yang juga Direktur Medik Sanatorium Dharmawangsa ini. Padahal depresi telah menjadi beban kesehatan masyarakat global yang sangat serius.
Saat ini depresi menduduki posisi penyakit penyebab ketidakmampuan (disabilitas) keempat setelah jantung, kanker, dan stroke. Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahkan meramalkan pada 2020 posisinya bakal menjadi yang kedua, setelah jantung. Dan khusus untuk perempuan di negara berkembang, depresi menjadi masalah kesehatan utama. Perempuan memang dua kali lebih rentan terserang depresi. Toh, di sini perhatian terhadap gangguan kejiwaan ini masih minim.
Irmansyah, spesialis kesehatan jiwa dari FKUI/RSCM, mengatakan bahwa minimnya perhatian terhadap depresi menjadi pendorong terus meningkatnya jumlah penderita depresi di Indonesia. Menurut dia, selain akibat penyakit kronis, depresi di Indonesia lebih banyak disebabkan tekanan ekonomi akibat krisis moneter beberapa tahun silam. ”Sampai sekarang belum ada data pasti tentang jumlah penderita depresi di Indonesia, tapi diperkirakan jumlahnya mencapai 20-30 persen dari jumlah penduduk,” katanya. Kalau angka itu benar, kini minimal ada 40 juta orang yang terkena depresi.
Masih menurut Irmansyah, walaupun istilah depresi tergolong populer, tidak semua orang memahami apa sebenarnya depresi. Dia menuturkan, depresi adalah sejenis penyakit jiwa yang ditandai oleh gejala seperti merasa sedih, cemas, dan gagal (lihat boks Depresikah Anda?).
Adapun penyebabnya secara pasti belum diketahui. Tapi, menurut beberapa penelitian, faktor genetis (keturunan), biologis seperti pengaruh hormon, neurotransmitter, atau zat kimia dalam otak (lihat infografik Bagaimana Depresi Terjadi?) sangat berperan. Demikian juga dengan kepribadian. Orang perfeksionis, pemalu, sensitif, dan pencemas lebih rentan mengalami depresi. Tak kalah penting adalah faktor psikososial, seperti kehilangan orang yang dicintai, tekanan ekonomi, konflik antarpersonal, bencana alam, dan pola asuh penuh yang ketat.
Kalaupun seseorang sadar terkena depresi, belum tentu dia mengungkapkannya kepada orang lain. Maklum, sampai sekarang masyarakat masih sering menganggap gangguan jiwa sebagai sesuatu yang memalukan. ”Kalau orang disebut mengalami gangguan jiwa, konotasinya sudah negatif. Tidak ada empati. Itu yang membuat orang tidak mau mengakuinya,” kata Irmansyah, yang juga Kepala Departemen Psikiatri FKUI/RSCM.
Stigma negatif seperti itu membuat depresi ibarat fenomena gunung es. Dokter Ika mengatakan, lebih dari 30 persen kasus depresi tidak terdeteksi, dan lebih dari 40 persen kasus tidak tertangani. Padahal, seperti halnya penyakit lain, semakin cepat depresi terdeteksi, semakin mudah diatasi. ”Untuk yang ringan, cukup dengan konseling, meditasi, ataupun yoga,” katanya. Tapi, untuk yang sedang dan berat, harus ditambah dengan obat antidepresi seperti Venlafaxine HCL. Tujuan pemberian obat ini bukan cuma menyembuhkan melainkan juga mencegah kekambuhan.
Itu pula yang tengah dijalani Diana sekarang. Setiap hari dia harus minum obat antidepresi. Dia juga rutin berkonsultasi mencurahkan segala masalahnya. Kata Ika, kondisi Diana sudah mulai membaik. Perasaan sedih dan insomnianya sudah hilang. Meski membaik, bukan berarti Diana berhenti berselingkuh. Menurut Ika, dia bimbang memutuskannya.
Nunuy Nurhayati
Bagaimana Depresi Terjadi?
Penyebab depresi sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Tapi ada dugaan disebabkan oleh gangguan keseimbangan neurotransmitter atau zat kimia dalam otak yang berfungsi sebagai penghubung dan penyampai pesan untuk bagian tubuh lain, mulai dari rasa panas, dingin, bergerak, hingga reaksi emosional yang lebih rumit.
- Depresi terjadi karena berkurangnya sejumlah neuron (pengantar impuls pada sistem saraf) maupun neurotransmitter (zat kimia yang berperan dalam pengantaran impuls sistem saraf) di otak.
- Zat kimia otak yang paling berpengaruh pada depresi adalah serotonin dan norepinefrin. Masing-masing dihasilkan oleh sel serotoninergik dan noradrenergik, yang terletak di batang otak.
- Serotonin berperan merangsang rasa kantuk dan relaksasi serta memiliki efek meredakan rasa sakit. Dia juga sebagai modulator kapasitas kerja otak, termasuk juga regulasi stabilitas emosi, daya tangkap, dan regulasi selera makan. Norepinefrin bertanggung jawab terhadap adanya rasa gembira.
- Ketidakseimbangan kedua zat kimia di otak ini bisa mengganggu sistem limbik, yaitu sistem yang berfungsi mengatur keseimbangan emosi dan fisik.
- Sistem limbik yang berada di bagian tengah otak terdiri dari dua jalur: sirkuit limbik talamik-kortikal dan sirkuit limbik-striatal-palidal-talamik-kortikal. Ketidakseimbangan neurotransmitter pada kedua sirkuit ini menyebabkan terganggunya pola persepsi dan emosi.
- Bagian otak yang juga terganggu adalah hipotalamus, yang berperan dalam pengaturan suhu badan, pola tidur, rasa lapar, libido, reaksi stres, dan reproduksi.
Depresikah Anda?
Depresi mempunyai beberapa gejala psikis, misalnya merasa sedih dan gagal, seperti tertera pada daftar pertanyaan di bawah ini. Jika Anda menjawab “ya” untuk dua dari tiga pertanyaan teratas di bawah ini, dan gejala tersebut berlangsung dalam jangka lebih dari dua minggu, artinya Anda sudah mengalami depresi ringan dan harus memeriksakan diri ke psikiater.
Cobalah Anda menguji diri sendiri dengan menjawab 10 pertanyaan di bawah ini.
- Apakah Anda merasa sedih atau murung?
- Apakah Anda kehilangan minat atau rasa senang terhadap hal-hal yang dulunya Anda sukai?
- Apakah Anda merasa tenaga Anda menurun dan/atau lelah sepanjang waktu?
- Apakah Anda mengalami masalah tidur, susah tidur, atau bangun jauh lebih awal dari sebelumnya atau sebaliknya, tidur jadi berlebihan?
- Apakah Anda kehilangan nafsu makan atau makan lebih dari biasanya?
- Apakah Anda sulit berkonsentrasi?
- Apakah Anda menjadi lambat dalam berpikir atau ketika beraktivitas?
- Apakah minat seksual Anda kurang?
- Apakah Anda merasa negatif terhadap diri sendiri dan sering merasa bersalah?
- Apakah Anda berpikir tentang kematian?
Bagaimana Menolong Diri Sendiri Bila Depresi?
Buatlah tujuan yang realistis dan ambillah besaran tanggung jawab yang masuk akal.
- Bagilah tugas besar ke dalam pecahan-pecahan kecil, buatlah prioritas, dan kerjakan apa yang Anda bisa semampunya.
- Mencoba bergaul dengan orang lain, percaya kepada orang lain. Ini lebih baik ketimbang menyendiri dan bersikap tertutup.
- Berpartisipasi pada kegiatan yang membuat Anda merasa lebih baik.
- Berolahraga ringan, pergi menonton film, ikut dalam kegiatan keagamaan, atau aktivitas lain yang mungkin menolong.
- Pahamilah bahwa mood Anda akan membaik secara perlahan, bukan seketika.
- Dianjurkan untuk menunda membuat keputusan besar dan penting hingga depresi berlalu.
- Orang sangat jarang mampu “menyelinap keluar” dari depresi. Perasaan nyaman hanya bisa didapat secara bertahap.
- Berusaha berpikir positif.
- Biarkan keluarga dan teman-teman membantu Anda.
Sumber: PsychCentral
Fakta Tentang Depresi
- Kemungkinan seseorang mengalami depresi sekitar 17 persen.
- Depresi muncul 2-10 kali lebih tinggi pada seorang anak dari orang tua yang menderita depresi. Bahkan ketika si anak diasuh oleh orang tua yang tidak menderita depresi.
- Pada penderita stroke, depresi merupakan gangguan emosi yang paling sering ditemukan, yakni sekitar 47 persen.
- Jumlah penderita depresi perempuan dua kali lebih besar dibanding laki-laki.
- Sekitar 15 persen penderita depresi pernah melakukan usaha bunuh diri.
- Walaupun deperesi sering terjadi pada perempuan, kejadian bunuh diri lebih sering pada laki-laki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo