Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia Siti Fadilah Supari. Sebelum menjadi dokter seperti sekarang, ia ingin menjadi insinyur. Mungkin karena karakternya yang rada tomboy, Siti membayangkan dunia teknik, dunia maskulin, yang memukau.
Siti Fadilah Supari, kini 58 tahun, masa kecilnya dihabiskan di Solo. Ia bercerita tentang pengalamannya bermain di rel-rel kereta api yang melintasi Bengawan Solo. Ia bergerak dari rel ke rel, menunggu kereta mendekatinya, lantas menghindar sebelum kereta menghantamnya.
Kini ia ahli jantung, kemudian menteri kesehatan dalam kabinet Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Ya, ia orang yang paling bertanggung jawab atas penanganan aneka masalah kesehatan di negeri ini—dari pelayanan masyarakat hingga penanganan flu burung. Ia terbang ke Jenewa, meyakinkan orang akan yang selama ini diyakininya dalam penanganan flu burung. Sejak akhir tahun lalu, Siti tidak bisa terima cara badan kesehatan dunia, WHO, menangani flu burung.
WHO meminta contoh virus dari semua negara berkembang dan terkena outbreak influenza, tapi negara-negara ini sama sekali tak berhak tahu virusnya mau diapakan. Mekanisme inilah yang diprotes Siti, dan berhasil diubah.
Bulan lalu, di Jenewa, sidang Dewan Kesehatan Dunia (WHA) di Jenewa mengeluarkan resolusi yang mendukung pendapatnya: perlu keadilan, transparansi dalam mekanisme pertukaran virus influenza. Resolusi diketuk 23 Mei lalu dalam pleno yang dihadiri 193 negara anggota.
Selasa dua pekan lalu, ia menerima Dwi Wiyana, Faisal Assegaf, dan fotografer Bismo Agung dari Tempo di kantornya. Nadanya kritis, bicaranya ceplas-ceplos. Berikut petikan wawancara dengan executive board WHO periode 2007–2010 ini:
Usulan Indonesia tentang mekanisme pertukaran virus yang transparan dan adil akhirnya menjadi resolusi Sidang Pleno Dewan Kesehatan Dunia. Bagaimana ceritanya awalnya?
Pada November 2006, saya kedatangan David Heymann dari WHO (Asisten Direktur Jenderal untuk Penyakit Menular WHO—Red.) Dia menyampaikan satu kebijakan WHO, yakni dunia sangat membutuhkan seasonal flu vaccine (vaksin influenza biasa). Maka, semua yang mempunyai kapasitas membuat vaksin harus membuat vaksin tersebut. Saya tolak karena nggak butuh vaksin flu itu. Wong rakyatku kerokan saja sembuh, kok!
Saya katakan, yang dibutuhkan adalah vaksin H5N1, bukan seasonal flu. Dia bilang nggak boleh, kan ini kebutuhan dunia. Dan, kita mau dikasih uang—sekarang sudah dikasih, tapi saya tetap akan kembangkan vaksin H5N1 saja. Saya katakan, ”Oke deh kalau you punya kebijakan, saya nggak usah ikut. Saya maunya bikin vaksin H5N1.” WHO kok aneh-aneh. Badan ini betul-betul tidak transparan dan tidak fair.
Maksud Anda?
Kalau hal seperti itu diterus-teruskan, kok enak ya jadi negara kaya. Kalau si miskin di negara miskin atau berkembang sakit, muncullah keuntungan di negara kaya. Sebab, mereka punya kapasitas membuat vaksin untuk membuat diagnostic test dan segala macam. Kalau si miskin tambah sakit, dia tambah kaya. Kira-kira, dalam keadaan seperti itu, mungkin nggak terjadi ”Kalau begitu, dibikin saja si miskin semakin sakit, supaya yang ini semakin kaya.” Ini berbahaya. Sebab, kesenjangan akan bertambah lebar. Dan, yang cilaka, kalau kita yang menjadi sasaran. Sebab, Indonesia paling banyak penduduknya….
Apalagi yang Anda sampaikan pada Heymann?
Saya bilang, kalau mau buat vaksin kita diajak-ajak dong! Lo, itu kan bukan virus kamu, tapi sudah virus kita (WHO). Wah, sudah deh, gawat! Stop saja, nggak usah kirim virus ke WHO. Jadi, stop kita adalah protes karena WHO tidak adil terhadap negara yang terkena. Akhirnya, gegerlah dunia pada waktu kiriman virus kita stop, mulai Desember 2006.
Karena penghentian itu, terjadilah polemik di dunia. Di situ, ada suatu proses ketidakpuasan dari negara yang diperlakukan tidak adil. Ini sudah jarang terjadi: negara lemah yang diinjak sampai pendeng, ya, tetap diam saja karena sudah tak punya daya lagi untuk melawan. Sekarang saya punya daya, yaitu virus. Maka, saya akan berteriak bahwa ada ketidakadilan di dunia ini. Dan, mulai saat itu, kita konsisten untuk tidak mengirim virus ke WHO.
Apa yang terjadi kemudian?
Akhirnya, datanglah rombongan WHO kemari untuk negosiasi. Sampai tujuh jam berlangsung, dan deadlock karena dua hal yang sangat tidak bisa ketemu. Ya, saya akan berikan virusku padamu, tapi tolong dong ditulis untuk apa virus ini kamu ambil. Kalau untuk assessment, monggo, tapi jangan kamu berikan pada perusahaan untuk dibuat vaksin. Kalau untuk dibuat vaksin, ajaklah kami untuk negosiasi. WHO tak mau, pokoknya serahkan virusmu padaku. Ya, deadlock, mboten kemawon, sampai di situ.
Kemudian, WHO menawarkan agar negara-negara yang sedang berkembang membuat konsensus, ”Apa maunya?’ Lalu, diadakanlah high level technical meeting dan high level meeting pada 26–28 Maret 2007, dan lahirlah Deklarasi Jakarta. Tampaknya, jeritan ketidakadilan yang bersumber dari Departemen Kesehatan mendapat dukungan signifikan. Selain dari media massa internasional, juga dari negara-negara yang sedang berkembang dan terkena (flu burung).
Selanjutnya, Deklarasi Jakarta akan kita jadikan suatu resolusi yang dimasukkan dalam Sidang WHA. Bila masuk menjadi resolusi, maka WHO harus menurut pada WHA. Dengan perjuangan yang berat, akhirnya resolusi itu diterima. Perjuangan yang sangat luar biasa karena kita menghadapi usul Amerika Serikat langsung, head to head….
Apa usul Amerika Serikat?
Amerika ingin agar aturan yang sudah 50 tahun established tidak diubah-ubah. Sementara Indonesia minta harus berubah, ya, nggak bisa ketemu. Akhirnya, yang mengatakan tidak harus diubah, ketendang. Jadi, tinggal paper Indonesia saja. Kita didukung 24 negara dari 193 negara. Lainnya abstain karena tidak terkena flu burung. Itu jumlah dukungan yang besar sekali. Sebab, Amerika tak didukung satu pun.
Intinya, Indonesia berhasil mengubah aturan atau regulasi dari organisasi global WHO: aturan yang sudah established, yang tidak adil dan transparan, yang merugikan negara yang sedang berkembang.…
Seperti apa perubahan yang terjadi?
Tunggu tanggal mainnya. Pada Oktober 2007 akan ada Inter-Governmental Meeting. Ini juga baru pertama kali diadakan.
Bisa disebutkan gambaran besarnya?
Poin-poinnya, harga ditentukan bersama-sama, jangan sampai negara miskin tidak bisa mendapatkannya. Distribusi harus berdasar membership need (kebutuhan negara), apakah negara itu butuh vaksin lebih dulu atau tidak. Jadi, bukan berdasar karena negara itu punya uang. Ada transfer teknologi dan pengetahuan ke negara affected country, terutama yang miskin. Tidak boleh dipatenkan, stock pilling adalah public good. WHO mengurus stock pilling, tapi tidak mengurus komersialisasi vaksin.
Masih berkait dengan pengadaan vaksin flu burung, bagaimana kelanjutan kerja sama Indonesia dengan Baxter Healthcare SA—perusahaan farmasi asal Amerika Serikat?
Juli ini kita akan adakan uji klinis fase 3. Selain itu, kita juga sudah siap dengan early detection kits, yang belum pernah ada di dunia. Alat ini bisa mendiagnosis pasien flu burung pada hari pertama, bukan setelah hari ketiga seperti rapid diagnostic test. Kalau soal cara kerjanya, rahasia. Kalau terlalu detail, nanti perusahaan lain langsung menirunya….
Di luar urusan flu burung, Anda berulang kali melansir kebijakan yang sempat menimbulkan polemik, seperti pembatasan praktek dokter, apotek rakyat, obat murah.…
Nanti kita akan meluncurkan program Jaminan Kesehatan Nasional. Ini ditujukan untuk orang-orang yang tidak miskin, tapi kalau sakit sedikit jadi miskin. Kalau untuk orang miskin kan ada Askeskin. Nah, kita sedang mengonsep bagaimana caranya menarik premi, misalnya dengan membuat semacam kartu kredit yang harganya berlaku satu tahun. Misalnya, Rp 10 ribu, dan kartu itu bisa dipakai untuk berobat ke mana-mana. Kalau sudah setahun habis sendiri, tak bisa diceklek lagi. Tiap tahun warnanya berubah…. Ini belum muncul, masih angan-angan, sedang kita kembangkan konsepnya yang menyeluruh.
Dengan berbagai program itu, apa visi Anda 10 tahun ke depan?
Membuat masyarakat mandiri untuk hidup sehat, dan semua sudah terasuransikan. Dengan asuransi tersebut, terjadi standardisasi pelayanan dan tarif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo