Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Waspadai Perut Gendut

Lemak di perut lebih berbahaya ketimbang di bagian tubuh lainnya. Memicu jantung koroner dan diabetes melitus.

11 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nely Widjaja dengan bangga memamerkan foto ulang tahunnya ke-30. Pada lembaran berukuran 3R itu, tampak seorang gadis berbadan subur dengan sepasang pipi gembil tersenyum sumringah. Tangannya siap memotong kue tar yang penuh hiasan gula dan krim. ”Ini foto ulang tahun dua tahun silam,” kata Nely.

Karyawati sebuah perusahaan elektronik itu bukan bangga dengan postur dia di dalam foto ketika berat tubuhnya 150 kilogram. Nely, yang montok sejak kecil, ingin memamerkan keadaannya sekarang: berat badannya turun hingga 65 kilogram. Dengan tinggi badan 171 sentimeter, Nely bisa mewujudkan impiannya mengenakan celana jins ketat. Dia juga tidak lagi ngos-ngosan dan cepat lelah jika berjalan.

Yang lebih membuat dia percaya diri, semua itu tidak didapatkan secara instan seperti lewat operasi atau sedot lemak. ”Metamorfosis” bentuk tubuhnya dia capai dengan kerja keras, termasuk pulang-pergi ke kantor berjalan kaki hingga lecet-lecet, dan menghindari makanan berlemak. Dia juga rajin bertanya ke ahli gizi. Nely layak diacungi jempol. Dia berhasil terhindar dari obesitas dan semua penyakit yang mengikutinya.

Sayangnya, tak semua orang berkemauan sekeras dia. Fakta malah menunjukkan, jumlah orang yang kelebihan berat badan terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan sejak 1998 Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mendeklarasikan obesitas sebagai satu epidemik global dan masalah kesehatan serius.

Berdasarkan penelitian terakhir Himpunan Studi Obesitas Indonesia (Hisobi) pada 2004, tingkat obesitas laki-laki dan perempuan hampir sama tinggi. Dari 6.751 responden di sembilan kota besar Indonesia, angka kejadian obesitas pria mencapai 48,5 persen dan wanita 40,4 persen. ”Sekarang bisa jadi lebih besar,” kata Gatut Semiardji, pakar endokrinologi dari FKUI/RSCM, dalam seminar tentang lingkar pinggang dan kesehatan, di Jakarta, dua pekan lalu.

Obesitas, menurut Gatut, adalah penumpukan lemak berlebihan di jaringan adiposit (sel lemak). Keadaan ini timbul akibat pengaturan makan yang tidak baik, gaya hidup kurang gerak, dan faktor keturunan (genetis). Selama ini obesitas ditentukan berdasarkan berat badan dan indeks massa tubuh (berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat).

Kini patokan tersebut sudah out of date. Indeks massa tubuh tidak mencerminkan distribusi timbunan lemak di tubuh. Padahal, menurut Gatut, timbunan lemak di rongga perut lebih berbahaya ketimbang di daerah lain seperti pinggul, paha, dan pantat. Gatut mengutip hasil penelitian ilmuwan Prancis, Xavier Jouven, yang meneliti 7.000 polisi Prancis yang meninggal pada 1967-1984 akibat serangan jantung. Hasilnya menunjukkan bahwa pria berperut tambun berkemungkinan meninggal lebih cepat.

Dari penelitian itu juga terungkap, orang dengan indeks massa tubuh yang besar (di atas 23) tidak berisiko mati muda kecuali memiliki lingkar pinggang besar. ”Jadi hati-hati buat pemilik perut gendut,” katanya.

Sebagai patokan, lingkar pinggang wanita tak boleh lebih dari 80 sentimeter, dan pria maksimal 90 sentimeter. Lebih dari itu, orang berperut gendut rawan terkena sindrom metabolik—gejala yang mengarah pada timbulnya penyakit jantung koroner dan diabetes melitus (lihat infografik Bahaya Perut Gendut).

Menurut Ketua Program Studi Biomedik Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar, Andi Wijaya, tumpukan lemak di rongga perut lebih berbahaya karena ukuran selnya lebih besar daripada lemak di bagian tubuh lain. Ini terungkap lewat sejumlah penelitian di bidang adiposcience, ilmu yang mempelajari mekanisme molekuler para penyandang obesitas.

Adiposience, kata Andi, adalah bidang ilmu baru yang menarik perhatian ilmuwan di seluruh dunia dalam satu dasawarsa terakhir. Di Indonesia, baru setahun belakangan ilmu ini dikaji. Agar penelitian di bidang adiposcience kian berkembang, lembaga nonprofit Prodia Foundation for Research and Training tahun ini akan memberikan penghargaan kepada ilmuwan yang mengembangkan penelitian di bidang tersebut.

Andi, yang juga pendiri Prodia, menjelaskan bahwa sel lemak atau adiposit tak cuma berfungsi sebagai gudang penyimpan kelebihan lemak tubuh, tapi juga mengeluarkan berbagai jenis hormon. Ketika tak mampu lagi menampung lemak, sel ini akan membentuk adiposit baru. Nah, proses ”perkembangbiakan” inilah yang mengakibatkan sel-sel lemak kekurangan oksigen (hipoksia). Untuk mengatasinya, adiposit mengeluarkan sejenis hormon yang dapat merangsang pembentukan pembuluh darah baru untuk mencukupi pasokan oksigen pada adiposit.

Sayangnya, produksi hormon sering kebablasan. Akibatnya, metabolisme lemak terganggu, produksi adiponektin—protein yang dihasilkan sel lemak—pun menurun. Padahal protein tersebut sangat dibutuhkan untuk mengatur keseimbangan kadar glukosa dalam tubuh dan menghambat penebalan pembuluh darah (aterosklerosis).

Lantas bagaimana jika telanjur berperut gendut? Tidak bisa tidak, berat badan harus diturunkan dengan rajin berolahraga dan mengatur pola makan sehat seumur hidup. Ingat pesan Bapak Kedokteran Hipocrates, ”Orang gemuk lebih cepat mati.”

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus