Standar Pelayanan Medis rampung. Kasus malapraktek pertama kali diputus pengadilan. TIDAK hanya Azrul Azwar, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), yang plong dadanya, juga 26 ribu anggota IDI. Ini karena Standar Pelayanan Medis (SPM) rampung dibahas di Jakarta, Senin pekan ini. "Saya gembira dengan kerja besar dan berat yang kami lakukan ini," kata Azrul, lega. Oktober nanti SPM direncanakn dibawa ke Muktamar IDI untuk disahkan. SPM dalah acuan para dokter dalam melakukan tindakan medis terhadap pasien, yang sesuai dengan kaidah ilmu dan etika kedokteran. Dalam dunia kedokteran di luar negeri, SPM dikenal dengan Standard of Conduct. Sedangkan yang tertuang di SPM lebih luas cakupannya. Standard of Conduct itu secara murni mengatur perlakuan medis yang diberikan dokter kepada pasien. Tapi yang terangkum dalam SPM, selain menyinggung Standard of Officiality, yaitu tenaga medis dan sarana dana, juga dirangkai dengan Standard of Performance, yakni tentang hasil pengobatan pasien. Dengan adanya SPM, kelengkapan perangkat standar profesi kedokteran makin disempurnakan. Ini juga melengkapi Kode Etik Kedokteran yang lebih dulu ada. Namun, Azrul mengakui masih ada berbagai aspek yang harus dimiliki standar profesi kedokteran. Selain Standard of Officiality dan Standard of Performance, juga mesti ditambah dengan Standard of Environment, yakni melingkupi organisasi dan manajemen rumah sakit. "Kita mulai sedikit demi sedikit dulu," tambah Azrul. Nanti, dalam prakteknya, misalkan ada seorang penderita usus buntu akut, maka ia akan menjalani tahapan-tahapan pemeriksaan. Awalnya dilakukan diagnosa dengan lebih dulu menilai kriteria yang ada. Misalnya, apakah sakit perutnya tiba-tiba, badannya panas, atau tidak bisa buang air. Setelah diperoleh pegangan tentang penyakitnya, baru dilakukan tahapan kedua, yakni disebut pemeriksaan penunjang. Misalnya, perlu tidaknya pemeriksaan di laboratorium. Dan bila diperiksa, apa saja yang harus dilakukan. Ketiga, dilakukan diagnosa banding. Ini untuk mengetahui gejala suatu jenis penyakit apakah juga dimiliki penyakit lain. Setelah makin yakin dengan jenis penyakitnya, kemudian masuklah pada tahapan keempat: tindakan yang dilakukan, atau terapi yang harus diberikan pada si pasien. Dan bila perlu, lantas obat apa dan berapa banyak digunakan. Bahkan kalau memang butuh perawatan (menginap), sudah diatur di mana, dan berapa lama pasien mesti dirawat. "Tindakan-tindakan tadi masih belum cukup. Seorang dokter juga melengkapinya lagi dengan bagaimana hasil perawatan tersebut," Azrul menjelaskan. Sebagai kelengkapan SPM, kelak dibentuk semacam badan pengawas di tiap rumah sakit atau di suatu wilayah. Badan ini bertugas mengawasi pelaksanaan standar tadi, bahkan menampung berbagai keluhan dari masyarakat. Di samping itu, badan ini dapat juga memberikan masukan bagi penyempurnaan standar, sehingga nanti selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu kedokteran. Tetapi, yang masih menjadi pertanyaan adalah bagaimana dokter di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di tempat terpencil serta peralatannya malahan terbatas. "Apa yang telah kami buat itu adalah standar minimal, dan itu diperkirakan dapat dilakukan dokter mana pun," ujar Dokter Kartono Mohamad. Menurut Wakil Ketua IDI itu, jika memang dalam kenyataannya si dokter berhadapan dengan kasus yang di luar kemampuannya, atau terhambat karena kesulitan fasilitas, maka dengan konsep life serving, seorang dokter wajib melakukan tindakan yang perlu. "Dan dengan standar ini kita bisa menilai kualitas pelayanan secara profesional, selain memberi penuntun bagi dokter ketika menangani pasien," tambah Kartono, yang bersama Azwar disebut sebagai "Dwitunggal" di IDI. Karena sudah ada pegangan yang lebih kuat, bahkan standar ini, ujar Azrul lagi, bisa menyelesaikan perselisihan antara dokter dan pasiennya. Pendapat ini didukung Drs. Fred Ameln, S.H., ahli hukum kedokteran dari Universitas Indonesia. "Selain bermanfaat bagi hukum kedokteran, SPM bisa dijadikan sebagai sumber pertimbangan hukum bagi seorang hakim," katanya. Namun, Fred Ameln mengingatkan bahwa standar pelayanan medis tak bisa disusun secara eksak dan berlaku mutlak. Sebab, faktor kondisi pasien, situasi, dan sarana pelayanan ikut mempengaruhi sikap seorang dokter. Atau, dalam bahasa Dr. B.T.T. Tamba, menilai pembatasan yang terlalu detail terhadap praktek kedokteran bisa menyebabkan si dokter enggan mengambil risiko. "Buat apa terlalu membatasi seorang dokter yang kita ketahui bertahun-tahun mendalami bidangnya," ujar doktor hukum kedokteran di Universitas Sriwijaya Palembang itu. Lain lagi Dr. F.X. Soebroto. Ia tidak seoptimistis Fred Ameln. "Standar itu tergantung masyarakat luas. Kalau mereka mencibirkannya, maka rasa aman tetap tidak ada bagi dokter," kata Direktur RS Panti Rapih di Yogyakarta ini. Pantas Soebroto menaruh gusar. Keputusan peradilan perdata di Pengadilan Negeri Yogyakarta yang menangani kasus malapraktek yang dituduhkan kepadanya, dua pekan lalu, memenangkan penggugat pasangan Muhammad-Aina. "Padahal Majelis Kode Etik Kedokteran menilai saya sudah melakukan tugas dan kewajiban dengan benar," kata ahli kebidanan dan kandungan itu. Soebroto memang mengajukan banding. Tapi putusan tadi pertama kali dijatuhkan pengadilan negeri untuk malapraktek. Dan selama ini masih banyak Soebroto lain. Bahkan, beberapa di antaranya diadukan ke polisi oleh pasiennya. Dalam tubuh IDI, meski kasusnya tak dibawa ke pengadilan, toh ada pula yang sudah kena sanksi pemecatan. "Makin dibenahi, makin banyak persoalan yang harus kita hadapi," kata Azrul Azwar. Rustam F. Mandayun, Ajie Surya, Aina R. Azis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini