Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Satu,dua,sampai sepuluh milyar

Pers harus lebih hati-hati dan akurat dalam pemberitaan. yang menuntut pers ke meja hijau diantaranya abdurrahman wahid pada harian pelita, andi lolo pada majalah amanah,h.dk pada harian pk.

25 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menuntut pers ke meja hijau, tampaknya, akan menjadi kebiasaan baru di negeri ini. Kini pers harus lebih hati-hati, lebih peka, dan lebih bijak. SIKAP kritis dan kesadaran hukum masyarakat kian hari tampaknya kian meningkat. Jika ada berita kurang akurat -- sedikit saja -- mereka (para pembaca dan sumber berita) langsung melayangkan protes. Biasanya, rasa tidak puas semacam itu disalurkan melalui "surat pembaca". Namun, jika kesalahan yang dibuat oleh media yang bersangkutan dianggap berat, pihak-pihak yang dirugikan akan langsung memerkarakan media tersebut ke meja hijau. Dan tiba-tiba saja, menuntut pers ke meja hijau kini muncul sebagai trend baru di negeri ini. Dalam barisan penuntut, berdiri paling depan Abdurrahman Wahid yang berniat menuntut harian Pelita sebesar Rp 10 milyar. Gus Dur -- demikian panggilannya -- merasa dirugikan karena Pelita dianggap telah memutarbalikkan kalimat-kalimat yang diucapkannya dalam pengajian Majelis Reboan, 10 April lalu. Di bawah berita berjudul "Pemerintah Hendaknya Tak Terlalu Banyak Mencampuri Urusan Agama" disebutkan bahwa Gus Dur mengkritik sikap Pemerintah yang ikut- ikutan mengurusi soal agama melalui BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak, dan Sedekah), dan Direktorat Bimbingan Masyarakat dan Urusan Haji, Departemen Agama. "Coba bayang kan ..., nantinya panitia zakat akan ditentukan oleh pemerintah, bukan umat. Ini kan bisa fatal ... " demikian sebagian kalimat yang dikutip Pelita. Benarkah ucapan Gus Dur seperti itu? Di sinilah soalnya. Menurut Ketua PB NU itu, kalimat demikian tak pernah meluncur dari bibirnya. "Saya punya rekaman Reboan ketika itu, lengkap dengan transkripnya," katanya. Gus Dur merasa sangat, sangat, dirugikan. "Saya sudah biasa dikritik," Gus Dur berkata geram. "Tapi kalau ini sudah tidak benar, membahayakan lagi." Sebagai calon tergugat, Pelita ternyata punya senjata pamungkas. Menurut pemimpin redaksi Pelita, Azkarmin Zaini, semua yang dilaporkan wartawannya benar. Pernyataan ini dia ungkapkan, setelah dia mendengar rekaman hasil liputan reporter Pelita. "Saya juga sudah mengecek langsung kepada beberapa rekan saya yang mengikuti Majelis Reboan," kata Azkarmin tandas. Bahkan, "Berita itu sudah diperhalus," ujar sang pemimpin redaksi. Akhir-akhirnya, bukan hanya Gus Dur yang marah, tetapi Azkarmin pun tersinggung. Soalnya, pernyataan Ketua PB NU itu sudah menyangkut kredibilitas Pelita sebagai lembaga. Ini tecermin dari tuduhan Gus Dur yang menyatakan bahwa Pelita telah memutarbalikkan fakta. "Kalau Gus Dur akan membawa persoalan ini ke pengadilan, kami akan menanggapinya secara fair," tantang Azkarmin. Sementara tuntutan Gus Dur diproses, harian Pikiran Rakyat (PR) terbitan Bandung sudah lebih dahulu dituntut Rp 2 milyar. Bedanya, PR dituntut bukan karena berita politik, tapi lantaran berita pengadilan. Syahdan, pada 17 Maret 1991, PR memuat berita tentang seorang mayor (purn.) dengan inisial H. DK yang divonis empat bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Bandung. "Terdakwa terbukti menggelapkan mobil dan melanggar pasal 372 KUHP," demikian ucapan Hakim Eko Wardoyo yang dikutip PR. Ini dimuat dalam berita yang yang berjudul "Terbukti Gelapkan Mobil, DK Mayor Polisi (purn.) Dihukum Empat Bulan". Terdakwa H. DK membantah keras isi pemberitaan tersebut. "Isinya 90% tidak benar," labraknya. Tapi ia tak mau menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah. Satu hal pasti, PR telah menggunakan kata-kata "pesakitan" dan "diseret ke pengadilan". "Saya kan manusia, apa tidak ada kata-kata yang lebih halus," protes H. DK dalam keterangannya pada TEMPO. Tak tanggung-tanggung, ia menuntut PR ganti rugi Rp 2 milyar. H. DK juga menuntut agar PR memuat iklan permohonan maaf selama sepekan penuh, plus gedung redaksinya dijadikan sebagai sita jaminan. Kasus H. DK ini tidak akan mencuat ke pengadilan kalau PR mau memuat surat bantahan yang dikirimkannya, 27 Maret 1991. Tapi, pengasuh PR berpendapat lain. "Isi surat itu berisi bantahan dan keberatan atas putusan hakim. Jadi, seharusnya bukan ditujukan ke PR, melainkan ke Pengadilan Tinggi," kata Dindin S. Maolani, pengacara PR. Akan halnya kata "pesakitan" dan "diseret", menurut Dindin, itu sudah biasa digunakan dalam pemberitaan surat kabar. Dan H. DK tidak perlu merasa tercemar nama baiknya sebab PR tidak memuat nama lengkapnya. Masih dalam jumlah milyar, Andi Lolo (seorang tokoh Tana Toraja) telah menggugat majalah Amanah Rp 1 milyar. Perkaranya menyangkut pencemaran nama baik. Seperti pernah diberitakan TEMPO, Andi Lolo menggugat Amanah karena pemuatan berita yang menyebutkan bahwa acara pemakaman almarhumah ibunya (sebesar Rp 1 milyar) dibiayai oleh pengusaha beken Sukamdani Sahid Gitosardjono. Padahal, semua biaya ditanggung oleh keluarga Andi Lolo sendiri. Kesalahan tersebut sudah diralat melalui Amanah dengan memuat bantahan Sukamdani. Tapi, bantahan itu belum menyelesaikan persoalan. "Kami merasa ditampar, dan harga diri kami dinodai," kata Andi Lolo, gusar. Mungkinkah kasus Andi Lolo diselesaikan secara damai? Jawabannya sulit ditebak, terutama karena menyangkut pencemaran nama baik. Yang pasti, ketiga kasus "milyaran rupiah" itu tidak lagi bisa dianggap ringan oleh dunia pers. "Ini pertanda bahwa pers harus semakin hati-hati dan akurat," kata Djafar H. Assegaff, Ketua Dewan Kehormatan PWI. Gejala ini juga mengisyaratkan bahwa pembaca ataupun sumber berita sudah menilai bahwa saluran "hak jawab" tidak lagi memadai. Budi Kusumah, Wahyu Muryadi, dan Indrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus