Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Kesehatan

Sulitnya Penanganan Asma saat di Puskesmas, Ini Penelitiannya

Asma adalah salah satu penyakit yang berisiko tinggi. Sayang, kesulitan penanganan asma di Puskesmas masih terjadi.

2 Januari 2019 | 12.20 WIB

Ilustrasi serangan asma. shutterstock
material-symbols:fullscreenPerbesar
Ilustrasi serangan asma. shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Asma adalah salah satu penyakit yang berisiko tinggi. Jika tidak ditangani dengan baik, penyakit ini bisa mengancam nyawa seseorang. Namun, menurut studi formatif pencegahan dan pengendalian asma, penanganan asma di Indonesia masih banyak kekurangan. “Misalnya di puskesmas (pusat kesehatan masyarakat), standar penanganan asma tak dilakukan karena sumber dayanya yang tak ada,” kata Kepala Sub-Direktorat Penyakit Paru Kronis dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan, Theresia Sandra, di Taipei, Taiwan, akhir November lalu.

Baca: Jangan Asal, Pastikan Bayi Terserang Asma dengan Cara Berikut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Penelitian yang dilakukan Kementerian Kesehatan, Center for Health Policy and Management Faculty of Medicine Universitas Gadjah Mada, dan lembaga swadaya masyarakat Project Hope Indonesia menemukan bahwa banyak kekurangan dalam penanganan asma di Tanah Air. Obyek penelitian adalah puskesmas dan rumah sakit pemerintah di Kabupaten Bantul (Daerah Istimewa Yogyakarta), Kabupaten Banjar (Kalimantan Selatan), dan Kabupaten Gowa (Sulawesi Selatan).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para peneliti menemukan hanya ada 60 persen obat-obatan asma yang tersedia di puskesmas dan rumah sakit. Misalnya, obat pelega saluran pernapasan, salah satu obat untuk mengontrol asma, masih terbatas. Fasilitas diagnosis juga kurang. Akibatnya, ketika ada pasien terserang asma, puskesmas cenderung merujuk pasien ke rumah sakit.

Masalahnya, rumah sakit yang menjadi rujukan pun kurang responsif. Bahkan ada rumah sakit yang menolak pasien karena kurangnya kapasitas rawat inap. Lalu, ketika kondisi pasien sudah membaik dan bisa dirujuk balik ke puskesmas, rujukan balik pun belum dilaksanakan optimal. Lagi-lagi lantaran puskesmas kekurangan obat.

Baca: Kiat Mendeteksi Penyakit Asma pada Bayi

Selain itu, para peneliti menemukan fakta bahwa pemahaman tentang asma masih rendah. Petugas kesehatan di fasilitas pela-yanan kesehatan primer dan rujukan kurang me-ngenali tanda dan gejala asma yang benar. Dokter juga tak mengetahui perkembangan terbaru soal pengobatan. Mereka masih menggunakan pedoman pengobatan yang merujuk pada materi pendidikan saat mereka kuliah. Padahal pedoman pengobatan nasional selalu diperbarui mengikuti pedoman tata laksana asma dunia.

KORAN TEMPO

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus