Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Susahnya Mencari 'Radio'

Kelangkaan radioisotop dan minimnya peralatan radioterapi membuat pasien kanker kesulitan menjalani pengobatan.

22 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga tahun lalu Supraptini, 66 tahun, divonis mengidap kanker tulang. Selain menja­lani pengobatan, dia harus menjalani pemindaian tulang untuk memantau perkembangan kankernya setiap enam bulan di Departemen Radiologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Hal ini diperlukan untuk memantau perkembangan kankernya, juga hasil dari pengobatannya.

Namun, dalam dua tahun terakhir, pemeriksaan tersebut tak mudah dijalani. Sebelumnya hanya perlu satu pekan, tapi kini ia harus menanti satu bulan untuk menjalani pemindaian tulang. "Dulu tidak selama ini," ujar penderita kanker yang ditemui di RSCM, Rabu pekan lalu. Ketua Harian II Cancer Information and Support Center (CISC) ini bahkan pernah menanti hingga dua bulan untuk sidik tulang. Laporan serupa dia terima dari tujuh cabang komunitas survivor dan penderita kanker itu, antara lain di Padang dan Semarang.

Salah satu penyebab panjangnya antrean adalah kelangkaan radioisotop di Indonesia. "Indonesia sedang krisis radioisotop" kata Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto dalam konferensi pers di kantor Batan, Jakarta, 21 November lalu.

Radioisotop adalah isotop yang tidak stabil atau radioaktif dari sebuah unsur yang dapat berubah menjadi unsur lain dengan memberikan radiasi. Radiasi yang dihasilkan ini mudah dikenal dan dilacak. Berdasarkan sifat ini, radioisotop dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi adanya tumor dalam tubuh.

"Ini adalah cara yang paling efisien untuk memantau penyebaran sel kanker ke tulang, golden standard," ujar Kepala Departemen Radioterapi RSCM Soehartati Gondhowiardjo, yang ditemui di ruang kerjanya. Teknik pemeriksaannya, ia menjelaskan, adalah dengan menyuntikkan perunut teknesium-99 ke dalam tubuh. Isotop ini akan mendeteksi sel-sel yang tidak normal. Akan terlihat area yang diduga kanker dengan ciri ditemukan bagian yang panas, yang menunjukkan terjadi peningkatan radioaktivitas. Apabila temuan itu di dalam tulang, patut ditengarai penderita sudah masuk stadium akhir.

Ada dua stok radioisotop yang langka: molibdenum 99 yang berasal dari uranium dan iodium-131. Molibdenum 99 menghasilkan teknesium-99 (Tc-99), yang merupakan radioisotop paling sering digunakan untuk pemindaian tulang. Adapun iodium-I31 biasa dipakai untuk deteksi maupun terapi kanker tiroid. Kelangkaan terjadi karena dua radioisotop tak lagi diproduksi PT Industri Nuklir Indonesia (PT Inuki). Izin perusahaan itu dicabut oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir karena fasilitasnya sudah uzur dan harus diganti.

Direktur Utama PT Inuki Yudiutomo Imardjoko membenarkan terjadinya kelangkaan produksi radioisotop di dalam negeri. Meski kesulitan memproduksi, Yudiutomo menjamin pasokan radioisotop ke rumah sakit terus berjalan. "Kelangkaan pasokan ke rumah sakit itu tidak ada, mereka selalu dapat," ujarnya. Menurut Yudiutomo, ada 16 rumah sakit di Indonesia yang mendapatkan pasokan radioisotop. "Kami bekerja sama dengan Australia untuk memenuhi kebutuhan itu."

Masalahnya, rumah sakit yang membutuhkan radioisotop lebih dari jumlah yang dikatakan Yudiutomo. Setidaknya ada 42 alat radioterapi di 28 rumah sakit di Indonesia. Artinya, jika pasokan radioisotop dari Australia ditujukan ke 16 rumah sakit, masih ada 12 rumah sakit yang tidak mendapatkannya.

Sebenarnya ada cara lain untuk memonitor perkembangan sel radikal ini, yaitu dengan pemeriksaan darah. Tapi, kata Profesor Tati—sapaan Soehartati—akurasinya tidak sebanding dengan pindai tulang. Memang ada satu teknologi yang kualitasnya di atas sidik tulang, yaitu pindai positron emission tomography (PET). Tapi biayanya Rp 8 juta ke atas, jauh dibanding pindai tulang yang Rp 850 ribu-Rp 1 juta sekali pindai. Dengan nominal tersebut, pindai tulang masuk skema pembayaran jaminan kesehatan.

Pemindaian ini penting karena, selain dapat mengetahui keberadaan kanker dalam tubuh, membantu dokter menentukan jenis pengobatannya, apakah dengan kemoterapi, radioterapi, atau operasi. Jika pemindaian itu menunjukkan bahwa pasien lebih cocok diobati dengan radioterapi, masalah kembali muncul, karena untuk radioterapi juga dibutuhkan radioisotop.

Radioterapi biasanya diberikan ke pasien kanker yang baru saja menjalani operasi pengangkatan tumor. Tujuannya membasmi akar kanker yang tersisa. "Enam puluh persen pasien kanker memerlukan radioterapi," kata dokter spesialis onkologi dan radioterapi RSUP Sardjito Yogyakarta, Wigati Dhamiati.

Selain soal menurunnya pasokan radioisotop, antrean panjang untuk pemindaian dan radioterapi terjadi karena banyaknya pasien setelah pemberlakuan jaminan biaya pengobatan lewat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pasien tak mampu yang selama ini tak tertangani kini bisa ikut diperiksa. "Waktu saya masih pakai Askes (2011), paling menunggu seminggu untuk dipindai," ujar Supraptini. Jumlah pasien bertambah, fasilitas tetap.

Wigati memaparkan daftar tunggu radioterapi di rumah sakitnya sudah sampai April 2016. Ada kemungkinan sebagian penunggu antrean meninggal atau malas berobat sebelum gilirannya datang. "Kalau ada yang enggak kuat, giliran bisa juga maju, tapi bagi yang daftar sekarang kemungkinan paling cepat baru bisa dilayani pada Oktober 2015," katanya.

Pasien kanker yang mengalami sesak napas atau perdarahan bisa maju ke antrean awal. Tapi penyinaran hanya dilakukan sampai gejala daruratnya hilang. Setelah itu, pasien kembali menunggu giliran menurut daftar. Wigati mengatakan antrean yang mengular ini merupakan buntut kapasitas peralatan yang pas-pasan. Di rumah sakit ini baru ada dua alat untuk radiasi eksternal yang masih berfungsi. "Belum bisa beli yang baru."

Sebenarnya, menurut Wigati, pasien dengan potensi sembuh lebih tinggi bisa saja diprioritaskan ketimbang yang sudah parah. Tapi hal itu sulit dipraktekkan. Ia tidak sampai hati melihat pasien dengan stadium lanjut berlama-lama menunggu mendapatkan layanan radioterapi. Cara lain mendorong pasien mendahulukan pengobatan dengan operasi dan kemoterapi. "Itu saja yang bisa dilakukan," katanya.

Menurut Profesor Tati, tanpa sidik tulang pun terapi kanker bisa dilakukan. Khususnya bagi yang sudah ada dugaan kanker lewat teknik lain seperti gabungan darah dan pencitraan resonansi magnetik (MRI). Maka pasien pun diberi terapi sembari menunggu giliran pemindaian, dan tetap dirawat.

Ia pun membeberkan ketidakseimbangan antara jumlah pasien dan ketersediaan alat radioterapi. Saat ini hanya tersedia 42 mesin di 28 pusat radioterapi se Indonesia. Artinya, satu alat untuk 5,7 juta penduduk. Rekomendasi Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) adalah satu alat untuk satu juta penduduk. "Indonesia masih kekurangan 200 unit," kata Ketua Komite Penanggulangan Kanker Nasional ini.

Memang alat ini mahal, satu unit bisa mencapai Rp 30 miliar. Tapi, untuk bisa menangani lebih banyak pasien, tentu ketersediaannya merupakan keniscayaan. Catatan tahun lalu, menurut Profesor Tati, dari 118 ribu pasien, baru 14 ribu yang bisa mendapatkan terapi.

Profesor Tati mengatakan saat ini sudah dibuat rencana jangka panjang 25 tahunan. Ditargetkan pada 2035 tersedia 250 mesin radioterapi di Indonesia. Tapi, sembari berjalan menuju kelengkapan fasilitas, pencegahan adalah jurus terjitu. Kanker, kata pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu, 43 persen kasusnya bisa dicegah, 30 persen bisa dikontrol jika ditemukan lebih dini. Untuk menghindarinya, terapkan pola hidup sehat, tidak merokok, konsumsi makanan bergizi seimbang, serta istirahat dan olahraga yang cukup.

Dianing Sari, Addi Mawahibun Idhom (Yogyakarta)


Radioisotop

Radioisotop adalah isotop yang tidak stabil atau radioaktif dari sebuah unsur yang dapat berubah menjadi unsur lain dengan memberikan radiasi. Radiasi yang dihasilkan ini mudah dikenal dan dilacak. Berdasarkan sifat ini, radioisotop dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi adanya tumor dalam tubuh.

1. Teknik pemeriksaannya, dengan menyuntikkan perunut teknesium-99 ke dalam tubuh.

2. Isotop ini akan mendeteksi sel-sel yang tidak normal.

3. Akan terlihat area yang diduga kanker dengan ciri ditemukan bagian yang panas, yang menunjukkan terjadi peningkatan radioaktivitas.

Stok Radioisotop yang langka:

Molibdenum 99
Molibdenum 99 menghasilkan teknesium-99 (Tc-99) yang merupakan radioisotop paling sering digunakan untuk pemindaian tulang.

Iodium-131
Iodium-I31 biasa dipakai untuk deteksi maupun terapi kanker tiroid.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus