Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Purbaya Yudhi Sadewa*
Kita sering cemas ketika rupiah mengalami pelemahan yang signifikan. Ini adalah hal yang wajar mengingat krisis ekonomi pada 1997-1998 didahului oleh runtuhnya nilai tukar rupiah. Apakah pelemahan rupiah yang terjadi saat ini merupakan awal dari keterpurukan rupiah seperti pada krisis yang lalu?
Ada beberapa faktor pemicu terjadinya pelemahan rupiah akhir-akhir ini, baik dari sisi eksternal maupun domestik. Dari sisi eksternal, pelemahan rupiah disebabkan oleh menguatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat ketika pertumbuhan ekonomi global cenderung melambat. Pertumbuhan ekonomi Amerika yang kuat menimbulkan spekulasi bank sentral Amerika akan segera menaikkan suku bunga. Sementara itu, Eropa, Cina, dan Jepang justru membutuhkan dukungan kebijakan moneter untuk mencegah perekonomiannya jatuh ke masa resesi.
Dengan kata lain, suku bunga di Amerika akan cenderung naik, sedangkan suku bunga di negara-negara lain akan cenderung tidak naik, bahkan turun. Suku bunga yang lebih tinggi di Amerika telah memicu aliran dana ke aset-aset dalam dolar Amerika (seperti saham, obligasi, dan dolar Amerika sendiri).
Selain itu, kekhawatiran ekonomi global akan terus melambat telah membuat investor dunia mencari tempat yang aman untuk investasi mereka. Turunnya harga minyak dunia yang terjadi akhir-akhir ini dikhawatirkan berdampak negatif terhadap negara-negara besar, seperti Rusia, sehingga bisa memperburuk kondisi perekonomian global. Dalam keadaan seperti ini, tempat yang dianggap paling aman adalah aset dalam dolar Amerika.
Dengan keadaan yang demikian, tidaklah mengherankan jika dolar Amerika menguat secara konsisten terhadap semua mata uang dunia, termasuk rupiah. Spekulasi bahwa bank sentral Amerika akan segera mempercepat kebijakan menaikkan suku bunga (diperkirakan pada pertengahan 2015) turut memicu penguatan dolar akhir-akhir ini.
Dari sisi domestik, pelemahan rupiah terjadi karena memang otoritas moneter kita tampaknya lebih suka rupiah yang cenderung lemah. Hal ini dipicu oleh transaksi berjalan (total ekspor barang dan jasa dikurangi total impor barang dan jasa) yang mengalami defisit sejak 2012 (lebih banyak impor dari ekspor). Pada 2012, transaksi berjalan kita mengalami defisit US$ 24,2 miliar atau setara dengan 2,78 persen produk domestik bruto dan tahun lalu defisit tersebut meningkat menjadi US$ 29,10 miliar atau setara dengan 3,33 persen PDB kita.
Defisit transaksi berjalan ini dikhawatirkan membuat pertumbuhan ekonomi kita menjadi tidak berkesinambungan. Untuk mengurangi defisit transaksi berjalan tersebut, tampaknya otoritas moneter kita memilih langkah memperlambat pertumbuhan ekonomi dan membiarkan rupiah cenderung lemah.
Perlambatan ekonomi diperkirakan menurunkan permintaan akan produk impor, sedangkan pelemahan rupiah diharapkan akan menaikkan ekspor (dalam dolar produk kita menjadi lebih murah) dan menurunkan impor (karena harga barang impor menjadi lebih mahal). Kebijakan tersebut diperkirakan mengurangi defisit transaksi berjalan.
Langkah untuk memperlambat perekonomian terlihat dari semakin diperketatnya suplai uang di perekonomian. Hal ini terlihat dari laju pertumbuhan uang (M1) yang terus menurun sejak pertengahan 2012. Ketatnya suplai uang terlihat, antara lain, dari meningkatnya bunga deposito. Sebagai catatan, walaupun saat ini suku bunga acuan BI Rate berada di 7,75 persen, suku bunga deposito di sebagian besar bank kita jauh berada di atas angka tersebut, bahkan ada yang mendekati 11 persen.
Sementara itu, rupiah tampak dibiarkan melemah sejak 2012. Bahkan, ketika pada pertengahan 2012 ada kesempatan untuk menguat (ketika itu sentimen positif terhadap mata uang regional menguat setelah gubernur bank sentral Eropa mengeluarkan pernyataan tegas untuk mempertahankan mata uang tunggal euro), rupiah dibiarkan terus melemah.
Akibatnya, sejak pertengahan 2012, rupiah mengalami pergerakan yang berbeda dengan mata uang negara tetangga. Bila diambil tahun 2010 sebagai acuan, saat ini rupiah terlalu lemah sekitar 25 persen dibanding mata uang negara-negara di sekeliling kita (lihat gambar).
Faktor domestik lain yang turut memperlemah rupiah adalah dampak kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada November lalu. Kenaikan harga BBM menimbulkan tekanan inflasi dan menggerus daya beli masyarakat. Masyarakat perlu menyesuaikan diri terhadap kenaikan harga barang kebutuhan hidup yang mereka hadapi. Dalam keadaan seperti ini, mereka cenderung menunda belanja atau paling tidak lebih berhati-hati membelanjakan uang. Akibatnya, ekonomi kita cenderung melambat.
Perlambatan yang terjadi dapat berlangsung hingga dua-tiga triwulan setelah kenaikan harga BBM. Ekspektasi perlambatan ekonomi biasanya membuat investor di pasar finansial mengurangi investasinya di Indonesia, yang menyebabkan rupiah cenderung tertekan. Hal ini dapat terjadi hingga enam bulan sejak kenaikan harga BBM.
Selain itu, masih ada faktor lain yang dapat mencegah keterpurukan rupiah lebih dalam. Di antaranya kepercayaan investor asing yang masih relatif tinggi. Perlu dikemukakan di sini bahwa walaupun rupiah cenderung tertekan pada 2014, sebenarnya arus modal asing yang masuk masih cukup besar, jauh lebih besar daripada defisit transaksi berjalan. Pada tiga triwulan pertama 2014, total modal masuk (transaksi finansial) mencapai sekitar US$ 34,9 miliar. Sedangkan defisit transaksi berjalan mencapai US$ 19,7 miliar dalam periode yang sama. Dengan kata lain, terdapat surplus neraca pembayaran (selisih antara transaksi berjalan dan transaksi finansial) sebesar US$ 15,3 miliar.
Artinya, modal yang masuk lebih dari cukup untuk membiayai defisit transaksi berjalan kita, atau kita mempunyai suplai dolar yang lebih dari kebutuhan kita dalam periode tersebut. Dalam keadaan yang demikian, seharusnya membuat rupiah menjadi lebih kuat bukanlah pekerjaan yang terlalu sulit (bila memang dikehendaki).
Prospek pertumbuhan ekonomi kita pun, walaupun melambat, masih lumayan baik. Tumbuh sedikit di atas lima persen pada 2015 di tengah pelemahan perekonomian global bukanlah prestasi yang terlalu buruk. Indonesia masih akan relatif lebih menarik dibanding negara-negara di sekitarnya.
Kita juga harus melihat kenyataan bahwa hingga saat ini, walaupun rupiah sudah mengalami pelemahan secara signifikan, Bank Indonesia belum melakukan intervensi yang terlalu signifikan, baik di pasar valas maupun pasar obligasi. Dengan cadangan devisa sekitar US$ 111 miliar, rasanya BI akan mampu melakukan intervensi secara efektif untuk mencegah pelemahan rupiah yang terlalu signifikan, bila intervensi memang dirasakan perlu.
Jadi kita tidak perlu terlalu panik dengan pelemahan rupiah yang terjadi akhir-akhir ini. Pelemahan ini hanya bersifat sementara. Otoritas fiskal dan moneter kita masih memiliki cukup senjata untuk mencegah terjadinya pelemahan rupiah yang tidak terkendali.
*) Ekonom Danareksa Research Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo