Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Konteks

22 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Uu Suhardi*

Seorang teman merasa perlu mengusulkan kata baru: tau. Kata itu dibuat sebagai pengganti tahu dalam arti "mengerti", agar berbeda dengan tahu sebagai "makanan dari kedelai putih yang digiling halus-halus, direbus, dan dicetak". Menurut dia, pemakaian tau sudah meluas dan mengikuti pelafalan (Bagja Hidayat, #kelaSelasa, 2014).

Seorang teman lain menyarankan menghidupkan lema helah untuk membedakannya dengan helat (Kurniawan, "Perhelatan, Dihelat, Menghelat", Tempo, 20-26 Oktober 2014). Jadi, menghelah berarti "menipu" dan berhelah bermakna "berdalih", sementara menghelat sama dengan "menyelenggarakan". Dengan begitu, helat tidak lagi bermakna ganda seperti yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008).

Dalam hal helat dan helah, saran itu bolehlah dipertimbangkan. Sebab, kata helah memang hidup dalam bahasa Melayu Malaysia, setidaknya tercantum dalam Kamus Dewan (2007), dengan makna "muslihat", "tipu daya", atau "dalih".

Lain halnya untuk kata tau. Seandainya tau diterima sebagai lema baru, konsekuensinya sangat besar. Kepanjangan IPA dan IPS akan menjadi "ilmu pengetauan alam" dan "ilmu pengetauan sosial", misalnya, sementara fakultas ilmu pengetahuan budaya mesti diganti menjadi "fakultas ilmu pengetauan budaya".

Terlepas dari konsekuensi itu, sesungguhnya bahasa Indonesia—seperti bahasa pada umumnya—memiliki kata-kata yang me­ngandung makna ganda. Kata yang sama lafal dan ejaannya tapi berbeda maknanya, seperti tahu, dalam linguistik disebut homonim. Contoh lain yang biasa kita gunakan sehari-hari adalah kata hak dalam "hak asasi" dan "hak sepatu". Juga kata bisa yang bermakna "racun" dan yang bersinonim dengan "dapat".

Selain itu, ada homograf, yakni kata yang sama ejaannya dengan kata lain tapi berbeda lafal dan maknanya. Misalnya teras. Teras yang "e"-nya dilafalkan dengan "e" pepet, seperti "berat" dan "tempat", bermakna "yang terpenting" atau "yang terbaik", seperti pada frasa "pejabat teras". Sedangkan teras dengan "e" taling, semacam "sepak" dan "belok", berarti "tanah atau lantai yang agak tinggi di depan rumah" atau "halaman".

Ada pula homofon, yaitu kata yang sama lafalnya dengan kata lain tapi berbeda ejaan dan maknanya. Contoh dalam bahasa Indonesia adalah sangsi ("bimbang") dan sanksi ("hukuman"), juga masa dan massa. Homonim pun dapat kita temukan pada kata turunan. Mengurus, misalnya, bisa turunan dari kata dasar "urus", dapat pula bentukan dari "kurus".

Bagaimana kita bisa tahu mengurus itu turunan dari "urus" atau "kurus"? Kontekslah yang membantu kita. Mengurus dalam kalimat "Tubuhnya mengurus" tentu turunan dari "kurus" (menjadi kurus). Sedangkan mengurus dalam "Dia rajin mengurus tubuhnya"—bersinonim dengan "merawat"—pastilah bentukan dari "urus".

Jadi, makna kata selalu bergantung pada konteksnya. Tak akan timbul kebingungan pada pengguna bahasa karena selalu ada konteks untuk kata. Kata kepala dalam kalimat "Kepala saya mau pecah rasanya" berarti bagian tubuh di atas leher. Sedangkan dalam kalimat "Dia menjadi kepala kelompok hitam", kepala bermakna "pemimpin" atau "ketua". Dengan konteks, kita juga dapat membedakan makna mencuri bola di pasar swalayan dengan mencuri bola dalam pertandingan sepak bola.

Begitulah. Konteks membantu kita mengenali makna denotasi dan makna konotasi. "Dia memelihara beberapa ekor kambing hitam" bermakna denotasi karena yang dia pelihara memang hewan kambing. Sedangkan kambing hitam bermakna konotasi dalam kalimat "Dia dijadikan kambing hitam" karena berarti "orang yang dijadikan tumpuan kesalahan".

Ada makna konotasi negatif dan ada makna konotasi positif. Dalam bahasa Indonesia, hitam berkonotasi negatif dan putih berkonotasi positif. Orang yang tak memahami makna konotasi dalam bahasa Indonesia, misalnya, akan menganggap pengusaha hitam sebagai pengusaha berkulit hitam.

Karena itu, tak ada yang salah sebenarnya dalam frasa kampanye hitam (Rohman Budijanto, "Istilah Kampanye Hitam yang Salah Kaprah", Tempo, 9-15 Juni 2014). Kampanye hitam bukanlah terjemahan dari black campaign, seperti halnya kambing hitam bukan terjemahan dari black goat. Maknanya berbeda-beda.

Maka makna tak bisa menguasai kata. Kamuslah yang membantu kita paham bahwa makna tidak dapat memonopoli kata. Dari kamus niscaya kita tahu bahwa pada umumnya kata tak bermakna tunggal—dan bahwa makna kata selalu mengikuti konteksnya. Bahkan sebuah kata bisa punya lebih dari satu kelas. Mengenai, misalnya, dapat berkelas kata verba ("tepat mengenai sasaran"), bisa pula menjadi preposisi ("pembicaraan mengenai hal itu").

Namun, sembari mencuaikan kamus, jika tahu bahwa konteksnya adalah pelesetan ala Srimulat, kita dapat memahami kalimat ini: "Berikutkan kami tampilnya suatu hil yang mustahal."

*) Redaktur Bahasa Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus