Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG akhir tahun, nilai tukar rupiah terjun bebas. Selasa pekan lalu, rupiah sempat menyentuh 12.900 per dolar Amerika, level terendah sejak 2008. Bank Indonesia tak berdaya menahan pelemahan rupiah yang dipicu oleh terus turunnya harga minyak dunia dan ekspektasi kenaikan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) tahun depan.
Kendati didominasi sentimen eksternal, pemerintah harus tetap serius merespons kondisi ini. Kita tak boleh menganggap ini sebagai hanya fenomena ekonomi biasa, tanpa perlu menyiapkan langkah antisipasi dampaknya terhadap perekonomian. Sebaliknya, pemerintah juga tidak boleh terlihat terlampau panik. Langkah yang grusa-grusu akan menimbulkan kekhawatiran masyarakat dan membuat pasar tidak percaya terhadap rupiah.
Dalam jangka pendek, yang bisa dilakukan adalah menciptakan suasana kondusif yang bisa mendorong penguatan rupiah, terutama pada sisi suplai dan permintaan dolar Amerika Serikat. Ini bukan masalah mudah. Sebab, pasokan dolar kian terbatas karena nilai ekspor juga terus menurun. Pengendalian sisi permintaan juga sulit dilakukan. Impor migas Indonesia naik terus selama tiga tahun terakhir. Tahun lalu kita membelanjakan Rp 540 triliun untuk minyak mentah dan bahan bakar minyak, sedangkan impor migas selama 10 bulan tahun ini sudah mencapai Rp 440 triliun.
Antisipasi lain, perlu ada larangan tegas agar badan usaha milik negara tidak lagi jorjoran menggunakan pinjaman dolar Amerika untuk membiayai kegiatan investasi mereka. Selama ini beberapa BUMN terkesan latah mengikuti perilaku perusahaan swasta dalam mencari pinjaman asing. Kebiasaan itu membuat utang luar negeri kita terus meningkat. Per Oktober lalu, utang Indonesia mencapai US$ 294,4 miliar, naik 10,7 persen dari tahun sebelumnya. Sumbangan terbesar datang dari utang sektor swasta yang mencapai US$ 161,3 miliar atau 54,8 persen.
Utang yang besar itu telah memberi dampak buruk, mengingat banyak pengutang tidak melakukan lindung nilai (hedging). Indikasinya, pelemahan rupiah yang terjadi sekarang turut dipicu oleh kepanikan pengusaha yang memborong dolar untuk membayar utang beberapa bulan ke depan.
Pekerjaan besar lainnya yang menjadi prioritas adalah membuat kajian menyeluruh dampak pelemahan rupiah terhadap perekonomian nasional. Dengan rupiah yang terus melemah, hampir dipastikan kegiatan produksi industri yang bergantung pada bahan baku impor akan terganggu. Kenaikan harga barang juga membuat daya beli masyarakat turun. Sebaliknya, industri yang berorientasi ekspor akan mendapatkan berkah karena melambungnya nilai tukar dolar Amerika.
Kajian itu mesti berisi pelbagai opsi level nilai tukar rupiah dan dampaknya terhadap perekonomian. Maka pemerintah bisa memetakan sektor industri yang paling terpukul dan insentif apa yang bisa menyelamatkan mereka. Adapun industri yang diuntungkan karena penguatan dolar Amerika bisa terus didorong untuk meningkatkan produksi.
Terakhir, pemerintah harus menyiapkan aturan pengganti Jaring Pengaman Sistem Keuangan, yang tak jadi diundangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat periode lalu. Aturan dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang akan sangat diperlukan jika terjadi situasi genting perekonomian. Para pejabat bidang ekonomi tentunya tidak ingin kebijakan penting dan mendesak dipersoalkan di kemudian hari, seperti "tragedi" Bank Century.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo