OPERASI itu bukan operasi besar. Hanya pengangkatan selaput katarak yang menghalangi lensa mata. Tapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ajis Guji Gelar St. Saidi tewas pada operasi yang berlangsung di RS Umum dr. Abdoel Moeloek Tanjungkarang. Bukan karena kesalahan operasi, tapi kecelakaan. Tabung anestesi meledak ketika proses pembiusan berlangsung. Ajis, 27 Oktober lalu, berangkat dengan ringan. Kepada keluarganya, pedagang berusia 60 tahun itu mengatakan bahwa ia akan menjalani operasi kecil. Karena itu. istri dan anak-anaknya tak perlu mengantar. Tapi, apa mau dikata, operasi ringan itu berakhir naas. "Kami terkejut sekali ketika sore harinya datang kabar tentang musibah itu," kata Nyonya Yulia, istri Ajis. Ledakan tabung anestesi itu mengejutkan semua pihak. Namun, ledakan semacam itu bukanlah yang pertama kali. Dalam sejarah pelayanan kesehatan di tanah air, ini kecelakaan yang keempat. Rumah sakit lain yang pernah mengalami kecelakaan sejenis: RS Cikini, RS Cipto Mangunkusumo -- keduanya di Jakarta -- dan RS Umum Malang, Jawa Timur. Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan, dr. Broto Wasisto, merasa perlu segera meneliti seluk-beluk kecelakaan. Sebuah tim dikirim ke Tanjungkarang. Siapa tahu, fasilitas pengobatan di rumah sakit itu sudah tidak memenuhi syarat. "Tapi hasil pengamatan menunjukkan, secara umum peralatan di RS Umum dr. Abdoel Moeloek cukup baik," kata Broto Wasisto. Menurut Dirjen, penyebab kecelakaan itu mestinya satu hal khusus, yang baru kelihatan setelah semua aspek diteliti dan dilaporkan secara tertulis. "Nah, laporan tertulis ini belum masuk," katanya. Kesimpulan tim Departemen Kesehatan sejauh ini masih bersifat sementara. Kepala Kantor Wilayah Depkes Lampung, dr. J. Djalins, menyebutkan bahwa peralatan anestesi yang meledak itu diimpor dari Australia. Mereknya Midget III, buatan pabrik CIG. Anestetikum yang digunakan adalah eter. Prinsip kerja peralatan ini ialah dengan memasukkan gas eter kepada pasien dan menitipkannya pada sistem pernapasan. Caranya adalah mengendalikan pernapasan dengan Midget III, lalu, dengan peralatan yang cukup canggih, zat asam yang dimasukkan dicampur dengan gas eter pada sebuah tabung kaca. "Tabung kaca ini yang meledak," kata Djalins. Cukup dahsyat ledakan itu, karena sifat eter yang mudah terbakar, dan tekanan tabung oksigen yang dihubungkan dengan alat pencampur mencapai 130 atmosfer. Ledakan terjadi tiba-tiba, sesudah pembiusan berlangsung kira-kira lima menit. Perawat Mastina, yang melakukan anestesi sedang duduk memegang masker untuk mengalirkan zat asam yan mengandung eter. Mastina kontan terkena percikan ledakan. Ia terjatuh, tangannya terbakar. Bisa dibayangkan kepanikan yang terjadi di ruang operasi. Ajis Guji segera dilarikan ke ruang gawat darurat, tapi tak tertolong. Kematian Ajis mungkin saja terjadi karena eter yang sudah masuk ke paru-parunya, ikut terbakar. Mengapa tabung kaca itu meledak? Mungkin karena lalai menyetel, hingga oksigen yang mengalir tidak melalui regulator yang berfungsi menurunkan tekanan. Mungkin juga terjadi penyumbatan atau disfungsi katup-katup tertentu. Ledakan semacam ini memang dikenal sebagai ancaman utama dalam metode anestesi yang menggunakan eter. Metode ini sebenarnya sudah jarang digunakan. Yang sekarang lebih banyak dipakai adalah anestesi yang menggunakan gas nitrogenoksida. Anestesi di RS dr. Abdoel Moeloek menurut direkturnya, dr. Yahya Mahdali, senantiasa menggunakan eter. "Ini metode yang paling murah, jadi tidak memberatkan pasien," katanya. Di samping itu, peralatan anestesi dengan anestetikum nitrogenoksida sangat mahal. "Bisa sampai 40 juta, dan dana kami terbatas," kata Mahdali lagi. Tiga peralatan anestesi dengan media eter yang dipunyai RSU dr. Abdoel Moeloek berusia dua tahun lebih, dan selama ini belum menunjukkan tanda-tanda aus. Perawatannya juga cukup baik. RS Umum dr. Abdoel Moeloek bukan rumah sakit melarat yang miskin pengalaman. Dirintis pembangunannya oleh Almarhum dr. Abdoel Moeloek tahun 1946, rumah sakit itu kini sudah mempunyai 13 bidang spesialisasi. Kapasitas perawatannya mencapai 530 tempat tidur, sementara pelayanan kesehatannya dijaga oleh 44 dokter dan sekitar 300 perawat. Kendati ledakan itu terjadi karena kecelakaan, pihak rumah sakit, menurut Mahdali, terpanggil untuk memberikan santunan. "Sudah kami berikan ketika pemakaman," ujar Mahdali. Dokter Hardien Subardi yang akan mengoperasi mata Ajis, juga bersedia membantu biaya pendidikan enam anak almarhum. Dua anak Ajis kuliah di universitas, dua lagi sedang mengikuti pendidikan guru dan dua yang kecil masih duduk di sekolah menengah tingkat atas. Tuntut-menuntut -- khususnya dengan dasar kasus malapraktek -- tidak terjadi. Kami yakin, kejadian ini benar-benar musibah yang merupakan takdir," kata Nyonya Yulia. "Karena itu, kami tidak bermaksud menuntut siapa pun." Kendati masih berduka, Nyonya Yulia tampak tabah ketika ditemui di rumahnya. Kecuali untuk biaya pendidikan anak-anaknya, Yulia tampaknya tidak terlalu resah akan biaya kehidupan sehari-hari. Meski tidak hidup berlebihan, keluarga Ajis memiliki sebuah toko pakaian di Pasar Kota Gajah, Tanjungkarang. Janda berusia 50 tahun itu berkata "Semuanya sudah kami serahkan pada Tuhan Yang Maha Esa." Jim Supangkat (Jakarta), Effendi Sa'at (Tanjungkarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini