SEJAK heboh makanan bercampur minyak dan lemak babi, hingga pekan ini yang masih menjadi primadona di masjid-masjid dan selebaran adalah kata syubhat. Kata ini untuk mengingatkan mereka agar menjauhkan dirinya dari makanan dan minuman yang meragukan di hati. Syubhat itu bahasa Arab. Asalnya dari kata syabaha, yang berarti: mirip atau menyerupai. Dan itu dipakai untuk beberapa hal yang berada di antara dua hal yang meragukan, ke sana tidak ke sini bukan. Ada hitam di antara putih, dan di tengahnya "kelabu". Yang kelabu itulah justru yang syubhat. Dan di antara dua hal yang jelas halal dan haramnya, menurut Ustad Muhammad Bair Al-Habsyi, ada hal-hal yang meragukan atau mutasyabihat. Penerjemah buku Dialog Sunni Syiah itu lalu mengutip sebuah hadis terkenal dari Rasulullah : "Barang siapa menjauhkan dirinya dari syubhat, dia menyelamatkan agamanya." Sementara itu, K. H. A. Thohir Widjaja, Ketua Umum Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) Golkar, mengartikan syubhat sebagai perkara yang belum jelas hukumnya, apakah halal atau haram. Alias mirip status quo. Sebelum ada ribut-ribut, suatu makanan atau minuman bisa saja dianggap halal. Artinya, tidak timbul masalah bila dimakan dan diminum. Tapi setelah barang itu diragukan, ia jadi syubhat. "Makanya, harus dihindari sampai ada kejelasan," katanya. Soal makanan yang sedang diributkan sekarang, terutama untuk mereka yang muslim, memang bukan main-main, karena menyangkut keyakinan atau akidah. Dan fatwa saja, apalagi di zaman modern ini soalnya tidak begitu mudah akan selesai hanya, misalnya, dengan munculnya ulama "demonstrasi" minum atau memakan benda-benda yang sedang dihebohkan itu (lihat Nasional). Upaya mencari "legitimasi" demikian, modelnya tentu belum pas. Karena umat itu sudah kritis. Mereka juga ada pegangan pasti "Tinggalkan atau jauhkan dirimu dari yang engkau ragukan, dan kerjakan apa-apa yang tak kau ragukan," kata Rasulullah, seperti dikutip Ustad Amin Jamal dari Majelis Tarjih Muhammadiyah Kota Madya Surabaya kepada Herry Mohammad dari TEMPO. Itu Hadis sahih. Maka, "pembuktian" itu tak jatuh jadi membingungkan bila memberi penjelasan dengan mengutamakan hasil penelitian produk yang syubhat itu, di laboratorium. Dan itu afdal-nya kalau diikutkan lembaga yang independen -- hingga buktinya dipercayai. Jadi, kedua pihak (produsen dan konsumen) aman dari fitnah atau isu. Tapi ketika pasar masih sepi akibat badai isu belum reda -- karena konsumen masih ragu pada produk yang diributkan itu. Antara, 7 November, mengutip Profesor K. H. Ibrahim Hosen. "Selama menunggu hasil penelitian di laboratorium, maka semua makanan yang baru dicurigai mengandung lemak babi tetap halal dimakan," ujar Ibrahim Hosen dalam suara berani. Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu, katanya, berpegang pada hukum Islam "Makanan itu, sebelum ada isu, sudah halal dimakan. Tapi kalau hasil penelitian laboratorium ternyata membuktikan ada lemak babi, maka sejak itulah makanan tersebut menjadi haram," tambahnya. Kesimpulan Pak Kiai ini: selama menanti hasil penelitian tadi, hukumnya tak syubhat. Menurut Ibrahim Hosen, syubhat adalah "istilah" ulama tasawuf. "Kalau mengikuti tasawuf, berarti kita kembali ke zaman primitif. Karena tasawuf bertolak pada pemikiran bahwa semuanya dinyatakan haram, kecuali beberapa saja yang halal," katanya lagi. "Kalau ulama fikih sebaliknya, ia bertolak pada pendapat bahwa semuanya halal, karena yang haram hanya beberapa." Apa Antara tak keliru mengutip? "Tidak. Saya memang bilang demikian," kata Hosen pada TEMPO. Ia ngomong begitu setelah bersama Sekjen Departemen Agama, Tarmizi Taher, Senin ini menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha MUI akan menentukan halal tidaknya berbagai produk yang dicurigai mengandung lemak babi, katanya, setelah ada hasil pemeriksaan laboratorium. Lagi, menurut Ibrahim Hosen: istilah syubhat itu tak dikenal ahli fikih. Bagi ulama fikih hanya ada "syak" dan "yakin". Bila seorang ulama fikih meyakini suatu barang itu halal, maka syak-wasangka keharamannya itu tidak menjatuhkan keyakinannya. "Jadi, tak ada istilah syubhat. Terserah keyakinan, apakah kita lemah atau kuat," katanya. Yang dianggap syubhat oleh ulama tasawuf, bagi ulama fikih disebut syak. Contohnya, menurut Ibrahim Hosen, ulama tasawuf tak mau menggunakan uang, karena dianggap kotor. Mereka memakai cara barter dengan tukar-menukar barang. Naik mobil, misalnya, mereka juga tidak memakai uang, tapi sewanya dibayar dengan beras. "Apa kita hidup di zaman sekarang ini bisa seperti itu?" tanya Hosen. "Dan karena selama ini kita sudah meyakini makanan yang diisukan itu halal, maka syak tentang keharamannya tidak serta merta lenyap. Harus ada bukti yang kuat, misalnya penelitian laboratorium tadi," tambahnya. Lalu ia mengangkat contoh dua sahabat Nabi Abubakar, katanya, begitu mendengar bahwa susu yang diminumnya berasal dari hasil rampokan, maka segera ia memuntahkan segala isi perutnya. Juga Umar Ibn Khattab. Ia melakukan hal serupa ketika mendengar susu yang diminumnya itu berasal dari kambing zakat. "Mampukah itu sekarang dilakukan secara konsekuen ?" tanya Hosen lagi. "Saya sendiri belum mampu, karena belum mencapai taraf sufi. Apalagi orang awam." Karena itu, ia tetap berusaha menjalankan fikihnya secara konsekuen. Dr A. M. Saefuddin, bekas Rektor Universitas Ibnu Khaldun Bogor, membantah tasawuf itu primitif. "Dari zaman mana pun, dan dari golongan mana pun, mereka menafsirkan sama. Tasawuf itu puncak dari proses mendekatkan diri kepada Allah," katanya pada Riza Sofyat dari TEMPO. Menurut dosen di IPB Bogor yang mendalami tasawuf itu, urutan proses tersebut terdiri dari tauhid, fikih, dan tasawuf. Dan kalau lemak babi kini sedang diteliti, itu artinya dalam proses Dan menurut tasawuf yang mana pun di dunia ini, jelas pula itu syubhat. Sifatnya serba belum jelas. Maka, ujar A. M. Saefuddin, tinggalkan segala yang syubhat. Sedangkan menurut Thohir Widjaja, syubhat tetap fikih, bukan tasawuf. Begitu ribut-ribut, status hukum barang itu jadi tidak jelas, diragukan. Dan menurut kiai ini penentu halal haram itu hati. "Untuk menjauhi dari risiko, ya, dengan menghindarinya. Ini namanya tasawuf. Maka, tasawuf itu masih tetap relevan di zaman sekarang," katanya. Dan soal syubhat itu bahkan berhubungan dengan umat Islam. "Ini bagian dari akhlak muslim," tutur Muhammad Bagir, ahli hadis dari Solo itu. Sedangkan K. H. Ali Yafie mengatakan dalam syubhat ada hal-hal serupa tapi tak sama. Misalnya gelatin. Barang itu olahan dari tulang atau otot "Hanya belum jelas, tulang hewan tersebut apa sapi atau babi," kata Rais NU itu. Selama belum jelas, maka keadaannya adalah syubhat. Begitu juga soal penyembelihan hewan atau sapi, dengan cara Islam atau bukan. Jadi, memang banyak masalahnya. Maka, harus ada informasi yang jelas dalam proses membuat makanan. Namun, menurut Ali Yafie, syubhat memang tidak dikenal dalam fikih. Istilah itu hanya populer di tengah kaum tasawuf, sebab di situ ada kata "hati". Dan bila "hati" menyuruh menghindari barang-barang syubhat, itu namanya wara'. Tapi itu bukan berarti urusan tasawuf melulu. Apalagi di fikih soal yang syubhat banyak dibicarakan. Misalnya, dalam hal kriminal. Hadisnya ada, seperti dilarang memvonis pidana bila terjadi syubhat. "Contohnya, terhadap pezina. Bila belum ada saksi mata, mereka belum bisa dijatuhi hukuman rajam," kata dosen fikih di Universitas Islam Assyafi'iyah Jakarta itu. Yang tidak mau pusing kepala adalah ulama Persis. Bagi mereka, label "dijamin halal" di suatu produk, misalnya, tetap ditafsirkan sebagai versi penjual. "Kami belum percaya penuh, karena tak ikut meneliti sendiri. Karena itu, hukumnya tetap syubhat, dan sebaiknya memang dielakkan," ujar Abdul Qadir. Pimpinan Pondok Pesantren Persis, Bangil, Jawa Timur itu memang mau praktis saja menentukan hukum. "Bagi kami fikih itu, ya, hadis. Kalangan yang memakai fikih tradisional itu njlimet dan sering membingungkan," katanya. "Karena itu, kami langsung mengambil dari sumber aslinya." Mengambil hukum dengan mengacu kepada fikih tradisional, katanya, "Biasanya orang cenderung yang enaknya saja." Memang, padahal Rasulullah telah berpesan, "Yang halal itu jelas dan yang haram juga sudah jelas. Dan di antara keduanya ada beberapa perkara yang belum jelas atau syubhat." Tapi yang penting, keputusannya selalu pada apa kata hati untuk menentukan pilihan. "Mintalah fatwa itu dari hatimu sendiri," sabda Nabi. "Dan itu bukan berarti kalau sudah tahu barang haram, lalu diterjang begitu saja," kata Amin Jamal yang dari Muhammadiyah tadi. Zakaria M. Passe, Ahmadie Thaha, dan Syafiq Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini