Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Tanda Kecerdasan Emosional, Bukan Cengeng

Menangis saat menonton film merupakan bentuk empati. Empati merupakan salah satu komponen utama emotional intelligence (EQ).

1 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi menangis. Foto: Pexels

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menangis saat menonton film kerap diasosiasikan sebagai kecengengan. Padahal itu bisa jadi adalah tanda kecerdasan emosional.

  • Penelitian mendapati film yang apik merangsang hormon oksitoksin dan meningkatkan respons emosional.

  • Menangis sebagai respons menonton film merupakan bentuk empati, dan empati merupakan salah satu komponen utama emotional intelligence (EQ).

Mungkin kamu pernah menangis diam-diam atau bahkan tiba-tiba terisak tak terkendali saat menonton film. Film yang sering menjadi penyebabnya antara lain Marley and Me, The Color Purple, Schindler’s List, dan The Lion King.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kamu mungkin pernah mencoba menangis diam-diam agar temanmu yang bermata kering tidak mengira kamu cengeng (dan bisa saja kamu melirik ke samping untuk melihat apakah mereka juga berkaca-kaca), atau kamu mungkin berani menangis lepas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengapa kita menangis saat menonton film? Apakah ini merupakan tanda kelemahan emosional (sehingga kita menyembunyikannya dari teman-teman) atau indikator kekuatan—bukti kecerdasan emosional?

Film yang bagus dibuat dengan teliti untuk melibatkan kita dan membuat kita terserap secara mendalam. Film-film tersebut membawa kita ke dalam dunia karakternya: melihat apa yang mereka lihat, merasakan apa yang mereka rasakan, dan bahkan benar-benar mengidentifikasi diri kita dengan karakternya dalam beberapa situasi. Kita tahu bahwa film tidaklah nyata, tapi kita begitu asyik dengan film sehingga bereaksi secara emosional seolah-olah film itu nyata.

Beberapa film didasarkan pada kisah nyata, dan mengetahui hal tersebut membuat film menjadi lebih kuat. Kekuatan emosional beberapa film sangat menawan: film itu tidak disebut sebagai film yang menguras air mata tanpa alasan.

Hormon Cinta

Ahli saraf Paul Zak telah mempelajari efek dari cerita-cerita yang menarik, yang menunjukkan bahwa menonton cerita-cerita tersebut dapat menyebabkan pelepasan hormon oksitosin.

Oksitosin dikenal karena memiliki peran dalam persalinan dan menyusui, meningkatkan kontraksi selama persalinan, serta menstimulasi saluran susu. Hormon ini juga dilepaskan sebagai respons terhadap kontak fisik yang positif—berpelukan, berciuman, keintiman seksual, dan bahkan mengelus hewan—serta melalui interaksi sosial yang positif.

Karena itu, hormon ini disebut sebagai "hormon cinta".

Sebagai makhluk sosial, kelangsungan hidup kita bergantung pada ikatan sosial, dan oksitosin sangat penting. Hormon ini membantu kita mengidentifikasi serta terikat dengan pengasuh dan kelompok sosial yang melindungi.

Menurut ahli saraf lainnya, Robert Froemke, penelitian terbaru menunjukkan bahwa oksitosin memiliki dampak yang lebih luas dan bertindak sebagai "tombol volume", yang memperkuat aktivitas otak yang terkait dengan apa pun yang sedang dialami seseorang.

Ilustrasi laki-laki malu menangis saat menonton di bioskop. Foto: Unsplash

Jadi, meskipun oksitosin mungkin ditargetkan secara biologis untuk memastikan ikatan sosial yang kuat, hormon itu juga berfungsi meningkatkan respons emosional.

Menangis ketika menonton film adalah tanda bahwa oksitosin telah dipicu oleh hubungan yang kita rasakan karena pengalaman sosial. Perhatian kita ditangkap dan emosi ditimbulkan oleh cerita film.

Oksitosin kemudian dikaitkan dengan perasaan empati dan kasih sayang yang meningkat, yang semakin mengintensifkan perasaan keterhubungan sosial dan membuat kita lebih memperhatikan isyarat sosial dari karakter dalam film. Itulah penyebab luapan emosi yang tiba-tiba!

Empati Adalah Tanda Kekuatan

Empati adalah salah satu komponen utama kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional merupakan  kemampuan mengidentifikasi dan mengatur emosi diri sendiri serta memahami dan mengelola emosi orang lain.

Menurut psikolog Daniel Goleman, empati adalah satu dari lima kunci karakteristik kecerdasan emosional—bersama kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, dan keterampilan sosial.

Kecerdasan emosional yang tinggi telah terbukti berkaitan dengan kepemimpinan yang efektif, kesuksesan profesional dan prestasi akademis, serta hubungan sosial dan hubungan intim yang lebih baik. Kecerdasan emosional juga berhubungan dengan kesehatan serta kesejahteraan psikologis dan fisik. Selain itu, kecerdasan emosional yang lebih tinggi membantu mengatasi stres dan konflik.

Menangis sebagai respons terhadap sebuah film menunjukkan empati yang tinggi, kesadaran sosial, dan koneksi—semua aspek kecerdasan emosional. Dengan demikian, ini merupakan indikator kekuatan pribadi dan bukan kelemahan.

Menangis secara terbuka bisa jadi merupakan tanda kekuatan tertentu karena hal ini menunjukkan bahwa seseorang tidak takut menunjukkan reaksi emosionalnya kepada orang lain.

Ilustrasi laki-laki menangis. Foto: Unsplash

Menangis Bukanlah Tanda Kelemahan

Menangis saat menonton film dipandang sebagai tanda kelemahan emosional karena menangis, terutama saat menanggapi rasa sakit orang lain, dipandang sebagai perilaku perempuan secara stereotipe.

Ditambah lagi dengan oksitosin—serta hubungannya dengan empati dan ikatan sosial—yang sangat terkait dengan melahirkan anak, juga pandangan bahwa menangis berhubungan dengan perempuan dan membentuk kelemahan.

Namun tidak ada yang lemah saat kita menunjukkan kecerdasan emosional. Menangis secara emosional adalah perilaku manusia yang unik. Film yang bagus membuat kita berada di dunia lain, memunculkan emosi yang kuat, dan memicu proses biologis dalam otak kita.

Tiba-tiba saja kita meneteskan air mata menunjukkan respons empati yang kuat. Menangislah dan banggalah dengan kecerdasan emosional kamu—dan carilah film yang menguras air mata untuk melihat respons emosional teman-temanmu.

---

Artikel ini ditulis oleh Debra Rickwood, guru besar psikologi University of Canberra. Terbit pertama kali di The Conversation.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus