SEJAK awal tahun ini pemerintah telah mengeluarkan Rp 127
milyar untuk subsidi gula. Ini untuk menutupi 25% dari kebutuhan
nasional (1,9 juta ton) yang masih diimpor dengan harga mahal.
Menghadapi kenaikan gula yang menggila orang-orang juga sibuk
antre membeli gula murah. Padahal tak usah makan gula pun tak
bakalan mati.
"Kita memang membutuhkan gula, tapi bukan gula pasir," kata
Walujo S. Soerjodibroto, 38 tahun, seorang ahli gizi dari
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Menurut sarjana yang mendapat gelar doktor dari London
University, Inggris itu, yang dibutuhkan tubuh adalah zat gula
yang disebut glukosa. Ini bisa diperoleh dari makanan
sehari-hari, seperti nasi, roti, sayur dan buah-buahan. "Melalui
proses metabolisme, semua makanan yang mengandung hidrat arang
itu akan berubah menjadi glukosa." ulasnya.
Makan gula dengan begitu hanya sekedar mengikuti selera
lidah saja. Dan untuk ini kebutuhan masyarakat meningkat terus.
Kalau pada tahun 1973 kebutuhan per kapita 7 kg, sekarang
menurut catatan Bulog sudah mencapai 12 kg. "Menurut pendapat
saya kebutuhan gula tidak mutlak-sebanyak itu. Tanpa makan gula
pasir, asal makan makanan pokok tak ada bahayanya," begitu kata
Hartono Hadiwignyo Mt'S dari Direktorat Gizi Departemen
Kesehatan.
Untuk keperluan tubuh saban hari diperlukan 188 gram
glukosa. Menurut Walujo S. Soerjodibroto jumlah itu sudah bisa
dicapai kalau menu makanan terdiri dari 60% hidrat arang yang
lazirn juga disebut karbohidrat. Glukosa sebanyak itu diperlukan
oleh serabut saraf, ginjal dan sel darah. Tapi yang paling besar
membutuhkannya adalah otak -- 1 44 gram.
Makanan yang ideal terdiri dari 60% hidrat arang, 15%
protein dan 10% lemak. Kalau ada sisa glukosa dari makanan tadi,
dia akan dibawa oleh darah ke seluruh jaringan tubuh dan
disimpan di dalam lever (hati) dan otot-otot. Karena itu oran'g
tak perlu khawatir tubuh akan kekurangan glukosa dengan
tiba-tiba.
Kalau glukosa belum diproduksi tubuh karena belum makan
misalnya, tubuh dengan sendirinya akan memproduksi glukosa yang
diambil dari cadangan yang terdapat di hati dan otot. "Hati itu
bisa dimisalkan seperti Bulog-nya tubuh kita. Karena dialah yang
mengatur distribusi glukosa yang tersimpan dalam cadangan," urai
Walujo.
Tapi untuk keperluan seketika gula memang penting. Misalnya
untuk mereka yang kelelahan dan ingin mengembalikan tenaga.
Kalau menggantungkan diri pada cadangan yang ada tentu
diperlukan proses untuk mengeluarkan glukosa dari hati dan
otot-otot. Dalam keadaan seperti ini memang sebaiknya energi
diambil secara langsung dari gula.
Buat mereka yang bekerja memeras keringat agaknya energi
seketika dari gula memang perlu. Sedangkan mereka yang bekerja
kurang mengandalkan tenaga, pemenuhan kebutuhan energi secara
cepat tidak perlu. Dikhawatirkan akan terjadi penimbunan glukosa
secara berlebihan dalam tubuh. "Kalau glukosa berlebihan tubuh
tentu akan blebekan (banjir) seperti halnya karburator yang
kebanjiran bensin," kata Walujo.
Kelebihan gula seperti itu menurut ahli gizi yang lain, dr.
Dien Tan, akan mengakibatkan kegemukan yang bisa merangsang
timbulnya berbagai penyakit. Misalnya diabetes, jantung dan
kerusakan pembuluh darah. Kalau orang yang terserang berusia
lanjut bisa kena rematik dan pegal-pegal karena infeksi.
Menurut Dien Tan gula pasir yang dikeranjingi masyarakat
banyak itu sudah tak mengandung gizi. Yang tinggal hanya
kalorinya. "Gula aren dan gula kelapa lebih baik nilai gizinya,"
kata Dien Tan. Kedua macam gula itu unggul dalam kalori,
protein, lemak dan zat-zat makanan yang lain.
Kanker Usus
Proses penggilingan tebu secara masinal menyebabkan
hilangnya zat makanan penting. Dalam proses pembuatan gula pasir
ada gula yang tidak bisa menjadi kristal. Gula yang tak bisa
dikristalkan ini disebut molasse atau tetes. Dien Tan
menyayangkan, tetes yang mengandung gizi lebih tinggi dari gula
pasir ini tidak diolah untuk makanan manusia. Tapi dijadikan
makanan ternak. Padahal, katanya, di beberapa negara maju gula
buangan ini jadi sumber makanan.
Kalau harus memilih, Walujo Soerjodibroto juga akan memilih
gula alami saja seperti gula merah, gula aren atau gula kelapa.
Paling baik adalah gula dari buah-buahan. Selain gula, dari sini
diperoleh pula serat yang sangat penting dalam mencegah kanker
usus.
Buat mereka yang sudah terbiasa memperoleh gula dari sumber
alami menurut Walujo sebaiknya kebiasaan ini dipertahankan.
Karena perubahan kebiasaan akan mengakibatkan guncangan. Untuk
mendukung pendapatnya ini ia mengambil contoh penduduk Pulau
Trestan Da Cunha di Laut Atlantik.
Penduduk di situ tidak mengenal gula pasir. Ketika gunung
berapi di pulau ini meletus tahun 1961, penduduk ramairamai
diungsikan ke Inggris. Di sana mereka beralih ke gula pasir.
Selang beberapa bulan gigi mereka mulai keropos. Kemudian
disusul penyakit jantung dan diabetes. Semuanya karena perubahan
gula alami ke gula pasir. Begitu menurut penelitian dokter
Inggris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini