Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gula Dan Keresahan Petani

Sejak zaman Belanda, penanaman tebu selalu merugikan petani. sawah mereka disewa dengan setengah paksa & petani bekerja di perkebunan tebu tanpa upah. Petani desa di Yogya protes pada th 1873.

22 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI tahun 1930, gula merupakan bahan eksporJawa yang terbesar dan yang membuat ekonomi penguasa kolonial jaya. Dilihat dari sudut ini maka gula adalah "de kurk waarop Java drijft" (gabus tempat pulau Jawa terapung di atas laut). Dalam tahun 1950-an dan 60-an ketika revolusi Indonesia belum selesai-selesai, orang baru mulai melihat pada pengaruh perkebunan kolonial, khususnya gula, atas perekonomian petani Jawa, sebab keadaan miskin dan keterbelakangan ekonomi persawahan diperkirakan dapat mempengaruhi arah ke mana revolusi ini berjalan. Seorang sarjana Amerika, Clifford Geertz, lalu melihat bahwa perkebunan dan pabrik gula inilah yang merupakan penyebab utama pemiskinan para petani sawah di Jawa. Gula tidak lagi dilihat sebagai bahan ekspor yang menguntungkan tetapi sebagai bahan peledak sosial atas mana Jawa hidup. Perkebunan tebu, seperti sawah, memerlukan tanah yang subur. Artinya keduanya memerlukan jenis tanah yang kirakira sama. Keduanya memerlukan air yang melimpah, dan keduanya memerlukan tenaga manusia yang banyak. Hal ini menyebabkan pertemuan antara Timur dan Barat di Jawa bukan suatu pertemuan antara dua kebudayaan (cultures) tetapi antara dua cultivation (penanaman). Dan lahirlah dua sistem perekonomian yang satu bersifat ekspansionistis kapitalistis (Barat), dan yang lain bersifat sebaliknya, yakni perekonomian sawah yang makin mundur-yang erfungsi tidak untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya, tapi pada pembagian hasil dan pekerjaan antara semakin banyak orang. Pembagian itu berlangsung melalui hubungan sosial ekonomi yang rumit dan ruwet seperti pahatan kursi Jepara. Dengan singkat Geertz mengatakan ekonomi sawah bersifat "involusi", mundur dan tidak evolusi, maju. Dan sebab dari ini adalah pabrik gula. Dalam sistem perekonomian tradisional, pada para petani diletakkan behan untuk "mendukung". Artinya membiayai pejabat setempat untuk kepentingan-kepentingan raja. Misalnya seorang bupati diberi sekian ratus petani yang disebut dengan istilah cacah (satu cacah = satu keluarga petani terdiri dari 4 orang laki = unit perpajakan dan militer). Sekian ratus petani ini memberikan upeti (pajak) dan tenaga kerja (bakti) mereka untuk keperluan pembiayaan baik pribadi maupun jabatan bupati. Tetapi sementara itu eksploitasi hutan kayu jati atau tambang salpeter (suwanda) juga dilaksanakan dengan cara yang sama: untuk membiayai jabatan bupati. Para petani harus bekerja pada tambang salpeter atau hutan kayu jati, membawanya ke kota keraton. Untuk pekerjaan ini mereka dibayar dengan tanah oleh raja. Dengan demikian para petani harus membagi waktu dan tenaganya antara kepentingan raja dan sawah mereka. Sistem yang sama dipakai untuk mensukseskan pabrik gula. Tapi eksploitasi terhadap rakyat oleh kerajaan tradisional lunak, karena tidak demikian efisien bila dibandingkan dengan eksploitasi dari pabrik gula yang jauh lebih bersifat mekanistis. Dengan kata lain, Belanda pun menempatkan petani yang hidup di desa-desa di sekitar satu pabrik gula sebagai "pendukung" pabrik itu. Tanah, bagi keperluan perkebunan tebu, disewa dari para petani dengan cara memaksa, melalui kepala desa atau penguasa Jawa tradisional seperti bupati. Untuk memperoleh tenaga kerja dari para petani Belanda selarna zaman Tanam Paksa (1830-1870) menggantipenarikan pajak tanah dalam uang atau hasil panen dengan tenaga kerja petani di perkebunan. Artinya para petani yang memiliki tanah, dan karena itu harus membayar pajak tanah, mengganti pembayaran ini dengan bekerja sebagai kuli perkehunan. Pajak tanah dipungut oleh Belanda dalam kuota kuli perkebunan dari desa-desa. Sehingga seorang sejarahwan Belanda mengatakan secara ironis: "Tidak ada pajak, tetapi penerimaan keuangan neara Yang lebih besar!". Untuk lebih mensukseskan pabrik gula maka tanah milik pribadi para petani dihapus. Sebab tentu tersebarnya petakpetak milik pribadi para petani dapat menghalangi penyewaan tanah luas oleh pabrik. Faktor lain yang menyebabkan hilangnya milik pribadi atas tanah adalah sistem penarikan kuota buruh dari desa. Para kuli perkebunan terdiri dari para "pemilik" taah. Ini terjadi, sebab kerja di perkebunan adalah pengganti bagi pajak tanah yang harus dibayar pemilik tanah. Hal ini pada gilirannya menyukarkan pemilikan tanah pribadi. Kadang-kadang pabrik dan perkebunan memerlukan 50% atau lebih dari penduduk desa sebagai tenaga buruh. Dengan singkat, jumlah pemilik atau penerima saham atas tanah di desa disesuaikan menurut kebutuhan akan tenaga kerja perkebunan gula. Dengan singkat, kedua kebutuhan pabrik gula, kebutuhan akan tanah dan tenaga kerja, menyebabkan penghapusan milik pribadi atas tanah. Tanah pun dinyatakan menjadi tanah desa, dengan pembagian antar penduduk desa, yang setiap tahun berbeda untuk dapat membagi beban kerja di perkebunan serata mungkin. Setelah tanam paksa dihapus maka para petani memang dibayar untuk kerja mereka di perkebunan tebu. Tapi uang upah yang diterima jauh lebih sedikit dari kebutuhan para petani, seperti untuk membayar pajakataumembeli barang tekstil. Begitu rupa halnya hingga seorang ahli ekonomi Belanda mengatakan, "Para petani membeli uang". Artinya mereka tidak dapat menimbun uang, dan uang yang diterima karena jasa kerja, penjualan panen, dan lainnya terpaksa keluar lagi dari desa. * * * Sistem yang menggantungkan perkebunan dan pabrik gula pada para petani pemilik tanah menyebabkan dua hal. Di satu pihak majunya produksi gula, dan di lain pihak keterbelakangan pertanian sawah. Yang terakhir ini sebab beban diletakkan justru pada golongan petani penguasa tanah, dari mana suatu kemajuan dalam pertanian sawah biasanya datang. Unsur penduduk dinamis dengan begitu ditekan oleh kepentingan negara kolonial, yang mengkaitkan produksinya dengan politik. Di lain pihak para kuli perkebunan dan palbrik tidak diproletariatkan seperti di Amerika Latin, sebab mereka tetap adalah petani kecil--di samping pekerjaan mereka sebagai kuli perkebunan pabrik gula. Unsur terakhir inilah juga memberikan sifat pada penindasan, dan juga perlawanan, di desa di sekitar perkebunan gula. Karena kebutuhan negara kolonial yang meningkat, maka diperkuatlah struktur kekuasaan tradisional di sekitar kepala desa dan pangreh praja. Tetapi sejak dahulu, kekuasaan itu di samping berdasarkan mitos legitimasi juga sebagian beroperasi dengan kekerasan sebagai dasar struktur feodal. Untuk keperluan memperoleh tanah dan tenaga dari desa, maka diperkuat juga para "political gangster" alias para tukang pukul. Mereka ini selama Hindia Belanda selalu hidup di bawah permukaan sambil ditutupi oleh semboyan ketenteraman dan ketaatan Trust en orde). Pabrik gula akhirnya tidak saja menyebabkan runyamnya ekonomi pertanian sawah, tetapi juga menyebabkan- runyamnya perkembangan demokrasi politik di desa. Dalam keadaan seperti itu muncullah sebagai titik terang perlawanan dari pihak petani pekerja desa, baik secara kolektif maupun pribadi. Di sekitar Yogyakarta umpamanya sudah sejak 1873 terlihat gejala protes terhadap rendahnya upah, beratnya kerja di perkebunan dan lainlain. Pada tahun 1882 (jadi jauh sebelum pergerakan nasional dan masuknya isme-isme) keresahan petani ini meledak. Demonstrasi dan pemogokan ribuan petani sertakuli perkebunan dan pabrik gula terjadi di Yogyakarta. Ini mungkin letupan pertama dari keresahan sosial yang berakar pada sistem ekonomu di atas. Petunjuk lain dari keresahan adalah naiknya kriminalitas, seperti kecu atau kampak (perampokan) dengan kekerasan. Selain itu perkebunan gula juga memberi kesempatan teror pada pribadi yang merasa dirugikan oleh perkebunan gula. Misalnya orang yang sawahnya disewa dengan harga terlalu rendah atau dipakai terlalu lama sehingga dapat membahayakan penanaman padi. Dalam hal itu seorang dengan mudah membakar kebun tebu. Gejala pembakaran kebun tebu ini pada dasawarsa pertama abad ke 20 sangat meningkat, yang mengakibatkan diperkuatnya barisan tukang pukul di desa. Dari uraian di atas ini maka terlihat bahwa apa yang biasanya disebut perlawanan terhadap kolonialisme Belanda itu sering bagi para petani tidak lain daripada perlawanan menghadapi pajak, kerja paksa dan persoalan seperti air, tanah dan lainlain. Perlawanan itu sering berorientasi ke perbaikan kondisi hidup, tetapi tidak bersifat revolusioner seperti yang mungkin bisa muncul dari suatu proletariat perkebunan pabrik gula. Para kuli perkebunan dan pabrik gula di Jawa tetap adalah petani pemilik tanah yang makin kecil dan terkebelakang dalam eksploitasinya, namun tetap merupakan pemilik, yang menjadikan radikalisme politik Jawa tetap {tetap bersifat) seperti "borjuis kecil"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus