SAMPAI tahun 1930, gula merupakan bahan eksporJawa yang terbesar
dan yang membuat ekonomi penguasa kolonial jaya. Dilihat dari
sudut ini maka gula adalah "de kurk waarop Java drijft" (gabus
tempat pulau Jawa terapung di atas laut).
Dalam tahun 1950-an dan 60-an ketika revolusi Indonesia
belum selesai-selesai, orang baru mulai melihat pada pengaruh
perkebunan kolonial, khususnya gula, atas perekonomian petani
Jawa, sebab keadaan miskin dan keterbelakangan ekonomi
persawahan diperkirakan dapat mempengaruhi arah ke mana revolusi
ini berjalan. Seorang sarjana Amerika, Clifford Geertz, lalu
melihat bahwa perkebunan dan pabrik gula inilah yang merupakan
penyebab utama pemiskinan para petani sawah di Jawa. Gula tidak
lagi dilihat sebagai bahan ekspor yang menguntungkan tetapi
sebagai bahan peledak sosial atas mana Jawa hidup.
Perkebunan tebu, seperti sawah, memerlukan tanah yang
subur. Artinya keduanya memerlukan jenis tanah yang kirakira
sama. Keduanya memerlukan air yang melimpah, dan keduanya
memerlukan tenaga manusia yang banyak. Hal ini menyebabkan
pertemuan antara Timur dan Barat di Jawa bukan suatu pertemuan
antara dua kebudayaan (cultures) tetapi antara dua cultivation
(penanaman).
Dan lahirlah dua sistem perekonomian yang satu bersifat
ekspansionistis kapitalistis (Barat), dan yang lain bersifat
sebaliknya, yakni perekonomian sawah yang makin mundur-yang
erfungsi tidak untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya,
tapi pada pembagian hasil dan pekerjaan antara semakin banyak
orang. Pembagian itu berlangsung melalui hubungan sosial ekonomi
yang rumit dan ruwet seperti pahatan kursi Jepara.
Dengan singkat Geertz mengatakan ekonomi sawah bersifat
"involusi", mundur dan tidak evolusi, maju. Dan sebab dari ini
adalah pabrik gula.
Dalam sistem perekonomian tradisional, pada para petani
diletakkan behan untuk "mendukung". Artinya membiayai pejabat
setempat untuk kepentingan-kepentingan raja. Misalnya seorang
bupati diberi sekian ratus petani yang disebut dengan istilah
cacah (satu cacah = satu keluarga petani terdiri dari 4 orang
laki = unit perpajakan dan militer).
Sekian ratus petani ini memberikan upeti (pajak) dan tenaga
kerja (bakti) mereka untuk keperluan pembiayaan baik pribadi
maupun jabatan bupati.
Tetapi sementara itu eksploitasi hutan kayu jati atau
tambang salpeter (suwanda) juga dilaksanakan dengan cara yang
sama: untuk membiayai jabatan bupati. Para petani harus bekerja
pada tambang salpeter atau hutan kayu jati, membawanya ke kota
keraton. Untuk pekerjaan ini mereka dibayar dengan tanah oleh
raja. Dengan demikian para petani harus membagi waktu dan
tenaganya antara kepentingan raja dan sawah mereka.
Sistem yang sama dipakai untuk mensukseskan pabrik gula.
Tapi eksploitasi terhadap rakyat oleh kerajaan tradisional
lunak, karena tidak demikian efisien bila dibandingkan dengan
eksploitasi dari pabrik gula yang jauh lebih bersifat
mekanistis.
Dengan kata lain, Belanda pun menempatkan petani yang hidup
di desa-desa di sekitar satu pabrik gula sebagai "pendukung"
pabrik itu. Tanah, bagi keperluan perkebunan tebu, disewa dari
para petani dengan cara memaksa, melalui kepala desa atau
penguasa Jawa tradisional seperti bupati.
Untuk memperoleh tenaga kerja dari para petani Belanda
selarna zaman Tanam Paksa (1830-1870) menggantipenarikan pajak
tanah dalam uang atau hasil panen dengan tenaga kerja petani di
perkebunan. Artinya para petani yang memiliki tanah, dan karena
itu harus membayar pajak tanah, mengganti pembayaran ini dengan
bekerja sebagai kuli perkehunan. Pajak tanah dipungut oleh
Belanda dalam kuota kuli perkebunan dari desa-desa. Sehingga
seorang sejarahwan Belanda mengatakan secara ironis: "Tidak ada
pajak, tetapi penerimaan keuangan neara Yang lebih besar!".
Untuk lebih mensukseskan pabrik gula maka tanah milik
pribadi para petani dihapus. Sebab tentu tersebarnya petakpetak
milik pribadi para petani dapat menghalangi penyewaan tanah luas
oleh pabrik. Faktor lain yang menyebabkan hilangnya milik
pribadi atas tanah adalah sistem penarikan kuota buruh dari
desa. Para kuli perkebunan terdiri dari para "pemilik" taah.
Ini terjadi, sebab kerja di perkebunan adalah pengganti bagi
pajak tanah yang harus dibayar pemilik tanah.
Hal ini pada gilirannya menyukarkan pemilikan tanah pribadi.
Kadang-kadang pabrik dan perkebunan memerlukan 50% atau lebih
dari penduduk desa sebagai tenaga buruh. Dengan singkat, jumlah
pemilik atau penerima saham atas tanah di desa disesuaikan
menurut kebutuhan akan tenaga kerja perkebunan gula. Dengan
singkat, kedua kebutuhan pabrik gula, kebutuhan akan tanah dan
tenaga kerja, menyebabkan penghapusan milik pribadi atas tanah.
Tanah pun dinyatakan menjadi tanah desa, dengan pembagian antar
penduduk desa, yang setiap tahun berbeda untuk dapat membagi
beban kerja di perkebunan serata mungkin.
Setelah tanam paksa dihapus maka para petani memang dibayar
untuk kerja mereka di perkebunan tebu. Tapi uang upah yang
diterima jauh lebih sedikit dari kebutuhan para petani, seperti
untuk membayar pajakataumembeli barang tekstil. Begitu rupa
halnya hingga seorang ahli ekonomi Belanda mengatakan, "Para
petani membeli uang". Artinya mereka tidak dapat menimbun uang,
dan uang yang diterima karena jasa kerja, penjualan panen, dan
lainnya terpaksa keluar lagi dari desa.
* * *
Sistem yang menggantungkan perkebunan dan pabrik gula pada
para petani pemilik tanah menyebabkan dua hal. Di satu pihak
majunya produksi gula, dan di lain pihak keterbelakangan
pertanian sawah. Yang terakhir ini sebab beban diletakkan justru
pada golongan petani penguasa tanah, dari mana suatu kemajuan
dalam pertanian sawah biasanya datang.
Unsur penduduk dinamis dengan begitu ditekan oleh
kepentingan negara kolonial, yang mengkaitkan produksinya dengan
politik. Di lain pihak para kuli perkebunan dan palbrik tidak
diproletariatkan seperti di Amerika Latin, sebab mereka tetap
adalah petani kecil--di samping pekerjaan mereka sebagai kuli
perkebunan pabrik gula. Unsur terakhir inilah juga memberikan
sifat pada penindasan, dan juga perlawanan, di desa di sekitar
perkebunan gula.
Karena kebutuhan negara kolonial yang meningkat, maka
diperkuatlah struktur kekuasaan tradisional di sekitar kepala
desa dan pangreh praja. Tetapi sejak dahulu, kekuasaan itu di
samping berdasarkan mitos legitimasi juga sebagian beroperasi
dengan kekerasan sebagai dasar struktur feodal.
Untuk keperluan memperoleh tanah dan tenaga dari desa, maka
diperkuat juga para "political gangster" alias para tukang
pukul. Mereka ini selama Hindia Belanda selalu hidup di bawah
permukaan sambil ditutupi oleh semboyan ketenteraman dan
ketaatan Trust en orde). Pabrik gula akhirnya tidak saja
menyebabkan runyamnya ekonomi pertanian sawah, tetapi juga
menyebabkan- runyamnya perkembangan demokrasi politik di desa.
Dalam keadaan seperti itu muncullah sebagai titik terang
perlawanan dari pihak petani pekerja desa, baik secara kolektif
maupun pribadi. Di sekitar Yogyakarta umpamanya sudah sejak 1873
terlihat gejala protes terhadap rendahnya upah, beratnya kerja
di perkebunan dan lainlain.
Pada tahun 1882 (jadi jauh sebelum pergerakan nasional dan
masuknya isme-isme) keresahan petani ini meledak. Demonstrasi
dan pemogokan ribuan petani sertakuli perkebunan dan pabrik gula
terjadi di Yogyakarta. Ini mungkin letupan pertama dari
keresahan sosial yang berakar pada sistem ekonomu di atas.
Petunjuk lain dari keresahan adalah naiknya kriminalitas,
seperti kecu atau kampak (perampokan) dengan kekerasan. Selain
itu perkebunan gula juga memberi kesempatan teror pada pribadi
yang merasa dirugikan oleh perkebunan gula. Misalnya orang yang
sawahnya disewa dengan harga terlalu rendah atau dipakai terlalu
lama sehingga dapat membahayakan penanaman padi. Dalam hal itu
seorang dengan mudah membakar kebun tebu. Gejala pembakaran
kebun tebu ini pada dasawarsa pertama abad ke 20 sangat
meningkat, yang mengakibatkan diperkuatnya barisan tukang pukul
di desa.
Dari uraian di atas ini maka terlihat bahwa apa yang
biasanya disebut perlawanan terhadap kolonialisme Belanda itu
sering bagi para petani tidak lain daripada perlawanan
menghadapi pajak, kerja paksa dan persoalan seperti air, tanah
dan lainlain. Perlawanan itu sering berorientasi ke perbaikan
kondisi hidup, tetapi tidak bersifat revolusioner seperti yang
mungkin bisa muncul dari suatu proletariat perkebunan pabrik
gula. Para kuli perkebunan dan pabrik gula di Jawa tetap adalah
petani pemilik tanah yang makin kecil dan terkebelakang dalam
eksploitasinya, namun tetap merupakan pemilik, yang menjadikan
radikalisme politik Jawa tetap {tetap bersifat) seperti "borjuis
kecil"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini