Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Tebu Itu Pahit Bagi Rakyat

Kenaikan harga gula belum memberikan keuntungan bagi petani tebu. petani tebu/tri lebih untung menanam padi/palawija. liku-liku dalam pelaksanaan tri sangat mencemaskan petani a.l dengann adanya pungutan-pungutan. (dh)

22 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GULA bukan hanya tak disenangi para penderita penyakit kencing manis. Tapi juga sesuatu yang terkadang terasa sakit di telinga para petani tebu. Terutama bagi petani Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) --baik ia berpenyakit gula atau tidak. Karena itu, harga gula di pasaran boleh terayun-ayun atau diatur setiap hari--seperti terjadi dalam beberapa minggu terakhir ini--tapi agaknya tak akan banyak berarti bagi para penanam bahan bakunya. Alasan: nilai keringat mereka masih dirasa tak memadai, bila dibanding dengan jumlah tetes tebu yang kemudian mereka dapat. Tebu, sebagai bahan pokok pabrikpabrik gula, didapat melalui penanaman oleh pabrik di atas tanah yang disewa dari pemilik tanah. Ini disebut tebu sewa. Ada juga hasil penanaman oleh petani di atas tanahnya sendiri. Dan terakhir ada yang melalui TRI: penanaman oleh petani di atas tanahnya sendiri, dengan bimbingan Badan Pelaksana TRI. Mulai musim tanam 1980/1981 sekarang, tebu sewa diganti dengan TRI. Sistem ini mengharuskan para pemilik tanah di daerah-daerah tertentu untuk hanya menanam tebu. Mereka kemudian harus menjual hasilnya dengan harga yang sudah ditentukan kepada pabrik. Karena itu ketak-puasan justru banyak datang dari para petani TRI. Di beberapa tempat, terutama di daerah pertanian yang sudah memiliki irigasi, petani beranggapan, bahwa menanam padi atau palawija jauh lebih menguntungkan dibanding tebu. Dengan bahan baku gula itu, petani baru dapat menikmati hasilnya setelah 16 hingga 18 bulan kemudian. Padahal, dalam jangka waktu selama itu, petani akan memungut hasil 2 hingga 3 kali panen bila tanah ditanami padi atau palawija. Adiwarto, petani TRI di daerah Klaten (Ja-Teng) yang berada di lingkungan Pabrik Gula (PG) Gondang Baru, misalnya membuat perhitungan. "Satu patok tebu untuk satu musim (18 bulan) hanya menghasilkan uang Rp 150.000," tuturnya, "sedang kalau ditanami padi dalam waktu 18 bulan dapat 3 kali panen dengan hasil 3 kali lipat dibanding hasil tebu." Lebih tak sedap lagi pengalaman Yusak Pranoto, petani TRI di Desa Padomasan, Kecamatan Kencong, Jemoer yang biasa menjual tebunya ke PG Semboro. Dalam musim tanam tahun lalu, katanya, ia hanya mendapat uang Rp 200.000 dari tiap hektar tebunya. "Padahal kalau sawah itu saya sewakan kepada orang kaya di sini, tiap hektar dapat laku Rp 350.000 setahun--apalagi kalau saya garap sendiri," tambahnya. Toh Adiwarto dan Yusak tetap menimami sawah mereka dengan tebu, karena "sudah begitu ditentukan atasan." KETIKA mula-mula TRI harus dilaksanakan, tak sedikit petan yang kecewa. Malahan di Desa Pabuaran, Cirebon, puluhan petani mencoba memboikot Mereka tak mau menanam apa-apa--lebih-lebih karena pada musim panen I dan II hampir tak ada tebu yang dapat mereka pungut karena dilalap tikus. Tapi kemudian mereka melaksanakan TRI itu juga, "karena tak ada pilihan lain." Ketentuan tentang pelaksanaan TRI dikeluarkan melalui Inpres no. 9/1975. Maksudnya tak lain untuk memperluas areal penanaman tebu. Karena sebelum itu PG-PG mengeluh kekurangan areal tanaman tebu, sehingga target produksi jauh dari memadai, dan PG pun megap megap. Tiap petani TRI dirangsang dengan kredit dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai modal penggarapan, pembeli pupuk, obat-obatan anti hama, bibit, ongkos tebang dan pengangkutan serta biaya hidup selama tebu belum menghasilkan gula atau uang. Jumlah kredit tergantung pada letak, luas tanaman dan keadaan tanah berdasarkan penelitian Ketua Kelompok (mewakili beberapa petani), BRI dan pihak PG. Somawinata, petani TRI di Pabuaran (Cirebon) dengan areal tebu 5 hektar, misalnya untuk musim tanam 1980/ 1981 menerima kredit Rp 479.500. Uang ini diperincinya: biaya penggarapan Rp 200.000, membeli 7 kuintal pupuk Rp 45.500, obat antihama Rp 30.000, bibit Rp 9.000, ongkos tebang dan angkut Rp 125.000. Sisanya Rp 70.000. Ini untuk biaya hidupnya selama 18 bulan mengerjakan areal itu, sampai tebunya berubah jadi gula setelah digiling pabrik. Pinjaman tadi berbunga 1% setahun. Liku-liku dalam pelaksanaan TRI itu sendiri tak kurang mencemaskan petani. Pertama-tama, jabatan Ketua Kelompok, dipandang sebagai salah satu sumber kebocoran pendapatan petani. Sebab sang ketua inilah yang mengelola pengeluaran kredit--sekaligus menerima hasil penjualan gula dari pabrik. "Digunakan untuk apa saja uang kredit tadi, petani tidak pernah tahu persis -- begitu pula pendapatannya," kata H. Muanif Basuni, seorang petani di Jatiroto (Ja-Tim), di kawasan PG Jatiroto yang terkenal itu. Sebab, tambah Munif, bisa saja biaya pembabatan sawah tetap dikeluarkan meskipun kenyataannya tanah di sana sudah bersih. Ketua Kelompok sebenarnya harus dipilih oleh dan di antara para petani. Tapi dalam kenyataannya banyak ditentukan oleh lurah. Bahkan di beberapa desa bagian timur Kabupaten Cirebon, jabatan itu dikomersialkan--hampir sama dengan kebanyakan jabatan kepala desa. Juga proses produksi, maupun menentukan rendemen (kadar gula dari tebu), sering tak memuaskan banyak petani. Hasil penelitian Balai penyelidikan Perusahaan Perkebunan Gula (BP3G) menyebutkan, rendemen tebu milik pabrik gula rata-rata 9,60. Sementara itu tebu rakyat hanya 8,62. Akibatnya hasil gula dari areal tebu rakyat hanya 62,1 kuintal/hektar, sedang dari kebun pabrik 81,4 kuintal/hektar. Kecurigaan para petani timbul, karena sampai hari ini mereka tidak pernah mendapat penjelasan mengapa terjadi perbedaan begitu besar antara hasil mereka dengan hasil kebun milik pabrik. Berbagai macam pungutan juga memberatkan petani tebu. Di daerah Cirebon, pungutan itu ditetapkan 10% dari hasil gula, setelah dikurangi biaya eksploitasi. Ditambah berbagai pungutan lain, misalnya atas nama Adat Desa, sehingga semuanya berjumlah 12%: 6% untuk pengurus kelompok, Tripida desa 2%, Tripida kecamatan 2%, dan lain-lain 2%. Ini belum terhitung kewajiban membayar bunga kredit tiap bulan, cukai gula, karung, pajak penjualan, ongkos timbangan dan MPO. Di berbagai PG di kawasan Surakarta dan Banyumas, pungutan terhadap petani tebu berjumlah 9 macam. "Entah untuk apa-apa, saya sampai tak ingat lagi," keluh seorang petani TRI di daerah Karanganyar. Dari tanaman tebunya, tiap petani akan- menerima imbalan berupa gula sebanyak 65% dari seluruh hasilnya. Yang 35% diambil pabrik sebagai upah giling. Untuk bagiannya si petani menerima D0 yang menyebutkan jumlah kuintal gulanya yang ada di dalam gudang pabrik. Gula itu kemudian dilelang dengan patokan harga antara Rp 310 hingga Rp 320 per kg. Para pedagang boleh menawar lebih dari harga itu, tapi jika tidak, Bulog (Dolog) yang akan membelinya. Menurut Menterl Perdagangan Radius Prawiro, harga baru dan sistem pembelian oleh Dolog dimaksudkan untuk menolong para petani. Yaitu memotong jalur tengkulak yang selama ini mengijon para petani tebu. Dari harga dasar Rp 310 hingga Rp 320 per kg tadi, yang benar-benar akan jatuh di kantung petani sekitar Rp 260 sampai Rp 270/kg. Yaitu setelah dipotong berbagai pungutan tadi. Petani tebu yang tak sabar, biasanya menyerahkan batang tebunya kepada pedagang (tengkulak) begitu tiba saat tebang. Si petani tak mau tahu berapa kuintal jumlah tebu maupun gulanya kelak yang penting ia segera menerima pembayaran dari si tengkulak untuk tiap hektar tanamannya. Kebiasaan ini tentu saja kerap membuat petani gigit jari, jika begitu selesai masa giling, harga gula ternyata naik. Dan itu misalnya terjadi di Sragen belum lama ini. Seorang pedagang, melalui lelang resmi, berhasil membeli hampir 15.000 kuintal gula milik petani dengan harga Rp 28.550/kuintal. Maka, ketika pemerintah menetapkan harga gula af-pabrik menjadi Rp 350/kg sejak 21 Oktober lalu, para petani pun berputih mata menghitung keuntungan si pedagang. Adapun ketetapan pemerintah tentang harga baru bagi gula itu tampaknya belum seluruhnya memuaskan hati petani. Sebab dari Rp 350/kg itu, harga yang sebenarnya diterima petani hanya Rp 307, setelah dipotong cukai, uang karung, MPO dan seterusnya. Padahal banyak pedagang yang bersedia membeli Rp 330/kg langsung dari petani," ung kap seorang pegawai musiman PG Madukismo (Yogya), Hadi Prabowo. Dalam ketetapan pemerintah 21 Oktober itu disebutkan bahwa yang berhak- membeli gula dari pabrik hanya Dolog--sedangkan sebelumnya pembelian dapat dilakukan oleh Dolog maupun pedagang melalui lelang. Dengan harga itu Dolog (Bulog) akan menjual kepada para agen dengan harga Rp 360/kg dan sampai ke tangan konsumen tak lebih dari Rp 380 hingga Rp 400/kg. Karena itu Wakil Ketua KUD Tani Binangun di Bantul (Yogya), Warnodihardjo, menyimpulkan, bahwa ketetapan harga baru af-pabrik itu merugikan petani. Petani, dalam hal itu, tak dapat menjual gulanya lagi kepada pedagang secara langsung. Mereka hanya bisa menjual kepada Dolog dengan harga yang telah ditentukan. "Padahal harga di pasaran sekarang cukup tinggi," kata Warnodihardjo. Tapi tak semua orang sependapat. Petani Munif di Jatiroto melihat ketentuan harga baru dan monopoli oleh Dolog itu akan menguntungkan petani. "Agar petani tak jadi bulan-bulanan pedagang," ucapnya. Tapi Munif menambahkan, dalam penyaluran gula itu selanjutnya hendaknya Dolog menyerahkannya kepada KUD milik para petani tebu. "Agar petani menikmati subsidi gula, yang biasanya diberikan kepada para penyalur," katanya. Dengan begitu Munif berharap KUD petani tebu akan mempunyai modal. Dan kalau modal petani sudah dirasa cukup kuat, menurut Munif apa salahnya pemerintah megharuskan PG-PG menjual sahamnya kepada para petani tebu. "Dan semua itu akan membuat petani bergairah menanam tebu," tambah Munif yang tamatan pesantren Gontor itu. Sayang, tak seorang pun dari pihak perkebunan yang bersedia menanggapi kcluhan maupun usul para petani tadi Namun rupanya harga beh Dolog itu masih jauh dari memuaskan Direktur PG Madukismo, Ir. Noerjono. Sebab, katanya, harga gula seharusnya 2 kali harga beras (di tingkat eceran). Ia mengambil contoh November 1980 ini. Harga rata-rata beras Rp 230/ kg, sehingga seharusnya harga gula Rp 460/kg. Harga ini masih jauh lebih rendah dibanding harga pembelian gula impor oleh pemerintah yang kalau dirupiahkan Rp 700/kg. Apapun tujuan pemerintah dengan peraturan baru mengenal tata-niaga gula, yang pasti hingga pekan lalu harga gula belum stabil. Begitu pula perbedaan harga di pasaran masih banyak berbeda antara berbagai daerah, meskipun telah dilakukan injeksi di pasar-pasar. Di Jakarta misalnya tercatat harga antara Rp 400 hingga Rp 425 per kg. Di Pati sekitar Rp 500/kg, Klaten antara Rp 450 sampai Rp 600 dan di Kota Surabava Rp 550/kg. Tapi mungkin saja harapan pemerintah akan tercapai: dengan penetapan harga beli baru, para petani Insya Allah akan lebih terangsang menyediakan petak sawahnya bagi tebu. Sehingga jumlah gula impor yang saat ini hampir 1/4 dari kebutuhan (tahun ini hampir 2 juta ton) makin kecil. Harapan itu ada dasarnya. Terutama bila dikaitkan dengan rencana pemerintah untuk merehabilitasi 27 buah pabrik. "Kalau rehabilitasi itu semua sudah selesai, produksi gula kita dapat mencapai 1,7 juta ton/tahun," kata seorang anggota direksi PNP XX. Rehabilitasi itu diperkirakan akan menelan biaya Rp 31 milyar. Keadaan pabrik gula di lndonesia kini umumnya sama: tua, dengan peralatan tambal sulam. Dari 62 PG yang ada di Jawa (12 buah di antaranya milik swasta), hanya 4 buah yang dapat dikatakan baru. Yaitu Madukismo di Yogyakarta, Jatitujuh di Majalengka, Pesantren Baru di Kediri dan Krebet Baru di Malang. Selebihnya adalah sisa-sisa peninggalan Belanda--rata-rata berusia 80 tahun. Bahkan PG Kali Bagor di daerah Surakarta didirikan di tahun 1835. Meskipun hampir tak pernah terdengar macet, ketuaan usia PG-PG itu tetap menciutkan kapasitas giling "Ratarata hanya mampu bergiling 70%," tutur seorang anggota direksi PTP di Ja-Tim. Untuk mempertahankan kapasitas itu pun perbaikan tambal sulam harus sering dilakukan. Dan ini tidak gampang: onderdil harus dipesan khusus, dari dalam maupun luar negeri. Dalam usia tua renta serupa itu, tentu saja PG-PG serupa itu, tentu sajaPG-PG tadi harus hidup terengah engah. Tak didapatkan angka pasti, PGPG mana yanguntung atau rugi. Tapi menurut Ir. Noerjono, salah seorang pimpinan PG Madukismo, pabrik ini rugi sampai Rp 852 juta pada 1978 (termasuk penyusutan Rp 430 juta). "Tapi, perusahaan telah memasukkan cukai dan lainlain kepada negara sebanyak Rp 1,1 milyar," tambah Noerjono, Karena itu, Noerjono mengusulkan agar segala jenis pajah yang memberatkan pabrik dipungut setelah diketahui bahwa pabrik sudah untung. "Sehingga, kalau pemasukan pemerintah yang Rp 1,1 milyar tadi dikurangi kerugian kami yang Rp 852 juta, masih terdapat untung," kata Noerjono. Keuntungan itulah baru yang dikenai pajak perseroan 50%, tambahnya. Sekarang, PG Madukismo sendiri menyatakan diri sudah mulai mengantungi keuntungan. "Meskipun sebenarnya masih sangat mepet," ungkap Presdir PG Madu Baru (Madukismo), Haji KGPH Mangkubumi. Ia melihat selisih harga di luar negeri maupun di pasaran dalam negeri masih terlalu jauh dibanding harga eks-pabrik. "Sehingga keuntungan lebih banyak dinikmati pedagang," tambah Mangkubumi. Rupanya kebijaksanaan pemerintah terhadap gula harnpir tak ubahnya dengan sistem Belanda dulu. Yaitu di dalam harga gula yang resmi, dimasukkan komponen-komponen pungutan: cukai, pajak penjualan dan MPO. "Semua pabriki harus menanggung beban itu, meskipun rugi." Kata Noerjono lagi. Dan keadaan serupa tambahnya benar-benar dapat mematikan PG swasta. Keluhan serupa tak hanya datang dari PG-PG swasta. Terlebih-lebih PG-PG milik PNP?PTP - sehingga setiap bulan pabrik-pabrik milik pemerintah ini harus disuapi subsidi. "Hanya pabrik yang mempunyai areal cukup luas yang masih bisa untung," ujar seorang anggota direksi PTP di Ja-Tim. Dan justru mendapat areal yang memadai ital. Sampai sekarang yang tetap jadi masalah hampir semua pabrik. PG Madukismo misalnya 1979/1980 mentargetkan areal tanaman tebu 5.000 hektar. Yang tercapai tak sampai 75%. Tahun 1980/1981, PG ini mentargetkan 5.000 hektar lagi. Yang terwujud hanya 65%. Semua mencakup TRI maupun non-TRI . Sementara itu PG di luar Jawa tampaknya berjalan seret. Kecuali barangkali PG Gunung Madu di Lampung. PG Cot Girek di Aceh misalnya, hanya mampu menghasilkan gula 839 ton sepanjang tahun 1978, dari areal tebu seluas 2.100 hektar. Padahal di Jawa dengan areal yang sama dapat dihasilkan 1.800 ton. Keadaan serupa itu juga terjadi di beberapa PG Mini, seperti di Silih Nara (Aceh) dan di Bone (Sul-Sel). Di Aceh, PG Mini yang diresmikan Presiden Soeharto akhir tahun lalu sampai sekarang belum berfungsi. Karena beberapa peralatannya belum dipasang, ia hanya mampu menghasilkan gula merah. Padahal, pabrik mini ini mampu menggilas 200 ton tebu dengan hasil gula 14 ton sehari. UNTUNG bahwa para petani di sekitar Silih Nara yang sudah telanjur menanam tebu, melanjutkan pengolahan tebu secara tradisional alat penggilingnya diputar oleh kerbau. Hasil perasnya dimasak di atas tungku. Produknya: gula merah, yangrupanyalaku juga di pasaran Medan sebagal bahan baku kecap maupun ramuan minuman Vigour. Barangkali karena melihat beberap. PG di luar Jawa kurang lancar, belum la ma ini terbetik berita: di Jawa akan se gera dibangun lagi 5 PG baru. Dua buah di antaranya sudah menemukan lokasi yaitu di Benculuk, Banyuwangi. Kepu tusan ini agak berbeda dengan "arus' yang menghendaki agar pembangunan PG baru dilakukan di luar Jawa supaya Jawa makin banyak menghasilkan beras. Mengapa perubahan rencana terjadi? "Setelah dipikir masak-masak, ternyata lebih ekonomis mengimpor beras daripada mengimpor gula," kata seorang ahli di BP3G Pasuruan, Jawa Timur. Apalagi, tambahnya, kalau harga gula di pasaran internasional sampai mencapai 1100 US dollar seperti sekarang--sama dengan Rp 687 per kg. Belum termasuk biaya angkut. Kalau demikian halnya, rencana pemerintah untuk membuka areal pertanian padi baru akan lebih banyak dilakukan di luar Jawa. Banyak yang mencemaskan bahwa ini akan menelan biaya lebih besar. Sebab harus dibangun irigasi irigasi baru yang selama ini boleh dikatakan masih cukup langka di luar Jawa. Biaya besar juga akan tersedot, bila pertanian padi di luar Jawa itu dilakukan dengan cara pasang surut--satu sistem yang sudah banyak dicoba selama ini di Sumatera dan Kalimantan, dengan hasil yang kurang memuaskan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus