Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Indonesia memulai terapi plasma konvalesen sebagai pengobatan tambahan untuk pasien Covid-19.
Terapi plasma ini sebelumnya digunakan di negara lain dalam penanganan kasus wabah SARS, MERS, dan flu burung.
Tiga pasien di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto membaik setelah menerima terapi ini.
SEBULAN setelah dinyatakan sembuh dari penyakit akibat virus corona alias Covid-19, Ratri Anindyajati kembali berurusan dengan rumah sakit. Pada 18 April lalu, perempuan 33 tahun itu berangkat ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, untuk mendonorkan plasma darahnya. Sebanyak 200 mililiter plasma darah Ratri diambil untuk mengobati para pasien Covid-19. “Itu pertama kalinya dalam hidup saya menjadi donor darah,” kata Ratri pada Senin, 11 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratri adalah pasien ketiga yang divonis menderita Covid-19 di Indonesia pada awal Maret lalu. Bersama ibunya, Maria Darmaningsih, dan adiknya, Nursita Tyasutami, yang juga terinfeksi virus SARS-CoV-2, Ratri dirawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta Utara. Pada pertengahan Maret, mereka dinyatakan sembuh dan diizinkan pulang. Dua minggu berselang, mereka dikunjungi tim dokter RSPAD dan RSPI. “Kami berdiskusi tentang kemungkinan mendonorkan plasma darah,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka tertarik membantu para pasien Covid-19, tapi sempat ragu menjadi donor plasma. Sita—panggilan Nursita—menurut Ratri, takut pada jarum suntik. Sedangkan Maria dulu pernah beberapa kali hendak menjadi donor, tapi ditolak karena tekanan darahnya rendah. Toh, mereka bersedia memberikan sampel darahnya untuk diperiksa. “Kami ingin tahu hasilnya layak atau tidak menjadi donor,” tutur Ratri.
Dua pekan setelah pertemuan itu, Ratri mendonasikan plasma darahnya di RSPAD Gatot Soebroto. Proses pengambilan plasma darah (plasmaferesis) itu selesai dalam waktu sekitar 50 menit. Ratri mengatakan dia bukan orang pertama yang menjadi donor plasma untuk pengobatan pasien Covid-19. “Dokter di RSPAD sempat menunjukkan kantong berisi plasma orang lain yang dipakai untuk pengobatan pasien,” ucap produser seni independen itu.
Penyintas Covid-19 seperti Ratri memiliki antibodi di plasma darahnya yang bisa menetralkan virus corona. Antibodi itulah yang ditransfusikan ke tubuh pasien dalam terapi plasma konvalesen. Indonesia memulai riset terapi ini sebagai pengobatan tambahan bagi pasien Covid-19. “Seperti imunisasi pasif, bisa mempercepat proteksi tubuh sambil menunggu vaksinasi,” kata Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio.
Plasma dari para donor bisa langsung digunakan dalam terapi atau disimpan untuk sesi berikutnya. Meski demikian, menurut Amin ketika dihubungi pada Sabtu, 9 Mei lalu, terapi plasma bukan pengobatan yang dapat digunakan secara massal layaknya obat yang diminum. “Penerimanya perorangan, golongan darahnya harus sesuai, dan status antibodi lain dalam plasma dicek ulang agar tak menimbulkan reaksi lain saat transfusi,” ujarnya.
Terapi plasma telah digunakan dalam pengobatan penyakit menular sejak lebih dari seabad silam, antara lain terhadap korban pandemi flu Spanyol pada 1918. Terapi plasma sukses dipakai untuk menangani sindrom pernapasan akut parah (SARS) dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS), yang sama-sama dipicu virus corona. Terapi ini juga membantu pengobatan penderita ebola dan pasien wabah flu babi H1N1 yang melanda dunia pada 2009.
Namun sejumlah laporan menunjukkan virus corona pada sejumlah pasien Covid-19 yang tadinya dinyatakan sembuh ternyata bisa aktif kembali. Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga belum bisa memastikan orang yang sembuh bisa kebal terhadap Covid-19. Belum ada obat atau vaksin untuk mengalahkan penyakit ini. Terapi plasma pun menjadi alternatif pengobatan yang dipilih.
Cina memulai riset terapi plasma konvalesen ini terhadap lima pasien Covid-19 dengan kondisi kritis di Kota Shenzen pada Januari-Maret lalu. Dinilai aman dan efektif, terapi dilanjutkan terhadap lebih dari 300 pasien. Pengobatan ini juga dilakukan di Jepang, Korea Selatan, Belanda, Spanyol, dan Prancis. Amerika Serikat bahkan melibatkan lebih dari 1.500 rumah sakit dalam riset terapi ini.
Sejumlah penelitian menunjukkan rasio titer antibodi atau kadar antibodi dalam plasma yang menjadi patokan untuk bisa menetralkan virus corona. Badan Pengawas Obat dan Pangan Amerika Serikat (FDA) mematok titer antibodi 1 : 160, sementara Komisi Eropa merekomendasikan kadarnya 1 : 320. “Laporan dari Cina menunjukkan minimal titer 1 : 80 sudah bisa,” tutur Amin.
Menurut Amin, Lembaga Eijkman akan membantu meneliti kadar titer antibodi yang bisa menjadi patokan dalam riset terapi plasma di Indonesia. Penelitian titer antibodi ini membutuhkan pengujian lebih kompleks di laboratorium dengan standar keamanan biologis level 3. Durasi pengujiannya membutuhkan waktu lima-tujuh hari. “Jadi jika dapat plasma yang cocok langsung diberikan saja. Kalau menunggu uji titer antibodi dulu, pengobatan pasien bisa terlambat,” katanya.
RSPAD Gatot Soebroto menjadi lembaga pertama di Indonesia yang menjalankan riset terapi plasma konvalesen terhadap pasien Covid-19. Berkolaborasi dengan Lembaga Eijkman dan produsen vaksin Bio Farma, rumah sakit ini berhasil mengumpulkan 17 kantong plasma dari 21 donor. Menurut laporan yang diunggah di situs Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat pada Selasa, 12 Mei lalu, kondisi tiga pasien Covid-19 yang telah menjalani terapi sudah membaik. Setiap pasien mendapat transfusi plasma 100 mililiter dalam beberapa tahap dan kondisinya terus dievaluasi tim medis.
Tim Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin, Bandung, juga akan menggelar riset terapi plasma. Mereka berkolaborasi dengan sejumlah dokter dan peneliti dari perguruan tinggi lain dalam menyusun protokol terapi plasma. “Terapi ini bagus dan memungkinkan dilakukan, karena Covid-19 belum ada obatnya,” ucap guru besar Universitas Padjadjaran, Tono Djuwantono, pada awal April lalu.
Adapun tim medis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Jakarta berkolaborasi dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memulai riset terapi ini. Ketua tim peneliti RSCM-FKUI, Andri Lubis, mengatakan terapi plasma darah di bidang hematologi dan onkologi sudah lazim dilakukan. Namun metode ini tidak digunakan karena kasus-kasus yang ditemukan di Indonesia tidak seberat di negara lain. Terapi ini baru diterapkan terhadap 30 pasien Covid-19. “Prioritas untuk pasien dengan kondisi sakit berat,” tutur Andri.
Sejak rencana riset diumumkan dua pekan lalu, sekitar 30 orang mendaftar menjadi donor plasma. Tim RSCM-FKUI memberikan syarat ketat, termasuk hanya menerima donor laki-laki. Calon donor juga harus menjalani kembali uji usap demi memastikan keamanan plasma. “Donor yang pernah tiga-empat kali swab test tetap kami uji untuk memastikan kondisinya,” kata anggota tim peneliti, Cosphiadi Irawan.
Cosphiadi mengatakan perempuan belum dapat menjadi donor dalam riset ini karena pertimbangan risiko munculnya antibodi anti-human leukocyte antigen, terutama pada mereka yang pernah hamil. Meski tidak menimbulkan risiko di tubuh donor, antibodi ini justru berbahaya bagi penerima plasma. “Bisa berupa penolakan terhadap plasma tersebut,” ujarnya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo