Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Terpasung Penyakit Langka

Pepeng mengidap sklerosis multipleks sampai lumpuh kakinya. Inilah penyakit langka yang belum ditemukan obatnya.

19 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Azan magrib baru saja usai, Rabu pekan lalu. Di ruangan depan rumahnya, di kawasan Cinere, Depok, seorang lelaki berusia 51 tahun duduk dengan tenang di kursi roda. Matanya menatap ke arah imam salat yang berdiri di depannya. Ketika salat dimulai, dia pun mengikuti gerakan imam sebisanya. Kedua tangannya bisa bersedekap, tapi kakinya tetap lemah terkulai di kursi roda.

Dialah Ferrasta Soebardi alias Pepeng. Namanya melambung ketika membawakan acara kuis Jari-jari di sebuah stasiun televisi swasta. Dia tidak leluasa lagi beraktivitas karena sejak awal Juli lalu terserang kelumpuhan. Sempat beberapa saat sembuh, tapi kemudian lumpuh lagi. ”Saya terkena multiple sclerosis,” katanya kepada Tempo.

Kepastian didapat setelah Pepeng menjalani sejumlah pemeriksaan medis pada awal November lalu. Profesor Jusuf Misbach, ahli penyakit saraf dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, terlibat dalam pemeriksaan ini. Selain dideteksi dengan magnetic resonance imaging (MRI), contoh cairan otaknya juga diambil dengan menyedotnya dari sumsum tulang belakang. Cairan ini kemudian dikirim ke Amerika Serikat untuk dianalisis.

Meski kaget dengan nama penyakit yang terbilang baru di telinganya, Pepeng merasa lega. Sebelumnya, dokter yang menanganinya sempat menduga kelumpuhan terjadi akibat adanya saraf yang terjepit atau kadar gula darah yang melonjak tinggi. Hasil tes di sebuah rumah sakit swasta di Cinere menunjukkan bahwa dugaan itu salah dan penyebab kelumpuhan tak ditemukan.

Setelah bertemu Jusuf Misbach, barulah penyakit Pepeng bisa diungkap. Multiple sclerosis atau sklerosis multipleks adalah penyakit yang terjadi akibat kerusakan selubung serabut saraf pusat di otak. Asal-muasal penyakit ini sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Sejumlah ahli menduga penyakit ini disebabkan adanya otoantigen atau antigen yang timbul dari badan sendiri. Itu sebabnya, sklerosis dikategorikan sebagai penyakit otoimun. Antigen menjadi masalah bisa karena dipicu beberapa faktor seperti genetik, infeksi virus, atau lingkungan, misalnya udara dingin.

Serabut saraf yang sehat selalu dikelilingi myelin, suatu zat lemak yang memudahkan pengiriman pesan-pesan dari sistem saraf pusat ke bagian-bagian tubuh yang lain. Nah, pada penderita sklerosis, myelinnya rusak dan digantikan oleh jaringan yang mirip jaringan parut (scleros) alias sikatriks. Sementara itu, kata multiple menggambarkan adanya beberapa tempat di otak yang mengalami kerusakan. Akibat serangan ini, sejumlah fungsi organ tubuh terganggu.

”Gejala-gejala yang muncul pada penderita sklerosis multipleks beragam, tergantung saraf yang mengalami kerusakan,” kata Misbach. Bila saraf motorik yang rusak, penderita bisa mengalami kelumpuhan. Kalau saraf mata yang rusak bisa mengakibatkan gangguan penglihatan.

Orang yang menderita sklerosis bisa mengalami gangguan kesehatan berulang kali. Suatu saat mungkin sembuh sendiri, tapi di hari lain terjadi serangan lagi yang lebih hebat. Jika semula yang lumpuh kaki kanan, bisa saja serangan berpindah ke kaki kiri, tangan, atau mata.

Gejala penyakit ini pertama kali diungkap dan didokumentasikan oleh ahli saraf asal Prancis, Dr Jean Martin Charcot, pada 1868. Menurut data yang dilansir Wikipedia, gejala sklerosis yang lazim ditemui adalah perubahan rasa pada tangan, kaki, dan wajah (33 persen), gangguan penglihatan, baik sebagian atau total (16 persen), badan lemah (13 persen), pandangan ganda (7 persen), sempoyongan (5 persen), dan masalah keseimbangan (3 persen). Di luar itu, ditemukan juga gejala seperti sulit bicara, tremor (gemetaran), kram pada tangan, susah buang air besar dan kecil, gangguan fungsi seksual pada laki-laki, dan kehilangan libido serta susah orgasme pada wanita.

Beberapa gejala itu sempat dialami Nyonya Fyanthi Irma, 39 tahun. Sejak 2001, warga Matraman, Jakarta Timur, ini mengalami kesemutan, mati rasa, kram, kelumpuhan, penglihatan kabur, susah buang air kecil, dan sebagainya. Gangguan kesehatan itu hilang-timbul beberapa kali. Bahkan, saat kondisi kakinya membaik, ibu dua anak ini sempat menyetir mobil dan menjemput anaknya sekolah. Namun, sejak Oktober tahun lalu, kondisinya terus memburuk. Tiga bulan kemudian, Irma harus menggunakan kursi roda hingga sekarang.

Irma sudah mendatangi sejumlah klinik dan dokter. Pengobatan alternatif seperti reiki pernah dicobanya. Dia juga pernah menjalani pemeriksaan di laboratorium untuk mengetahui adanya virus Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes (TORCH). Irma baru diketahui mengidap penyakit sklerosis multipleks setelah bertemu dengan dokter Jusuf Misbach.

”Dokter mendiagnosis sklerosis multipleks pada akhir Januari lalu,” kata Herry Pranotho, suami Irma. Pengecekan silang antara gejala yang muncul dan hasil tes MRI menjadi landasan diagnosis itu.

Saat ditemui Tempo pekan lalu, wanita berambut sebahu itu tengah menonton televisi. Kakinya masih lumpuh, sementara tangannya masih bisa difungsikan. ”Dia bisa mencuci dengan mesin cuci,” kata Herry.

Selama ini dokter kerap mengalami kesulitan dalam mendiagnosis penyakit sklerosis. Gejala penyakit ini memang mirip penyakit lain seperti stroke, radang otak, infeksi, tumor, dan masalah otoimun lain seperti lupus. Untuk memastikannya dokter mesti mencocokkan gejala klinis, laboratorium, dan radiologi. Pemeriksaan dengan MRI dan tes cairan otak (cerebrospinal fluid) penting juga dilakukan.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), saat ini ada sekitar 2,5 juta pengidap multipleks dan sekitar satu persen di antaranya meninggal setiap tahun. Menurut Misbach, penyakit ini jarang ditemukan di Indonesia. Ia pernah meneliti jurnal kedokteran dan saraf sepanjang 2000-2004 dan tak menemukan satu kasus pun tentang sklerosis multipleks. Baru tahun ini, dalam pertemuan ahli saraf ASEAN di Jakarta, Misbach melaporkan adanya dua kasus penyakit yang biasa menyerang orang dalam usia produktif (20-40 tahun) ini.

Langkanya penyakit ini tidak bisa dijadikan alasan bagi dokter untuk mengabaikannya. ”Dokter ahli saraf harus bisa mendiagnosis sklerosis,” kata Misbach. Setelah itu dokter mesti menentukan terapi yang tepat.

Obat yang benar-benar bisa menyembuhkan penyakit itu belum ditemukan. Sejauh ini penggunaan obat interferon Beta dinilai cukup membantu. Merujuk sebuah penelitian, Misbach menyebutkan, pasien yang diberi interferon selama 2-4 tahun sklerosisnya tak bertambah parah, meski tak juga sembuh. Hal sebaliknya terjadi dengan pasien sklerosis yang tidak diberi interferon. Sayangnya, harga obat ini terhitung mahal. Dalam sebulan, pasien harus mengeluarkan duit Rp 10 juta.

Irma kini juga mencoba menggunakan interferon. ”Hasilnya, kita masih tunggu,” kata Herry. Sebelumnya dia telah memakai tiga obat jenis lain seperti methylprednisolone.

Selain interferon, dokter masih bisa meringankan penderitaan pasien dengan memberikan obat untuk mengurangi gejala sakit, seperti antinyeri atau antikaku.

Jika biaya menjadi kendala, pengobatan alternatif bisa dipilih. Dibimbing seorang dokter di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang, belakangan Pepeng rutin mengonsumsi vitamin C dan Omega-3 dosis tinggi. Dia juga menjalani diet makanan dengan ketat. Sudah sebulan, pria kelahiran Madura itu tak lagi makan nasi. Menu tiap harinya diganti dengan salad, telur, pepes ikan, kacang-kacangan, alpukat, dan sejenisnya. Ayah dari empat anak ini mengatakan, ia telah mengubah kebiasaan mengkonsumsi makanan enak ke makanan sehat.

Terapi itu membuahkan hasil. Pepeng kini merasa tubuhnya lebih segar. Gejala sklerosis, seperti susah buang air kecil dan sering gemetar, tak kambuh lagi dan kelumpuhan kakinya berkurang. Sekarang dia bisa mengangkat kakinya dengan mudah, hal yang dulu amat sulit dilakukan. Tangannya yang dulu sempat lumpuh juga kembali berfungsi. Walhasil, tak sulit lagi baginya mengangkat tangan dan mengacungkan jari telunjuk, lalu berteriak, ”Jari-jari…!” seperti yang dulu biasa dilakukannya di layar televisi.

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus