Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sore itu hujan tak jadi turun. Beberapa jam sebelumnya, Sakia Sunaryo memandang langit yang keruh bersama sebatang rokok kretek. Ia gelisah. Hujan berarti tiada penonton yang datang, dan itu berarti mereka tidak makan malam.
Sakia, 57 tahun, seorang waria. Wajahnya cokelat, banyak keriput, kepalanya plontos. Ia pemimpin Ludruk Irama Budaya, Surabaya, dan malam itu ia melakukan sesuatu yang tak disukainya. Pertunjukan saat itu hanya sanggup mengumpulkan 15 penonton.
Malam itu Irama Budaya seharusnya mementaskan Melik Nggendhong Lali (Melupakan Sesuatu yang Sangat Berarti). Tapi Sakia dan kawan-kawan telah terikat pada aturan: bila jumlah penonton di bawah 20 orang, mereka hanya menampilkan tari remo dan lawakan, tanpa berlanjut ke cerita utama. Mereka dapat membaca, penonton akan kecewa tapi tidak melontarkan protes.
Ludruk Irama Budaya berdiri pada 1987. Usianya bertambah terus, begitu pula umur penontonnya. Mereka penonton istimewa dengan loyalitas luar biasa. Sakia dan kawan-kawan sudah hafal perilaku penggemarnya: setiap malam Minggu jumlah mereka berlipat, mencapai 50 hingga 70 orang. Mereka adalah para penonton yang telah menempuh jalan sangat panjang sebelum tiba dalam ruang pertunjukan di Jalan Pulo, Wonokromo, Surabaya, itu. Mereka naik mobil angkutan umum atau becak. Sampai di ruang pertunjukan, biasanya tubuh mereka berkeringat.
Baru empat bulan Ludruk Irama Budaya memakai gedung pertunjukan itu. Ketika pertunjukan berjalan, para penonton biasa menghirup bau tidak sedap yang merebak dari selokan di sisi panggung.
Panggung 6 x 4 meter persegi hanya memiliki dua gambar latar belakang kusam. Di samping kiri dan kanan panggung terdapat petak-petak kecil yang dipakai sebagai tempat tidur anggota ludruk, termasuk anak-anak dan keluarga mereka. Tempat rias ada di sisi kiri panggung, di atas ambin reot yang ada di sebelah selokan. Para pemain, termasuk para waria, berdandan bergantian menggunakan gincu, bedak, pensil alis, dan berbagai pemulas wajah yang disimpan di dua koper rias.
Ya, gedung pertunjukan juga asrama bersama. Sewanya Rp 500 ribu per bulan. Itu belum termasuk untuk membayar rekening listrik yang rata-rata Rp 200 ribu per bulan. Sebelumnya, mereka main sekitar tiga bulan di tanah kosong, tak jauh dari lokalisasi pelacuran Moroseneng.
Ludruk Irama Budaya beranggotakan 60 orang. Dan malam itu, Alwi, seorang bintang pengocok perut kelompok itu, mengaku menerima bayaran Rp 3.000. Sesuai dengan tarif selama ini, setiap penonton yang masuk harus membayar Rp 3.000. Entah bagaimana hitung-hitungannya, uang pemasukan yang dikutip dari 15 penonton malam itu dibagi-bagi, dan keajaiban terjadi: mereka makan malam dengan nasi bungkus.
Para seniman ludruk adalah orang-orang yang bertahan hidup. Panggung adalah kehidupan selepas Isya. Siang hari mereka bekerja serabutan di sekitar gedung pertunjukan: buka warung, mengelas, menjadi tukang parkir, menjadi kuli bangunan dan pemangkas rambut. ”Kalau tidak kerja sampingan, makan dari mana kita?” kata Satimo, salah seorang personel Irama Budaya.
Sakia sendiri pada siang hari membuka praktek paranormal. Ia seniman ludruk yang menguasai dua hal: seni ludruk dan kegigihan. Irama Budaya boleh dibilang satu-satunya ludruk tobong (keliling) yang masih eksis di Surabaya sekarang.
Sore itu, hujan tak jadi turun. Lelaki kelahiran Kampung Ploso, Surabaya, ini seolah kakek yang bercerita kepada cucunya. Ia mengenang periode emasnya, sewaktu ia masih bersama-sama kelompok ludruk Warni Sari, Mojokerto, 1970-1980-an, saat bayaran yang diterimanya setiap malam lebih dari cukup untuk ongkos hidup.
Tiga puluh tujuh tahun silam, seorang antropolog sosial dari Universitas North Carolina, Amerika Serikat, James L. Peacock, menerbitkan buku Rites of Modernization, Symbolic and Social Aspects of Indonesia. Buku itu baru tahun ini diterjemahkan, Ritus Modernisasi: Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia (2005). Peacock melihat dan membahas ”panasnya” ludruk sebelum peristiwa G30S.
Sebenarnya ludruk dipelopori oleh Santik, petani dari Desa Ceweng, Kecamatan Goda, Kabupaten Jombang, pada 1907. Waktu itu, Santik bersama dua kawannya, Pono dan Amir, mengamen dari desa ke desa. Wajah Pono dirias seperti perempuan, tapi dengan mimik lucu, sehingga lebih dikenal dengan sebutan wong lorek (orang belang).
Pada 1920-1930-an, ludruk yang lebih dikenal sebagai Lerok Besud, sering digunakan mengisi acara-acara komunal seperti pernikahan atau pesta-pesta rakyat lainnya. Di masa ini, penampilan ludruk tidak lepas dari ritual seperti menghormat dan menyalakan obor di empat penjuru angin. Di masa ini, kelompok-kelompok ludruk di Jawa Timur subur bermunculan.
Setelah itu, perlahan-lahan ludruk tumbuh sebagai media perlawanan. Pemicunya tekanan penjajah, baik Belanda maupun Jepang. Durasim pada 1933 mendirikan Ludruk Organizatie (LO) yang memainkan lakon-lakon menentang Jepang. Kidungan jula-juli, nyanyian yang mengawali pertunjukan ludruk, bekupon omahe doro, melok Nipon soyo sengsoro (bekupon rumah burung dara, ikut Jepang makin sengsara) menjadi sangat terkenal, sekaligus membuat Durasim dipenjara Jepang.
Masa berikutnya (1945-1965), ludruk digunakan sebagai alat propaganda kekuatan politik yang bersaing pada masa itu, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tentara (ABRI). Politisasi ludruk begitu menguat di era ini.
Ludruk Marhaen yang menjadi corong PKI kerap memainkan lakon-lakon jeritan penderitaan rakyat dan perlunya revolusi. Shamsudin, tokoh ludruk Marhaen, adalah orang yang dengan keras meyakinkan bahwa ludruk adalah ”anak kandung revolusi”. Dalam pidatonya pada Konferensi Ludruk 1960, Shamsudin menyebutkan, kebesaran ludruk terletak pada kontribusinya kepada revolusi dan kemajuan rakyat. Cerita-cerita ludruk diarahkan kepada tema-tema revolusioner. Sempat Shamsudin ”merevolusi” para pemain waria dengan memotong rambut mereka, mendatangkan psikiater yang bisa meyakinkan bahwa homoseksual adalah salah, lalu mengawinkan para waria itu sehingga punya anak.
Pada sisi ”kanan” ada ludruk Tresna Enggal, binaan tentara. Di masa itu, Tresna Enggal kalah kuat dibanding Marhaen, yang pernah 16 kali main di Istana Merdeka. Tapi, pasca-G30S, keadaan berbalik 180 derajat. Penangkapan besar-besaran dilakukan terhadap anggota ludruk Marhaen dan komunitasnya. Segera setelah itu mencuat stigma: ludruk adalah komunis. Tentara membersihkan ludruk dengan cara mengorganisasi ulang sekaligus mengontrol kelompok-kelompok ludruk yang ”bersih”. Grup-grup ludruk per wilayah diberi nama Wijaya Kusuma.
Praktis, semasa Orde Baru, ludruk menjadi corong pemerintah. Digunakan untuk mensosialisasi program-program pemerintah seperti Keluarga Berencana, swasembada pangan. Aktivitas ludruk tobong juga dikontrol melalui perizinan pentas.
Loedroek ITB lahir pada 7 Oktober 1983 ketika Institut Teknologi Bandung (ITB) membentuk Paguyuban Seni Budaya Jawa Timur sebaai bagian dari kelompok-kelompok kesenian di ITB. Loedroek kemudian segera menjadi media untuk menyalurkan aspirasi dan kritik mahasiswa. Politik pun bukan lagi wilayah terlarang. Pernah, saking jujurnya mengungkapkan kenyataan politik waktu itu, seorang mahasiswa ditahan di Jalan Siliwangi, markas Kodam di Bandung.
”Kecelakaan” ini mendorong para pendiri Loedroek meneliti latar belakang ludruk. Bahkan ITB sempat menggelar seminar dengan mahasiswa perguruan tinggi lainnya, khusus membahas ludruk. Kemudian mereka muncul dengan pemahaman bahwa ludruk, selain sangat lekat dengan protes dan perlawanan, juga pernah dicap komunis.
Ya, ludruk sebenarnya sarat dengan protes, perlawanan atau, paling tidak, sindiran. Cerita-cerita legendaris Sarip Tambak Yoso, misalnya, menceritakan bocah kampung sakti mandraguna yang melawan penjajah Belanda. Demikian pula halnya cerita Cak Sakera, pahlawan bercelurit dari Madura.
Menurut peneliti LIPI, Bisri Effendy, hakikat ludruk adalah perlawanan itu sendiri. Dalam tulisannya di Buletin Ngaji Budaya (edisi 04-2003) Warisan, ludruk muncul karena protes orang Jawa Timur terhadap ketoprak Mataram yang cerita-ceritanya menjunjung hubungan vertikal. Ludruk ingin mengatakan, kesenian Jawa bukan hanya apa yang dipresentasikan ketoprak Mataraman. Bahasa mereka yang halus tidak dipergunakan oleh arek-arek Jawa Timur.
Para seniman Diwek yang mengangkat cerita-cerita rakyat dengan gaya berbeda, bahasa longgar, kasar, dibumbui guyonan slengekan. Waktu itu, lakon-lakon orang Diwek belum diberi nama ludruk. Mereka hanya ingin menunjukkan bahwa Jawa tidak satu. Menurut Sindhunata (lihat kolom Ketika Protes Telah Tiada), ludruk tidak boleh meninggalkan spiritnya: protes rakyat, jika ingin tetap hidup.
Ludruk memang berasal dari rakyat kecil. Karena para pendukungnya dari kalangan miskin, jika tidak ada pemasukan dari karcis penonton, kelompok ludruk juga sekarat. Saat ini, ludruk tobong nyaris tak berbekas. Kabarnya, tinggal empat kelompok saja di Jawa Timur.
Mencari ludruk di daerah asalnya, Jombang, juga sulit. Sisa kehidupan samar ditemukan di utara Jombang, yaitu di Kecamatan Tembelang, Ploso, Kabuh, Plandaan, dan Ngasinan. Di jalur Jombang-Lamongan, banyak terlihat waria di warung-warung tepi jalan sebagai pemilik warung kopi. ”Memang kami dulu pemain ludruk, tapi kini sudah pensiun. Hidup sebagai pemain ludruk tidak bisa untuk memenuhi nafkah keluarga,” kata waria bernama Bambang.
Mungkin tinggal Bari, penduduk Dusun Tales, Desa Pendowo, Kecamatan Kabuh, Jombang, yang masih bertahan. Bari yang dikenal sebagai sesepuh ludruk di kawasan tersebut juga tidak memiliki pekerjaan tetap untuk menopang hidupnya bersama Sriana, istrinya, dan lima orang anaknya. Sehari-hari pria 65 tahun mengandalkan hasil penjualan kayu bakar dan setoran mobil butut yang dijalankan sebagai angkutan umum. Menurut Bari yang ikut kelompok ludruk sejak 1969, uang yang didapat pemain ludruk saat ini paling banter Rp 100–200 ribu.
Keadaan Bari dan teman-teman ludruk tobong lainnya memang berbeda dengan nasib kelompok ludruk tanggapan, yang dipanggil untuk pentas di sana-sini. Menurut Supali dari Ludruk Karya Budaya, Mojokerto, dalam setahun, kelompoknya masih 170 kali main dengan honor setiap kali pentas Rp 7-8 juta. Jumlah ludruk jenis ini di Jawa Timur masih ada sekitar 30 kelompok.
Meskipun sudah tidak seperti ”aslinya”, yang dilakukan Karya Budaya ini merupakan cara melestarikan hidup ludruk. ”Intinya, ludruk itu 60 persen humor,” kata Supali. Jadi, jika kelompok ludruk bisa kreatif mengolah humor ala ludruk—tidak lepas dari cerita utama—maka ludruk akan bisa bertahan.
Guyonan segar itu juga yang membuat Kartolo menjadi fenomenal. Melalui tembang jula-juli yang lucu, cerdas, dan sarat sentilan, Kartolo laris diminta tampil, mengisi acara televisi dan telah menelurkan 95 volume album jula-juli. Daya tariknya terletak pada kata-kata yang kesannya sembarangan, seperti Tong kosong berbunyi nyaring, Wak Min medhongkrong disrondhol kucing (Wak Min nongkrong diseruduk kucing). Bentuk menjadi penting, sedangkan isi (makna) nomor dua, atau terserah Anda.
Bina Bektiati, Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Dwidjo U. Maksum (Jombang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo