Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artis cantik itu kini menghilang dari iklan di layar televisi. Ucapannya ”Kalau ada yang lebih murah, buat apa beli yang mahal?” tak terdengar lagi. Produk yang dijual, obat nyamuk semprot HIT, sejak dua pekan lalu memang dilarang beredar.
Maka, rak di pasar swalayan, supermarket, maupun minimarket di pinggiran-pinggiran kota kini bersih dari produk yang mengandung bahan aktif diklorvos. Bahkan, jenis obat nyamuk keluaran PT Megasari Makmur yang tak mengandung diklorvos juga ikut menghilang.
”Perintahnya memang semua produk HIT ditarik dari rak pajangan,” kata Trisno, pegawai Alfamart Sukahati, Cibinong, Bogor. Bedanya, produk yang mengandung diklorvos, yakni HIT 2,1 A (aerosol) dan 17 L (cair), langsung dikembalikan ke pemasok. Sedangkan produk non-diklorvos, seperti HIT 6,3 mat (listrik), yang berbahan aktif propoksur dan d-aletrin, masih disimpan di gudang.
Penarikan produk berbahan diklorvos ini sebenarnya terlambat. Sejak dua tahun lalu, 28 April 2004, Komisi Pestisida Departemen Pertanian sudah melarang penggunaannya untuk pestisida rumah tangga. Soalnya, menurut sekretaris Komisi, Chairul Rachman, dari berbagai kajian, termasuk dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), zat itu membahayakan kesehatan. Lembaga ini memasukkan diklorvos sebagai racun kelas satu.
Larangan ini diindahkan oleh beberapa produsen. Obat nyamuk bermerek Mafu dan Startox mengganti bahan bakunya dari diklorvos menjadi propoksur. Namun, tidak demikian dengan produsen HIT. Kendati pada tahun 2004 Komisi menolak memperpanjang izinnya yang sudah habis setahun sebelumnya, pabrik yang berlokasi di Gunung Putri, Bogor, itu terus berjalan dan produknya dilempar ke pasaran.
Surat peringatan, menurut Chairul, sudah dikirim, tapi tak digubris. Akhirnya terjadilah penggerebekan ke lokasi pabrik, Rabu dua pekan lalu. ”Persoalannya, produk itu tak punya izin karena diklorvos sudah dilarang,” kata Chairul, yang juga merangkap Kepala Pusat Perizinan Investasi Departemen Pertanian.
Apa jawaban si produsen? Manajer Urusan Umum Megasari, Ahmad Bedah Istigfar, mengakui kekhilafan pihaknya. Mereka kini menghentikan produksi yang berbahan diklorvos, dan semua produk yang telah beredar akan ditarik dalam jangka waktu dua bulan. Bila janji itu meleset, sanksi sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sudah menghadang. Ancaman atas kesalahan itu adalah dua tahun penjara dan denda Rp 5 miliar.
Bahaya diklorvos sebetulnya sudah dideringkan oleh Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR), Amerika Serikat. Merujuk hasil penelitian pada tikus percobaan, bahan kimia ini berpotensi memicu kanker pankreas dan leukemia. Pada tikus betina yang mengonsumsi makanan yang terpapar bahan itu selama dua tahun, diklorvos juga mendongkrak risiko terjadinya kanker pencernaan.
Pendapat serupa dilontarkan oleh The Environmental Protection Agency (EPA), Amerika. Mereka menetapkan diklorvos sebagai bahan yang mungkin bersifat karsinogenik pada manusia. Hal yang sama sebetulnya berlaku untuk propoksur—bahan aktif pestisida yang kini masih banyak dipakai produsen obat nyamuk di Indonesia.
Hasil penelitian menyebutkan, paparan terhadap zat ini pada tikus dalam jangka panjang menyebabkan terjadinya tumor kandung kemih dan rahim. Kadar bahaya propoksur hanya sedikit lebih rendah dibanding diklorvos.
Pengkajian bahaya propoksur, diklorvos, dan klorpirifos di Indonesia pun, menurut Chairul, sudah dilakukan sejak 2003. Hasilnya, diklorvos dan klorpirifos untuk produk akhir rumah tangga sudah tamat riwayatnya. ”Siapa pun dan merek apa pun tak boleh lagi menggunakan bahan ini,” katanya.
Bagaimana dengan yang berbahan baku propoksur? Masih bisa ditenggang, kendati tak bakal berlaku selamanya. Bahan ini sudah masuk kategori warning di komisi. Ini peringatan untuk produsen obat nyamuk cair Baygon dan Startox, yang hingga kini masih menggunakan bahan ini. Mereka mesti bersiap mencari pengganti yang lebih aman.
Bahan yang aman untuk obat nyamuk dan masih diizinkan digunakan, antara lain, d-aletrin, transflutrin, imiprotrin, d-fenotrin, cyflutrin, dan metoflutrin. Bahan berupa DEET alias diethyltoluamide yang sering dipakai dalam obat nyamuk oles juga tak dilarang.
Keputusan Komisi Pestisida vital bagi Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan. Lembaga inilah yang memberikan registrasi bagi produk alat kesehatan yang beredar di masyarakat, termasuk obat nyamuk.
Jika izin dari Departemen Pertanian tentang penggunaan suatu bahan aktif sudah di kantong, register akan diberikan. ”Sebaliknya, kalau izin dicabut, otomatis register mati,” kata Tato Suprapto, Direktur Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, Direktorat Jenderal Kefarmasian.
Bagaimanapun, obat nyamuk tetap saja mengandung bahan kimia yang beracun. Ia ibarat maut yang mengintip dari dalam kamar tidur kita. Karena itu, konsumen tak boleh abai, dan harus tetap membaca petunjuk penggunaan, petunjuk menyimpan, bahkan tata cara pembuangan jika sudah habis. Penggunaan dalam batas minimal juga patut diupayakan.
Salah kaprah penggunaan pun harus dihindari. Contohnya, menggunakan obat nyamuk bakar di dekat orang tidur, sementara ventilasi ruangan tak memadai. Atau, menggunakan produk semprot sesaat sebelum tidur. Padahal, semprotan mesti dilakukan setidaknya satu jam sebelumnya. Jika aturan itu tak dipatuhi, ”Sama artinya orang tidur sembari menghirup racun,” kata Tato.
Dwi Wiyana, Maruli Ferdinand (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo