Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Datang Johny, Pulang Jenny

Dari ujung rambut sampai kaki bisa dipermak di ”pabrik plastik” di Bangkok. Kemampuan dokter Indonesia tak kalah.

19 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebut saja namanya Johny. Pria kaukasia ini merasa dirinya wanita, kendati terlahir dengan organ laki-laki yang sempurna. Untuk mencari jalan keluar persoalan fisik dan psikisnya, seorang teman menyarankan agar ia berkonsultasi dengan dokter-dokter di Rumah Sakit Yanhee International, Bangkok, Thailand.

Saran itu ia jalankan. Beberapa tahun lalu ia berangkat ke Bangkok untuk konsultasi sekaligus berlibur. Perkenalannya dengan operasi plastik di RS Yanhee International membuat Johny terkesan. Ia mencoba Rhynoplasty, bedah kecil untuk membuat hidungnya kelihatan lebih halus layaknya hidung wanita.

Puas dengan tampilan fisik yang jadi molek, Johny semakin gandrung ke Thailand. Sambil berlibur, di Negeri Gajah Putih ia mengubah sentimeter demi sentimeter bagian tubuhnya. Hingga satu hari ia membuat keputusan penting dalam hidupnya.

Dalam sebuah liburan selama tiga bulan, Johny memutuskan untuk mengubah jenis kelaminnya. Hasilnya memuaskan hati. Tapi masalah muncul saat ia kembali ke negerinya. Pihak imigrasi bingung dengan identitasnya. Ia bukan lagi Johny, melainkan Jenny. Beruntunglah ia, RS Yanhee selalu membekali surat keterangan kepada pasien yang telah melakukan bedah transeksual.

Sejak didirikan berupa sebuah klinik kecantikan kecil pada 1984 oleh Dr Supot Sumritvanitcha dan dua orang temannya, Yanhee telah berkembang menjadi salah satu rumah sakit umum terbesar di Bangkok. ”Ini rumah sakit yang terbesar di dunia dalam layanan operasi plastik dan kecantikan,” begitu klaim manajer RS Yanhee, Dr Ismael E. Naypa Jr., seraya berpromosi bahwa tarif mereka lebih murah dibanding rumah sakit negeri tetangga.

Untuk kedua jenis operasi tersebut, Naypa tak keberatan jika rumah sakit berkapasitas 400 tempat tidur itu dijuluki ”pabrik plastik”. Bagaimana tidak? Di sana berbagai operasi dilakukan hampir secara massal dengan kecepatan yang cukup tinggi. Klinik gigi, misalnya, dibuka 24 jam untuk mengantisipasi mereka yang sibuk dan mempercepat pelayanan.

Tempo menyaksikan sendiri, di sebuah bangsal sekitar 12 orang wanita tidur telentang dengan hidung masing-masing dibebat. Mereka baru saja menjalani bedah Rhynoplasty atau operasi mengubah bentuk hidung seperti yang mereka inginkan. Tiga jam beristirahat setelah operasi, mereka diperbolehkan pulang membawa hidung baru.

Untuk bedah kecil seperti itu, RS Yanhee membedah 10–12 hidung tiap hari. Demikian pula untuk bedah ringan lain. Total tiap bulan ada sekitar 30–40 kasus besar dan 40–50 kasus kecil yang ditangani. Sebut saja semua tindakan untuk mempercantik diri, seperti sedot lemak, mengubah bentuk wajah, tato, mencangkok atau menghilangkan bulu tubuh, semua biasa dilakukan.

Untuk kepuasan pelanggan, interior RS Yanhee ditata begitu rupa sehingga memperlihatkan semua bagian rumah sakit. Bagian lobi dibuat mirip aula besar yang penuh dengan meja berikut gadis-gadis cantik bertubuh seksi berseragam biru mini yang siap melayani calon pasien. Anda tinggal menyebut apa yang ingin diubah. Gadis-gadis ayu itu langsung membuatkan janji dengan dokter.

 Brosur-brosur dan poster besar tentang jenis layanan bertebaran di sekeliling rumah sakit. Sayangnya, sebagian besar masih ditulis dalam aksara Thai. Sementara gadis-gadis ayu dengan sepatu roda berseragam kuning berseliweran membawakan dokumen medis di ruangan-ruangan berukuran lapangan sepak bola.

Bukan cuma operasi plastik dan kecantikan, RS Yanhee juga mampu melakukan operasi penyambungan jari tangan yang cacat dengan jari kaki. ”Karena jari tangan lebih fungsional untuk memegang sesuatu dibandingkan jari kaki yang bisa disembunyikan,” kata Naypa.

Ada pula klinik untuk menghentikan dengkur dan mengubah suara. Caranya dengan mengurangi volume jaringan radio frekuensi di pita suara dan pembedahan dengan laser CO2. Lalu ada layanan cangkok rambut untuk menanggulangi kebotakan atau sebaliknya membuang bulu tubuh dengan elektrolisis atau laser.

Adapun klinik tato disiapkan bagi pasien yang ingin menghilangkan vitiligo atau kulit yang berwarna lebih terang, membuat alis atau memerahkan bibir, serta menyamarkan bekas luka. ”Intinya, tiap manusia punya kebiasaan menginginkan sesuatu yang tidak mereka miliki kan?” kata Naypa.

Apa semua pasien pasti senang? Menurut Naypa, dari 100 pasien setidaknya ada dua atau tiga orang yang tak puas. Ia memberi garansi, jika tak puas, uang bisa kembali.

Dari semua layanan itu, jenis layanan yang paling dibanggakan sekaligus cukup laris adalah operasi mengubah jenis kelamin. Padahal, operasi ini tergolong sulit dan butuh persiapan besar. ”Kami menjamin pasien bedah transeksual bisa merasakan sense seperti layaknya jenis kelamin baru,” kata Dr Ladavadee Sumritvanitcha, ahli bedah plastik RS Yanhee yang tak lain adalah istri Dr Supot Sumritvanitcha. 

Yang mencengangkan, operasi mengubah jenis kelamin yang dilakukan tak cuma dari pria menjadi wanita. ”Tapi juga sebaliknya,” kata dokter berparas cantik itu. Apakah dengan transplantasi organ? Pertanyaan itu tercetus dari Tempo dan Ureerat Ratanaprukse, konselor Kedutaan Thailand di Jakarta yang memprakarsai kunjungan ke beberapa rumah sakit di Bangkok, Mei lalu. ”Oh bukan. Kami menggunakan organ tubuh si pasien sendiri,” kata Ladavadee. Resep rahasianya adalah dengan melakukan bedah mikro hingga ke susunan saraf di organ kelamin.

 Prosedur menjalani operasi yang satu ini cukup panjang. ”Lama dan tidak gampang,” kata Meggie Megawati, 29 tahun. Putri Waria Indonesia 2004 itu termasuk yang pernah menjalani operasi payudara dan transeksual di RS Yanhee tujuh tahun lalu.

”Saya cari tahu dulu dari internet, banyak bintang telenovela yang mengubah penampilan di rumah sakit ini. Jadi, saya yakin banget memang ini yang saya inginkan,” kata Meggie yang sedang sibuk menyiapkan pemilihan Putri Waria 2006.

Sebelum operasi, Meggie mesti menjalani terapi hormon sampai 10–12 kali. Untuk kesiapan mental, ia diwawancarai berulang-ulang. ”Mereka bikin kita down dulu untuk meyakinkan pilihan kita sudah benar. Tiga bulan saya mesti bolak-balik ke sana,” ujar Meggie yang pernah masuk 10 besar kontes Ratu Waria Sedunia di Thailand 2004.

Untuk bisa tampil beda itu, Meggie dioperasi selama delapan jam dengan pembiusan. Setelah tiga hari menjalani pemulihan, ia langsung pulang ke Indonesia.

Meggie mengaku melakukan operasi transeksual di Thailand semata karena saran teman dan pilihannya sendiri, bukan karena tak yakin dengan kemampuan dokter dalam negeri. Ia tak mau menilai dokter lokal karena belum pernah mencoba terapi di sini.

 Toh, Meggie memuji pelayanan di sana. ”Mereka sangat suportif. Selama perawatan, saya didampingi penerjemah dan psikolog,” katanya. Pelayanan memuaskan itu sebanding dengan biaya yang harus ia keluarkan. Operasi payudara sekitar Rp 30–40 juta dan transeksual sekitar Rp 86 juta. Itu beberapa tahun lalu. ”Badan saya ini nilainya setara buat beli mobil,” kata Meggy sambil tertawa.

Dr Edwin Juanda dari Jakarta Skin Center mengatakan, belakangan ini minat masyarakat Indonesia untuk mengubah penampilan terus meningkat. Mereka ingin mencoba berbagai tindakan medis seperti sedot lemak, memancungkan hidung, membesarkan payudara, atau operasi plastik lainnya.

Operasi-operasi semacam itu sebetulnya sederhana dan mudah. ”Dokter di Indonesia banyak yang sanggup melakukannya,” kata Dr Purwono, ahli kulit yang membuka praktek sendiri.

Kekurangan Indonesia dibanding Thailand dan negara-negara lain, yang amat disayangkan Edwin, adalah dalam soal promosi. Dokter-dokter Malaysia dan Singapura mulai Januari 2004 malah sudah diperbolehkan beriklan di majalah-majalah dalam pesawat. ”Dokter Indonesia sanggup melakukan tindakan medis untuk kecantikan seperti itu, tapi kami tak boleh beriklan. Jadi, orang juga tak tahu di mana mencari dokter spesialis seperti itu,” kata Edwin.

Edwin mengakui banyak orang mengatakan kepadanya hasil operasi di Thailand memang bagus. Memang, ada beberapa kendala yang membuat orang Indonesia pikir-pikir dulu sebelum berangkat ke Negeri Gajah Putih: bahasa yang tak dimengerti dan jumlah kasus HIV yang tinggi.

Utami Widowati (Bangkok)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus