Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cobalah menambah jam tidur satu hingga dua jam setiap malamnya. Paginya, saat Anda terbangun, badan tak hanya terasa lebih bugar tapi juga perlahan-lahan lebih langsing. Begitulah saran tim peneliti dari National Institute of Mental Health, Amerika Serikat.
Tim peneliti telah memonitor hampir 500 orang dewasa berusia 27-40 tahun yang menjadi relawan riset. Sepanjang riset yang berlangsung 13 tahun, tim menemukan korelasi antara berkurangnya rata-rata jam tidur dan peningkatan bobot tubuh. "Berat badan tertinggi terjadi pada orang yang tidur kurang dari enam jam per hari," kata juru bicara tim peneliti, Dr. Gregor Harsler.
Berikut ini penjelasan Harsler tentang adanya korelasi tersebut. Ketika tidur, tubuh banyak mengeluarkan leptin atawa zat kimiawi yang mengendalikan lemak tubuh dan selera makan. Sebaliknya, pada orang yang kurang tidur, terjadi penurunan fungsi hormon yang membantu pembakaran kalori sepanjang hari. Tambahan lagi, saat begadang, orang cenderung lebih banyak menyantap aneka camilan. Sedikit demi sedikit hal ini menimbulkan penumpukan kalori dan akhirnya pembukitan lemak.
Dr. Sanjay Patel, ahli tidur dari Harvard Medical School, mengungkapkan hasil penelitian lain. Katanya, saat begadang, kadar hormon leptin berkurang secara signifikan. Padahal rendahnya kadar leptin justru memicu keinginan untuk makan. Walhasil, benarlah bahwa kebiasaan begadang berisiko memicu obesitas. Selengkapnya penelitian diterbitkan di jurnal Sleep edisi mutakhir.
Stres Singkat Menyehatkan
Biasanya, stres dituding sebagai biang kerok penyakit. Tapi ternyata ada juga stres yang menyehatkan tubuh. Begitulah hasil riset mutakhir yang dilakukan dua ahli stres asal Amerika Serikat dan Kanada.
Kedua pakar stres itu adalah Dr. Suzanne Segerstrom dari University of Kentucky dan Dr. Gregory Miller dari University of British Columbia. Mereka menganalisis 300 buah paper penelitian tentang stres yang melibatkan sekitar 19 ribu relawan. Analisis ini sampai pada kesimpulan menarik: asal tak berkepanjangan, stres justru meningkatkan kekebalan tubuh.
Situasi menegangkan tapi singkat, menurut kedua ahli, memicu respons psikologis yang bersifat "melawan atau kabur" (fight or flight). Situasinya mirip kondisi saat seekor binatang terancam jiwanya di hadapan binatang pemangsa. Respons serupa terjadi, misalnya, saat orang menjalani tes, wawancara saringan kerja, atau berbicara di depan orang yang disegani. Begitu stres singkat berlalu, orang biasanya merasakan kelegaan yang luar biasa. Nah, kata Segerstrom, "Saat kelegaan itu datang, sistem kekebalan tubuh pun meningkat."
Yang merugikan kesehatan, menurut kedua ahli, hanyalah stres yang berlarut berkepanjangan. Misalnya stres karena cacat sepanjang umur, kehilangan pasangan hidup, pengalaman pelecehan seksual semasa kanak-kanak, atau merawat orang tua yang sudah pikun. Stres berkepanjangan inilah yang bisa menguras kekebalan tubuh hingga titik terendah?saat penyakit seringan apa pun bisa membahayakan jiwa seseorang.
Phillip Hodson, ahli stres dari British Association for Counseling and Psychotherapy, mendukung kesimpulan Segerstrom-Miller. "Dalam hidup, Anda kadang perlu tekanan," katanya. Stres, tuturnya, bisa menguji apakah Anda bisa melakukan yang terbaik.
Jadi, stres itu sehat, asalkan jangan berkepanjangan.
Jauhkan Bayi dari Suplemen
Satu lagi bukti mengukuhkan bahwa air susu ibu (ASI) jauh lebih baik ketimbang susu formula atau suplemen apa pun. Riset mutakhir di Amerika Serikat menunjukkan, pemberian suplemen multivitamin pada bayi usia dini malah bisa memicu asma dan alergi makanan.
Awalnya, tim peneliti Children's National Medical Center, Washington, merasa terpanggil menyaksikan terus meningkatnya kasus asma dan alergi pada bayi di Amerika. Tim ilmuwan ini kemudian menganalisis riwayat kesehatan 8.000-an bayi yang dikumpulkan sejak tahun 1991. Ternyata, separuh lebih bayi-bayi itu telah diberi suplemen multivitamin, termasuk yang dicampur dalam susu formula, sejak usia mereka masih di bawah tiga bulan.
Tim peneliti juga sampai pada kesimpulan adanya hubungan antara konsumsi multivitamin pada usia dini (di bawah tiga tahun) dan penyakit asma serta alergi makanan. Penelitian ini juga menyinggung riset sebelumnya yang mengungkapkan dampak multivitamin terhadap respons alergi hewan percobaan.
"Jika temuan kami dikukuhkan penelitian selanjutnya, banyak jenis multivitamin dan susu formula yang selama ini direkomendasikan harus dikaji ulang," demikian ditulis tim peneliti di jurnal Pediatric edisi Juli. Laporan lengkap penelitian ini dimuat di jurnal American Academy of Pediatric edisi terakhir.
BBCNews.com, Medicalnewstoday.com, Reuters
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo