Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Penegakan Hukum: Kunci Inggris yang Karatan?

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Achmad Zen Umar Purba *) Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

PENEGAKAN hukum sedang laris manis, terutama sejak para calon presiden memasukkan "komoditas" ini dalam keranjang jualan mereka. Ada yang berharap, tapi ada juga kritik. Olok-olok tentang pengadilan yang buruk acap kita dengar dan sudah menjadi "ekspresi klasik".

Keadilan menemukan jalan buntu karena orang yang mau melapor, dan juga mau bersaksi, amat minim. Dalam beberapa kejadian, tindakan melapor malah menjadi bumerang bagi pelapor, bahkan si terlapor bebas ria atau dihukum amat ringan. Kalau begitu, ya, mungkin pelapor akan berpikir lebih bagus ia diam saja.

Sering digambarkan bahwa lembaga yudikatif kita "sudah karatan". Orang pun berpikiran praktis, pragmatis, dan subyektif saja. Sangat berbahaya jika penyebab karatan itu dipersepsikan sebagai "norma": ketimbang urusan macet, bayar tak apa-apa. Jika si A menang karena bayarannya lebih dari lawannya, ia berkepentingan untuk tidak buka suara. Tapi, kalau kalah, tentulah si A akan berdendang. Inilah "pasar hukum" yang melanggar hukum. Pasar ini makin besar karena dunia usaha mau tak mau ikut terlibat?kecuali mungkin pengusaha asing yang negaranya, seperti Amerika Serikat, sangat ketat mengatur perilaku bisnis warganya. Dan karena itu, hampir semua kontrak dalam transaksi bisnis internasional tidak mempergunakan pengadilan sebagai penyelesai sengketa.

Peran hakim sangat sentral. Hakim harus berperilaku luhur, karena dia bertanggung jawab kepada dirinya sendiri dan pada akhirnya tentu ke hadapan Al-Khalik. Karena itu, seperti dilukiskan Walt Whitman: "The perfect judge fears nothing _ he could go front to front before God."

Mengapa pasar perkara masih saja ada? Karena kehormatan, keluhuran, dan kebesaran hakim yang sejatinya membungkus independensinya terlalu besar dan berat, tidak seimbang dengan realitas. Mestinya, seperti yang kita bayangkan, hakim tidak perlu lagi memikirkan apa pun tentang kehidupan diri dan keluarganya.

Mengungkapkan soal gaji dan imbalan hakim bisa dianggap cengeng atau didebat dengan pertanyaan "kenapa mau jadi hakim?". Lagi pula, kata sementara orang, ini masalah mental; biar digaji berapa pun, kalau mau ya KKN juga. Konon, beberapa waktu lalu, tatkala serombongan hakim beraudiensi dengan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan hakim, sang pejabat yang menerima para hakim balik bertanya: apakah perlu minta kenaikan gaji hakim? Bukankah penghasilan hakim sudah besar? Yang tidak ditanyakan adalah penghasilan hakim itu dari mana sumbernya. Dan di sinilah salah persepsi itu terjadi. Keadaan yang tidak benar dibiarkan sehingga menjadi "norma" selama ini.

Ini harus direparasi total. Saya pernah mereka-reka begini. Pertama, tinjau gaji hakim seluruh Indonesia. Menurut informasi, jumlahnya sekitar Rp 10 juta sebulan. Hitung berapa kebutuhan nyata plus tabungan dan hal-hal yang mengganggu pikiran hakim di atas. Taruhlah tiga sampai lima kali dari gaji yang sekarang ini. Kedua, inventarisasi semua kekayaan hakim untuk diputihkan, dan dijamin tidak akan diusut-usut lagi. Ketiga, siapkan pernyataan yang intinya para hakim tidak akan melakukan KKN, dengan sanksi?kalau tetap berbuat?akan digantung di Lapangan Monas atau semacam itu agar punya dampak kuat pada publik. Kelima, siapkan sistem pengawasan ketat dan dengan "sapu" yang bersih. Aparat pengawasan yang tampaknya agak terabaikan selama ini harus pula ditingkatkan kesejahteraannya.

Dari mana anggaran untuk langkah terobosan ini? Persoalannya ada pada kita. Mau dan sudikah kita memberi prioritas kepada perbaikan lembaga yudikatif? Sebab, kalau kita ingin memerangi KKN, bersihkan KKN yang ada di pengadilan lebih dahulu. Reparasi bidang yudikatif ini teramat penting. Ada dua aspek utama: konseptual dan institusional. Untuk yang pertama, mutlak perlunya ditumbuhkan persepsi yang benar bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang berarti adanya supremasi hukum. Hukum bukan kepunyaan lembaga yudikatif. Hukum dibuat untuk rakyat. Karena itu, perbaikan penegakan hukum bukanlah masalah sektoral.

Kita bisa berhitung. Penegakan hukum yang menghasilkan kepastian hukum akan menimbulkan efek luas. Akan lahir kepercayaan. Hak dan kewajiban tiap orang akan ditunaikan secara benar. Dunia usaha tak perlu terlibat dengan biaya macam-macam yang larinya ke ekonomi biaya tinggi. Investor asing akan masuk, lapangan kerja terbuka, ekspor meningkat, devisa masuk, pajak bertambah, dan seterusnya. Efek langsung ataupun tidak langsung dari penegakan hukum tentu masih panjang. Jadi, relakah kita memberi prioritas kepada perbaikan hukum?

Kalau jawaban pertanyaan di atas adalah "ya", kita masuk pada aspek kedua, yaitu institusional. Sejak beberapa bulan lalu, Mahkamah Agung sudah merupakan atap tunggal kekuasaan kehakiman. Ini bukan dimaksudkan sekadar melancarkan urusan administrasi kehakiman sehari-hari. Yang lebih penting sebagai pilar demokrasi, lembaga yudikatif mesti menjadi tegap, memiliki posisi tawar yang ampuh guna memperjuangkan kepentingan kehakiman, terutama meyakinkan berbagai pihak akan pentingnya pemberian prioritas kepada upaya penegakan hukum tersebut. Sebab, perbaikan penegakan hukum merupakan kunci inggris yang bisa dipakai untuk segala urusan yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus