Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembuatan tato manual kembali ramai pada masa pandemi Covid-19.
Tren tato manual ramai di media sosial, tagar #Handpoke telah dilihat lebih dari 690 juta kali.
Pembuatan tato Mentawai lebih rumit karena harus sesuai dengan standar dan ukuran yang ditentukan.
Margaretha menggeser jam yang melekat di lengan kirinya, mencoba menunjukkan sebuah tato ayat kitab umat kristiani dengan tinta berwarna merah yang merekat erat di bawah pergelangan tangannya. “Ini tato pertama saya,” ujarnya kepada Tempo, Rabu, 24 Mei 2023. Perempuan berusia 34 tahun itu menerangkan bahwa tato tersebut dibuat oleh seorang teman dengan menggunakan teknik manual handpoke—tusuk tangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberadaan tato yang dibuat pada 2018 tersebut akhirnya memancing Retha mencoba merajah lagi lapisan epidermis lain di badannya. Rasa sakit jarum yang menusuk permukaan kulit ia abaikan. Hingga kini, ia sudah memiliki lebih dari sepuluh tato di lengan hingga kaki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak puas hanya memiliki tato, pada 2019, ia kemudian memutuskan mencoba menjadi pembuat tato. Handpoke dipilih karena dianggap lebih mudah. Retha lalu membeli jarum, tinta, dan peralatan pendukung lainnya.
Berbekal keahlian menggambar, wanita lulusan pendidikan seni rupa di Universitas Negeri Jakarta ini mulai menorehkan jarum dan tinta di kulitnya sendiri sebagai percobaan. “Tato karya saya yang pertama adalah motif bunga matahari,” kata dia.
Setelah itu, muncul teman-temannya yang menyerahkan kulit mereka menjadi kanvas Retha secara sukarela. Ia mengaku senang meninggalkan jejak tato karyanya di kulit orang lain selain dirinya. “Kadang senang aja nyakitin orang pakai jarum,” ujarnya, berseloroh.
Retha masih ingat, bertepatan dengan ia belajar handpoke pertama kali, tren tato tusuk manual itu mulai banyak peminat. Tak hanya digemari oleh mereka yang ingin ditato, tapi juga yang ingin menjadi tukang tato. Retha mengatakan, saat awal belajar, ia hanya mengenal tiga seniman tato handpoke di Jakarta. “Sekarang sudah banyak di Jakarta.”
Perempuan yang bekerja sebagai social media specialist ini mengatakan, jumlahnya semakin meningkat sejak pandemi. Bahkan praktik handpoke mulai dilakukan oleh anak muda yang tidak memiliki latar belakang keahlian tato. “Saat pandemi, orang bingung mau ngapain. Waktu itu booming tato DIY (do it yourself) orang mengerjakan tato sendiri di rumah,” kata dia. Menurut Retha, setelah pandemi berakhir, penikmat tato handpoke masih meningkat.
Masih banyak orang yang ingin mencoba pengalaman tato manual seperti handpoke maupun handtapping, yang saat ini dapat dilihat dari banyaknya unggahan tentang metode tato manual tersebut. Dalam kolom pencarian TikTok, tagar #HandpokeJakarta telah dilihat lebih dari 1,4 juta kali. Tagar #Handpoke sendiri telah dilihat lebih dari 690 juta kali, sementara #Handtapping dilihat lebih dari 10,8 juta kali.
Seniman tato ,Margaretha, merajah tato dengan teknik "handpoke", 19 April 2023. Dok.Pribadi
Beberapa tayangan menampilkan proses tato handpoke dengan motif yang cenderung kecil. Menurut Retha, hal itu karena proses pengerjaan tato manual tersebut lebih banyak memakan waktu dibanding tato dengan mesin. “Misalnya, kalau pakai mesin, bikin garis panjang hanya butuh sejam, tapi pada handpoke bisa sampai lebih dari empat jam,” kata dia.
Retha sendiri menerima pesanan pembuatan tato dengan mematok durasi paling sebentar setengah jam dan paling lama empat jam. “Saya memang enggak mau ambil pesanan gambar yang besar,” tutur Retha. Ia juga tidak menjalani profesi penuh sebagai tukang tato. Jika ada pesanan pembuatan tato, kliennya harus sabar menunggu ia libur, yakni Sabtu dan Minggu. “Untuk penghasilan tambahan, lumayan juga.”
Motif yang ia tawarkan beragam. Namun belakangan, Retha mengatakan, beberapa orang, khususnya wanita, mulai menggemari tato kecil tapi banyak. “Biasanya disebut tato stiker,” ujarnya. Tato handpoke juga dapat menjadi pilihan karena prosesnya tato tidak begitu sakit dibanding menggunakan mesin. “Penyembuhan lukanya juga lebih cepat.”
Perempuan yang tinggal di Jakarta Timur itu sempat menjajal tato dengan menggunakan mesin. “Pernah coba ke kulit sintetis, tapi tidak dilanjutkan,” kata dia. Menurut Retha, tato handpoke lebih praktis. Ia tinggal membawa jarum RL (round liner) dan tinta serta perlengkapan lain, seperti sabun khusus untuk membersihkan tato, tisu, dan sarung tangan. Proses tato dapat dilakukan di mana pun tanpa harus memerlukan listrik seperti tato mesin.
Ia memang tidak punya studio, sehingga melayani permintaan pembuatan tato di mana saja. Sering kali ada klien yang meminta Retha datang ke rumah mereka. Ia juga mencoba mencari klien dengan beragam platform media sosial. “Kadang saya coba Bumble," ujarnya. Retha mengaku ada lima klien yang ia tato dari pencarian di aplikasi kencan itu.
Namun Retha tidak sembarangan mengiyakan permintaan pertemuan karena mempertimbangkan keamanan dirinya yang seorang perempuan. Ia menceritakan, ada pria yang ingin ditato dan minta Retha datang ke apartemennya, tapi ia tolak. Ia lebih nyaman membuat tato di tempat yang aman, seperti di kafe atau warung kopi.
Ia mengerjakan beragam desain tato dengan warna putih, hitam, merah, hijau, dan kuning. Retha juga mempersiapkan desain jika kliennya tidak memiliki konsep gambar sendiri. Ia mengaku tidak punya ciri khusus dalam desain tato yang ditawarkan. Pelanggan bisa meminta motif apa saja.
Berbeda dengan Retha, seniman tato handpoke lainnya, Yulius Ricco Varento, memakai desain-desain tradisional dalam pengerjaan tatonya. Ia mulai menekuni profesi sebagai seniman tato sejak 2013. Awalnya, ia menggunakan mesin sebagai metode sebelum beralih ke teknik handpoke. Ricco membawa motif adat karena ia merupakan putra asal Borneo dan keturunan dari suku Dayak Kanayatn.
Indonesia memiliki sejarah panjang praktik tato yang diterapkan oleh suku Dayak di Kalimantan dan Suku Mentawai. Meski sempat terkikis, saat ini mulai banyak anak muda menggemari tato tradisional. Ricco mengamati banyak anak muda, khususnya di daerahnya di Pontianak, mulai tertarik dengan seni tato motif khas daerahnya, terutama karena eksposur media sosial dan peningkatan minat dari luar negeri. “Banyak turis asing yang datang ingin ditato dengan metode dan motif tradisional, sehingga warga lokal makin bangga,” kata dia.
Untuk mengenalkan metode dan motif-motif daerah, Ricco kerap mengunggah gambar motif khas Kalimantan di akun media sosialnya. “Sejauh ini yang paling diminati itu bunga terung.” Bunga terung merupakan motif khas yang umumnya dipakai pria di kelompok etnis Borneo, Dayak Iban.
Seniman tatto, Ranu Khodir, membuat tato dengan teknik tradisional 'Hand Tapping' di Matraman, Jakarta. Dok. TEMPO/Dasril Roszandi
Menjajal Motif Tribal dengan Teknik Manual
Motif tradisional juga menjadi pilihan Ranu Khodir, seniman tato asal Depok, Jawa Barat. Ranu menawarkan motif-motif tribal kepada kliennya. Motif-motif tribal yang dipilihnya tak hanya berasal dari Mentawai dan Dayak, tapi juga motif tradisional dari daerah lain meski daerah tersebut tidak memiliki sejarah tato. "Ada juga yang minta ornamen seperti yang terdapat dalam rumah adat, misalnya," ujarnya saat dihampiri di rumahnya, Kamis, 25 Mei 2023.
Ia mengeluarkan buku yang ia dapat dari rekannya yang merupakan seniman tato di Belanda. Tampak motif khas bunga terung, motif garis Mentawai, hingga motif tato dari suku Maori dan Polinesia.
Sejak 2015, Ranu sudah menekuni seni tato handtapping, yakni metode tato dengan menggunakan dua bilah kayu yang terdiri atas kayu untuk mengikat jarum dan kayu untuk memukul. Meski tidak lagi menggunakan mesin, tato manual yang ia tawarkan tak sepi peminat. Banyak klien lokal maupun mancanegara datang untuk merasakan tusukan jarum dengan diiringi suara khas pukulan kayu bertalu-talu.
Karena menggunakan metode handtapping, sebagian besar desainnya hanya dapat menghasilkan jenis tato block hitam tebal dan line art atau garis. “Yang paling laku memang bunga terung," kata dia.
Handtapping merupakan metode yang juga dipakai oleh tato tradisional Dayak dan Mentawai. Namun tidak semua pelanggannya datang untuk mendapatkan motifnya. Beberapa di antaranya datang untuk merasakan pengalaman handtapping-nya. “Ada yang merasa seperti terapi. Lebih tenang gitu, bahkan ada yang bisa tidur,” ujarnya.
Hal itu, kata Ranu, biasanya karena sebagian besar kliennya ditato dengan posisi telentang di sebuah tilam anyaman berwarna cokelat. Posisi tersebut lebih memudahkan Ranu dalam proses pengerjaan karena kemungkinan bergeraknya kecil. Perlu fokus yang baik untuk melakukan metode ini. Salah pukul sedikit saja, hasilnya bisa melenceng.
Seniman tato, Bajak Letchu, merajah tato untuk warga di Simatalu, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, Maret 2020. TEMPO/Febriyanti
Bukan hanya Ranu, Bajak Letchu, seniman tato asal Mentawai, Sumatera Barat, juga masih setia dengan alat manualnya itu. Bajak juga awalnya menggeluti seni tato modern pada 2005. Setelah beberapa tahun, ia memutuskan berhenti sejenak dan menyelami seni tato Mentawai, kampung halamannya. Ia mempelajari lebih lanjut tentang seni tato Mentawai dengan mengunjungi berbagai kampung dan belajar tentang posisi dan peletakan tato yang tepat, baik pada laki-laki maupun perempuan.
Menurut dia, tato Mentawai perlu dipelajari mendalam oleh mereka yang ingin menekuninya. Meski didominasi garis, salah satu tantangan terbesar dalam seni tato Mentawai adalah peletakan tato harus sesuai dengan standar dan ukuran yang ditentukan. “Karena tato Mentawai memiliki ketentuan dan tidak sembarang peletakannya, punya ukuran-ukuran tertentu,” kata dia. Misalnya, Bajak menerangkan, saat membuat tato yang identik dengan tato yang dimilikinya, ia harus menyesuaikan ukuran dan peletakan dengan proporsi tubuh klien agar menciptakan keseimbangan dan keselarasan yang tepat.
Untuk lebih mendalami tato Mentawai, Bajak Letchu beberapa kali melakukan perjalanan ke Desa Simatalu di pedalaman Siberut Selatan, khususnya ke Butui. Ia juga sempat melakukan ekshibisi tato bersama seniman tato tradisional Arman Durga Sipatiti. Selama kunjungan, dia mengumpulkan informasi dan bertemu dengan beberapa tokoh penting, seperti Aman Godai, seniman tato adat setempat; dan beberapa sikerei, tabib setempat yang juga paham membuat tato, di Matotonan Siberut Selatan.
Namun, dari hasil pengamatan Bajak, belum semua tato yang ada di sikerei itu lengkap. “Masih ada yang hanya sampai paha, belum di betis,” tutur dia. Bajak, yang datang ke sana, juga mengajak anak-anak muda setempat mempelajari dan memiliki tato Mentawai yang sempat hampir punah. Apalagi, pada masa Orde Baru, tato sempat mendapat pelarangan, termasuk tato tradisional. Salah satu desa yang mempertahankannya adalah Desa Simatalu di Siberut Selatan.
Tarida Hernawati, peneliti budaya Mentawai di Yayasan Citra Mandiri (YCM) Mentawai, mengiyakan hal itu. Namun, menurut dia, sejak mulai adanya dukungan yang diberikan pemerintah lewat Kementerian Kebudayaan ditambah ketertarikan tinggi dari masyarakat internasional kepada tato lokal, makin banyak anak muda yang justru menggemari tato tradisional. “Di Siberut sendiri sudah ada anak-anak muda yang mulai belajar menjadi tukang tatonya,” ujar Tarida.
Tarida melihat fenomena tersebut tak hanya terjadi di Mentawai. Mahasiswa Mentawai yang kuliah di Padang pun mulai menumbuhkan komunitas-komunitas tato di kampusnya masing-masing. Ia berharap, ke depan semakin banyak lagi anak muda yang bangga dengan tato tradisional.
ILONA ESTERINA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo