BUDAYA menepuk pundak sudah lama dilakukan sebagian penduduk Desa Mekarsari, Kabupaten Bandung. Soalnya, sebagian penduduk di daerah yang terletak sekitar 45 kilometer sebelah selatan Kota Bandung itu mempunyai gangguan pendengaran, sehingga sapaan harus dilakukan dengan cara mencolek. Imas Suharoh, 36 tahun, adalah salah seorang dari 140 warga Mekarsari yang melakukan budaya colek itu. Sudah sejak 1984 telinga ibu 13 anak itu hanya mampu menangkap suara gemuruh. ''Kalau sedang punya masalah berat, bisa tidak mampu mendengar sama sekali,'' kata Imas, yang ayah dan kakeknya juga menderita tuli. Semula penduduk mengira ketulian yang diderita sebagian warga itu merupakan kutukan leluhur, yaitu dari Abdul Karim, pendiri kampung tersebut. Kepercayaan itu bukan tak berdasar. Setelah dilacak, para penderita tuli itu memang diketahui punya garis keturunan dengan Abdul Karim. Kasus ini cukup mengusik Bagian THT (Telinga, Hidung, dan Tenggorokan) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung. Lalu, mereka mengadakan penelitian bersama para ahli THT dari Belgia di Mekarsari. Hampir dua tahun tim peneliti yang beranggotakan 19 ahli itu mencari penyebab munculnya wabah tuli ini. Akhirnya diketahui bahwa sebagian penduduk Mekarsari menderita tuli keturunan (genetic autosomal dominant). Sebagai penelitian awal, telah diperiksa 15 penderita. Pemeriksaan itu meliputi tes pendengaran dan pemeriksaan kesehatan secara menyeluruh. Hasilnya menunjukkan bahwa usia awal timbulnya gangguan pendengaran adalah sekitar 15 tahun. Dan yang paling banyak pada usia 2030 tahun. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan fisik, tidak ditemukan kelainan apa pun, sehingga dapat dipastikan ketulian yang terjadi tidak disertai penyebab lain (sindroma). Penyebab ketulian sebagian penduduk Mekarsari semata-mata karena faktor keturunan yang diwariskan secara autosomal dominant. ''Artinya, kalau salah satu orangtuanya menderita tuli, keturunannya 50% bisa dipastikan mengidap ketulian,'' kata Dokter Bulantrisna Djojodihardjo. Kemudian tim ini melakukan penelitian lebih lanjut. Upaya melacak penderita tuli itu, menurut Bulantrisna, selanjutnya dilakukan dengan wawancara dan menganalisa 821 warga. Mereka terbagi dalam 18 generasi dan tujuh keluarga besar. Empat keluarga besar di antaranya merupakan keturunan langsung Abdul Karim. Sisanya merupakan keluarga yang masih punya hubungan dengan leluhur desa tersebut. Tim peneliti menemukan bahwa ketulian yang mereka alami adalah ketulian genetik, yang disebut postlingual progressive. Inilah yang membuat pelacakan mana warga yang tuli dan yang tidak agak menemui kesulitan. Kenapa? Menurut Bulantrisna, karena datangnya ketulian pada saat usia mereka menginjak 40 tahun. Padahal, ketika mereka berusia 38 tahun, masih belum ada tanda-tanda akan kehilangan pendengaran. Kemudian pada saat usia mereka menginjak 39 tahun mulai timbul gejala dan langsung tuli. Ketulian genetik, katanya, dapat dibagi atas ketulian sejak lahir (congenital) dan ketulian yang munculnya secara lambat (postlingual progressive). Ketulian yang berjalan secara lambat ini, menurut Bulantrisna, staf Subunit Audiologi Laboratorium THT Unpad, termasuk langka dan khas. Kedua telinga mereka tuli secara simetris. Diperkirakan hanya ada satu kejadian dalam 40.000 penduduk. Untuk mengatasi ketulian semacam ini, hingga kini belum ada obatnya. Mengapa kasus ini hanya terjadi di Desa Mekarsari? ''Soalnya, sudah lama terjadi perkawinan antarkeluarga,'' kata Mumuh Muchtar, Kepala Desa Mekarsari, kepada TEMPO. Hal itu dibenarkan Bulantrisna. Semula Mekarsari, yang sekarang berpenduduk sekitar 5.000 jiwa, dipimpin Abdul Karim. Lelaki ini selain dikenal sebagai tokoh agama, juga orang kaya raya. Supaya kekayaannya tidak jatuh ke tangan orang lain, kata Mumuh Muchtar, kemudian dilakukan perkawinan antarkeluarga. Namun, masalah pembagian harta itu tampaknya sudah bukan alasan lagi. Menurut Furqon, salah seorang tokoh masyarakat setempat, terjadinya perkawinan antarkeluarga sekarang ini lebih beralasan supaya gampang mencari menantu. ''Mengambil mantu, kalau masih dari keluarga sendiri, sudah jelas dia pintar ngaji,'' kata guru SD yang punya istri tuli itu. Jelas, perkawinan antarkeluarga merupakan biang munculnya wabah ketulian di Mekarsari. Untuk itulah, menurut Dokter M. Hardjono Abdoerrachman, perkawinan antarkeluarga harus dicegah. Di samping itu, perlu adanya konsultasi kesehatan sebelum menikah. Supaya ketahuan silsilah dan riwayat penyakit keluarga. Nah, kalau memang ketahuan mereka berdua atau salah satunya mengantongi bibit penyakit keturunan, katanya, ya lebih baik tidak usah diteruskan. Mengingat penyakit ini hingga kini belum ada obatnya, paling yang bisa dilakukan, menurut Hardjono, ahli THT Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, adalah memberikan alat bantu dengar sedini mungkin. Tujuannya supaya saraf pendengaran yang belum rusak bisa dioptimalkan daya tangkapnya. Walau alat ini sudah dipasang, tidak berarti mampu menghentikan lajunya kerusakan saraf. ''Yang namanya postlingual progressive, berjalan pelan namun terus menggerogoti,'' kata Hardjono. Gatot Triyanto dan Ida Farida
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini