Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Untung besar tapi terkutuk

Di sumatera utara, kulit ular sawah termasuk bahan ekspor. sesudah kenop-15 harganya naik. nurdin otek biyong dalam forum dprd penyerukan perlindungan terhadap ular sawah. (sd)

16 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Sumatera Utara, kulit ular sawah termasuk bahan ekspor. Setelah Kenop 15, harganya dapat angin. Orangpun bertambah gencar berburu ular. Lalu seorang anggota DPRD Kabupaten Asahan bernama Nurdin Otek Biyong yang juga merangkap ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia mulai takut. Di dalam forum DPRD ia menyerukan perlunya perlindungan terhadap ular sawah. "Kalau diburu terus, bisa musnah, kalau musnah akan merusak keseimbangan lingkungan dan tikus merajalela," katanya. "Satu saat nanti pasti ular akan habis," kata A Hwa, 46 tahun, seorang pedagang ular yang tinggal di jalan Hasanuddin -- Kisaran. Ia telah menjadi pedagang ular sejak tahun 1974. Ketika usahanya mulai, rata-rata setiap hari ia bisa membeli 4 ekor ular dari penduduk. Sekarang paling banter hanya tiga, itupun dengan ukuran yang jauh lebih kecil. Dulu ia masih bisa kasih syarat minimal panjang ular 2,5 meter, sekarang sulit. "Dulu cari ular panjang 3 meter tak sulit," kata A Hwa. Malah dia sering dapat yang mencapai lima atau enam meter. "Sekarang cari yang dua meter saja susah," katanya. Diternakkan Menurunnya jumlah ular, dapat dibuktikan dengan melihat perjalanan yang harus ditempuh Hwa. Dulu ia cukup berkeliling seputar kecamatan Kisaran (Kabupaten Asahan). Sekarang harus melangkah keluar Kisaran, terkadang sampai ke Kabupaten Labuhan Batu. Jadi meskipun Kenop 15 bikin harga melonjak, tak urung Hwa ketir-ketir juga jadi pedagang ular. Apalagi ada kepercayaan dari nenek moyangnya yang selalu menggodanya: cari duit dari ular ditantang oleh kutukan. Selama berurusan dengan ular Hwa belum melihat bagaimana wujud dari kutukan tersebut. Bahkan ia belum pernah sampai kena gigit. Menurut teorinya, ular sawah adalah binatang yang paling bodoh dan malas. Bila sudah tidur bergulung, gampang sekali menangkapnya, walau dengan tangan kosong. Caranya? Pegang saja dia punya kepala, lalu masukkan ke dalam goni, ular tinggal menurut saja. Bermula penduduk memang banyak yang takut, tapi setelah tahu binatang itu bisa bikin duit -- apalagi belakangan makin banyak bukti pemalas itu tidak bisa bikin celaka orang beramai-ramai menangkapnya. Bila ular sudah sampai di tangan Hwa, berarti maut sudah tiba. Hwa memberinya minum air tembakau. Tak sampai 15 menit ular itu kontan mati lemas. Lalu dengan sebilah pisau tajam, kulitnya dilepas. Selama dua hari kulit itu dijemur -- tetapi tidak boleh di panas terik, karena sisiknya akan gugur dan harganya bisa jatuh. Sekali seminggu Hwa mengirim paket kulit ular kepada taukenya -- seorang importir di jalan Pandan -- Medan. Berapa untungnya? "Itu er ha es orang dagang," kata Hwa -- maksudnya "rahasia." Ia juga keberatan mengungkapkan berapa harga ular yang diopernya dari para petani. "Pokoknya kita musti kasi harga yang pantas, karena sekarang banyak saingan, dan barang kian sedikit," ujarnya. Ia sudah mencium jejak dua orang pedagang kulit dari Medan yang turun ke Kisaran, untuk berburu ular. Gawat. Meskipun tidak mengaku, semua orang dapat mengukur bagaimana keadaan ekonomi Hwa. Ia termasuk hidup cukup. Ia punya dua motor gerobak (prah) yang masih baru. Punya ladang 5 ha yang ditanami padi. Padahal sebelum menjadi pedagang ular, ia hanya kenek bus. Tapi apakah ia akan dapat mempertahankan seluruh kekayaannya itu, kalau persaingan sudah semakin ketat serta jumlah ular berkurang? Hwa cepat menjawab: "Kalau ular nanti sudah habis, saya jadi petani saja." Hwa yakin ular akan segera habis, kecuali kalau diketemukan cara untuk menternakkannya. "Tapi saya tak tahu apa bisa diternakkan, soalnya makannya terlalu kuat, bisa satu ekor kambing, apa bisa untung kalau begitu?" kata Hwa. Namun ia termasuk pedagang yang sanggup bertahan. Satu-satunya yang masih ada di Kisaran. Tiga lainnya sudah gulung tikar. A Huat, 35 tahun, adalah salah seorang veteran pedagang ular, di kawasan Binjai Baru -- Kecamatan Talawi -- masih Kabupaten Asahan. Pengundurannya dari percaturan ular, karena dua hal. Ular mulai habis, juga karena termakan oleh kepercayaan adanya kutukan. "Untungnya memang tetap berlipat, tapi coba cari, tak ada orang yang bisa kaya karena ular," ujarnya. Huat mengaku jadi pedagang ular pada tahun 1974, karena pailit sebagai "kedai sampah" (bahan-bahan keperluan dapur). Seseorang memberi nasehat, agar ia berdagang ular untuk menghidupi anak isterinya. Mula-mula hati Huat keder, karena itu kedengarannya janggal. Dari kecil ia menyimpan cerita-cerita busuk tentang ular. Bahwa binatang itu bisa mencelakakan atau bahwa binatang itu adalah lambang orang yang culas. Toh ia sambar juga akhirnya demi perut. Kebetulan di sekitar tempat tinggalnya, terbentang persawahan rakyat -- alias rawa-rawa. Ular di sana menjadi musuh petani, diburu, kalau ketemu, dicincang sampai mati, bangkainya diserakkan ke belukar. Huat lantas bikin maklumat, agar binatang itu dibiarkan hidup, dijual kepadanya. Para petani tidak banyak bertanya, langsung menyambut pengumuman itu. Malah beberapa petani mulai sibuk menjadi pemburu ular. Habis harganya melawan. Untuk ular yang panjangnya 3 meter, Huat berani bayar Rp 1500. Melonjak sampai Rp 3000 untuk yang mencapai 5 meter. Sebagai pedagang ular satu-satunya, Huat jadi orang berkuasa dalam menentukan harga. "Saya tawar murahpun mereka pasti melepasnya, habis mereka mau bawa ke mana lagi. Sedangkan mereka tak perlu keluar modal," kata Huat. Ia juga mengaku bahwa untungnya berlipat ganda. Sebab kalau petani menjual kepadanya "per ekor" -- A Huat menjual lagi ular itu kepada pedagang kulit dengan meteran. Satu meter harganya Rp 1500. "Rata-rata satu bulan saya bisa untung bersih Rp 200 ribu," katanya mengenangkan. Meskipun perdagangan ular mencetak angka-angka ajaib, ternyata keluarga Huat merasa tidak tenang. Ibu dan neneknya terus marah-marah saja. Menurut mereka, pekerjaan Huat dikutuk Tuhan. "Padahal saya tak pernah membunuh ular, karena kata mak pantang besar," ujarnya. Jadi ia hanya meneruskan saja ular itu, dari petani, ke pisau maut pedagang kulit. Padahal kalau menguliti sendiri, untungnya bisa makin berlipat. Akhirnya keuntungan saja tidak dapat membahagiakan hati Huat. Karena betapapun banyak untungnya -- dengan secara mengherankan Huat tak bisa kaya. Begitu uang masuk, begitu pula keluar seperti sulapan. Ada-ada saja. Terkadang ada anggota keluarga yang sakit. Terakhir Huat sendiri yang nyaris dijemput maut dalam kecelakaan sepeda motor. Ini menyebabkan pedagang itu mulai berpikir kembali. Akhirnya ia mulai percaya cari duit dari ular bisa sial. Lalu ia buka koceknya dan menukar usaha, mendirikan pabrik minyak goreng. Sebuah pabrik kecil-kecilan saja. Ternyata usaha baru ini berhasil, lalu sejak tiga bulan yang lalu, ia berhenti mengurus ular. Tak peduli harga kulit melonjak sejak Kenop 15, sedangkan para petani masih menjual dengan harga lama. "Sudahlah saya berhenti saja, walau untungnya banyak, saya takut kena kutukan, apalagi saya punya anak," kata Huat. Kemudian ditambahkannya "Satu saat nanti pasti ular itu akan habis!" Berkurangnya ular dengan jelas terlihat pula buktinya di rumah A San alias Hasan, 40 tahun. Pedagang ular yang tinggal di desa Simpang Gabus (Kecamatan Lima Puluh -- Kabupaten Asahan) ini, hanya mampu mendapatkan ular-ular kecil. Pada suatu hari Amran Nasution dari TEMPO melihat dua orang anak kecil berusia 10 tahun memakukan kulit-kulit ular kepada sebilah papan -- dalam ukuran hanya satu meter. "Itu ular air, bukan ular sawah, ujar nyonya A San, 35 tahun, menjelaskan. Menurut sang nyonya, sudah sejak heberapa bulan terakhir ini harga kulit memang naik. Lalu tauke-tauke di Medan mau menerima kulit ular kecil, baik ular air, ular tenggiling atau ular sawah gendang -- sejenis ular sawah yang tak mau besar dengan perut buncit. Jenis-jenis ini panjangnya hanya antara satu sampai dua meter -- harganya hanya Rp 75 sampai Rp 100 per ekor. Selama 10 tahun menjadi pedagang ular, nyonya itu mengakui jumlah ular sudah berkurang sekarang. "Dulu cari lima ekor satu hari tak sulit, sekarang dapat satu ekor ular sawah satu hari, sudah lumayan," katanya. Setelah ular sulit, keluarga A San menyusun strategi kerja baru. Sang suami naik sepeda motor, keluar-masuk kampung mencari ular. Sang isteri bersama anaknya, 10 tahun, serta dua anak tetangga (dengan gaji Rp 500 sehari) di rumah menguliti dan menjemur. Selain ular, biawak juga digarap, meskipun harganya tak seberapa. Biawak yang kulitnya mulus harganya Rp 2000. Yang agak cacat akibat pukulan waktu menangkap turun sampai Rp 1500. Yang kelas tiga karena banyak cacatnya hanya berharga Rp 750. Sementara anak biawak dihargai Rp 200. Serius Lho Bininya A San ini bukannya tidak percaya, cerita sial bagi pedagang ular. Ia juga heran setelah tahunan berusaha, dengan mengerahkan seluruh keluarga, toh hidupnya tetap susah. Tapi sejauh ini keluarganya belum punya rencana untuk berhenti. "Habis, mau usaha apa lagi? Buka toko tak punya modal," ujarnya. Diakuinya terus terang para tetangganya ada yang kurang senang. "Mereka was-was, habis rumah saya ini kan gudang ular," katanya lebih lanjut. Apalagi pernah seekor ular lolos dari goni lalu ngumpet di kolong rumah tetangga. "Ular itu hancur dipukuli dan saya rugi karena tak bisa bikin duit, padahal ular sawah tak berbahaya dan tak mengganggu orang," keluhnya sedih. Ular sawah memang tidak berbahaya. Usman anak A San juga sering digigit. tapi pakai obat merah saja sudah cukup sebagai penawarnya. Nurdin Otek Biyong itu anggota DPRD mungkin juga melihat bahwa hewan itu tak perlu dipunahkan, karena memang tidak berbahaya. Demikianlah sejak tahun 1976, ia ribut perkara menurunnya jumlah satwa itu. "Tetapi kawan-kawan di DPRD hanya tertawa mendengar usul saya. Mereka menduga saya hanya berkelakar, padahal saya serius lho," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus