Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Membaku Yang Sopan

Pembakuan kode etik periklanan dianggap penting oleh Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (Aspindo). Untuk mewujudkan pembakuan itu, semua unsur pendukung iklan harus dilibatkan. (eb)

16 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WANITA cantik itu tersenyum dan berlari menyambut pacarnya. Tapi alangkah kagetnya orang ketika dari mulutnya keluar makian: "Sialan." Rupanya sang pacar yang pilot itu membuang muka lantaran mulut si cewek itu tak sedap baunya. Itulah adegan iklan pasta gigi Colgate di TV-RI, yang muncul semalam dua kali. Rupanya kata "sialan" itu dianggap kasar dan tak mendidik bagi anak-anak. Biro iklan yang kerjanya memang berniaga kata-kata itu barangkali tak bermaksud merusak anak kecil. Tapi Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (Aspindo) yang belum lama lahir itu, merasakan pentingnya pembakuan kode etik periklanan. Ketua Aspindo Anak Agung Gde Agung, 31 tahun, mengakui "suasana periklanan sekarang memang tidak sehat." Dan menurut Agung, yang juga Managing Director PT Johnson & Son yang memproduksikan aneka obat semprot "Raid" itu, semua unsur pendukung iklan, seperti pengiklan, biro iklan dan media harus dilibatkan untuk terwujudnya pembakuan tadi. Menurut Agung, Dewan Periklanan Nasional yang beranggotakan biro-biro Iklan dan Badan Periklanan Media Pers yang mewakili media cetak dan elektronik, belum lagi mengajak unsur produsen. "Padahal 90% dari dana yang berputar itu berasal dari kantong Aspindo," katanya. Di antara 50 anggotanya, Aspindo itu antara lain terdiri dari perusahaan kakap seperti Unilever, BAT, Philips Ralin, Union Carbide, Singer, Bayer, Bir Bintang dan Johnson & Son. Bina Marga Menurut Bondan Winarno, Ketua II Aspindo yang kini bekerja di PT Sinar Kasih, dana yang dikeluarkan itu terus meningkat. Untuk media pers saja, dana yang mengalir di tahun 1973 dan 1974 sekitar $ 20 juta, dan tahun lalu saja mencapai dua kali jumlah itu. BAT misalnya, sebagai sponsor tunggal perebutan Piala Thomas barusan berani mengeluarkan Rp 15 juta, untuk memamerkan iklan sigaret Ardath, satu di antara 9 produksi rokoknya. Masuk akal kalau Aspindo mencatat $ 150 juta diperkirakan akan berputar untuk seluruh jenis iklan, seperti panel di bis, selebaran, papan reklame, sticker, bioskop, radio, media massa dan tv. Tapi mereka jadi terkejut juga ketika beberapa poster yang dipasang di toko-toko dan tembok menghilang sebelum habis izinnya. Bahkan menurut Bambang Prasetyo, Sekretaris Aspindo, ada bill board (papan reklame) yang sudah mendapat izin Pemda dan semua pajaknya sudah dibayar, toh dicabut sebelum habis waktunya. "Akibat tak adanya jaminan dan kepastian hukum itu para pengiklan jadi membayar lebih mahal dibandingkan dengan luar negeri," katanya. Di jalan raya Jagorawi pernah pula sebuah papan reklame yang sudah mendapat izin Pemda DKI dicopot oleh Ditjen Bina Marga dengan alasan tak boleh memasang iklan di sepanjang jalan yang mulus itu. Di persimpangan jalan Harmoni, Jakarta, sebuah iklan diturunkan pihak DLLJR karena dianggap mengganggu kamera lampu lalulintas. "Bukan apa-apa," kata Bondan Winarno. "Tapi mustinya di kalangan aparat pemerintah sendiri ada kordinasi, sehingga tak merugikan orang lain." Betul juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus