WANITA cantik itu tersenyum dan berlari menyambut pacarnya. Tapi
alangkah kagetnya orang ketika dari mulutnya keluar makian:
"Sialan." Rupanya sang pacar yang pilot itu membuang muka
lantaran mulut si cewek itu tak sedap baunya. Itulah adegan
iklan pasta gigi Colgate di TV-RI, yang muncul semalam dua kali.
Rupanya kata "sialan" itu dianggap kasar dan tak mendidik bagi
anak-anak. Biro iklan yang kerjanya memang berniaga kata-kata
itu barangkali tak bermaksud merusak anak kecil. Tapi Asosiasi
Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (Aspindo) yang belum
lama lahir itu, merasakan pentingnya pembakuan kode etik
periklanan.
Ketua Aspindo Anak Agung Gde Agung, 31 tahun, mengakui "suasana
periklanan sekarang memang tidak sehat." Dan menurut Agung, yang
juga Managing Director PT Johnson & Son yang memproduksikan
aneka obat semprot "Raid" itu, semua unsur pendukung iklan,
seperti pengiklan, biro iklan dan media harus dilibatkan untuk
terwujudnya pembakuan tadi. Menurut Agung, Dewan Periklanan
Nasional yang beranggotakan biro-biro Iklan dan Badan Periklanan
Media Pers yang mewakili media cetak dan elektronik, belum lagi
mengajak unsur produsen. "Padahal 90% dari dana yang berputar
itu berasal dari kantong Aspindo," katanya. Di antara 50
anggotanya, Aspindo itu antara lain terdiri dari perusahaan
kakap seperti Unilever, BAT, Philips Ralin, Union Carbide,
Singer, Bayer, Bir Bintang dan Johnson & Son.
Bina Marga
Menurut Bondan Winarno, Ketua II Aspindo yang kini bekerja di PT
Sinar Kasih, dana yang dikeluarkan itu terus meningkat. Untuk
media pers saja, dana yang mengalir di tahun 1973 dan 1974
sekitar $ 20 juta, dan tahun lalu saja mencapai dua kali jumlah
itu. BAT misalnya, sebagai sponsor tunggal perebutan Piala
Thomas barusan berani mengeluarkan Rp 15 juta, untuk memamerkan
iklan sigaret Ardath, satu di antara 9 produksi rokoknya.
Masuk akal kalau Aspindo mencatat $ 150 juta diperkirakan akan
berputar untuk seluruh jenis iklan, seperti panel di bis,
selebaran, papan reklame, sticker, bioskop, radio, media massa
dan tv. Tapi mereka jadi terkejut juga ketika beberapa poster
yang dipasang di toko-toko dan tembok menghilang sebelum habis
izinnya. Bahkan menurut Bambang Prasetyo, Sekretaris Aspindo,
ada bill board (papan reklame) yang sudah mendapat izin Pemda
dan semua pajaknya sudah dibayar, toh dicabut sebelum habis
waktunya. "Akibat tak adanya jaminan dan kepastian hukum itu
para pengiklan jadi membayar lebih mahal dibandingkan dengan
luar negeri," katanya.
Di jalan raya Jagorawi pernah pula sebuah papan reklame yang
sudah mendapat izin Pemda DKI dicopot oleh Ditjen Bina Marga
dengan alasan tak boleh memasang iklan di sepanjang jalan yang
mulus itu. Di persimpangan jalan Harmoni, Jakarta, sebuah iklan
diturunkan pihak DLLJR karena dianggap mengganggu kamera lampu
lalulintas. "Bukan apa-apa," kata Bondan Winarno. "Tapi mustinya
di kalangan aparat pemerintah sendiri ada kordinasi, sehingga
tak merugikan orang lain." Betul juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini